Mohon tunggu...
Ali Wasi
Ali Wasi Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

Seorang ASN dari Tahun 2015 s.d. sekarang, yang semula gemar menulis cerita fiksi menjadi rutin menulis analisis informasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Menggenggam Dunia (4) Tangisan Rahmat

26 April 2024   11:21 Diperbarui: 30 April 2024   06:07 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sore hari yang hangat, aku berjalan menuju rumah Rahmat dan menawarkan diri untuk membiayai sekolahnya. Mata batinku mengatakan bahwa Rahmat akan menjadi orang yang sukses di masa depan.

Aku melewati perjalanan melalui lapangan sepak bola. Tak ada yang bermain, aku hanya mendengar suara anak-anak yang sedang mengaji. Mungkin sekolah tersebut yang Ibu Sri maksud, tempat untuk mengajinya Rahmat tanpa membayar sedikitpun. Masih ada juga ustad yang tanpa pamrih memberikan ilmu agama kepada generasi muda. Ya, semoga saja banyak yang demikian.

Aku terus berjalan melewati rimbunnya pepohonan dan sawah-sawah yang siap panen, hingga akupun telah sampai di depan rumah Rahmat. Banyak ibu-ibu yang sedang mengobrol di sekitar rumahnya, tetapi Ibu Sri tidak terlihat, mungkin di dalam rumahnya.

Perlahan kudekati rumah yang terlihat sepi dengan pintu yang terbuka. Wajar saja dalam rumah sederhana itu hanya tinggal dua orang, yaitu Rahmat dan Ibu Sri.

"Assalamualaikum." Sahutku di depan pintu rumah. Aku terdiam sesat, tetapi tak ada yang menjawab, mungkin beliau sedang di kamar mandi atau mungkin pendengarannya sudah mulai berkurang.

"Assalamualaikum." Sahutku, tetapi kali ini yang menjawab seorang ibu yang sedang mengobrol dengan tetangganya.

"Cari Ibu Sri, ya?" tanya seorang ibu berjilbab.

"Iya, Bu." Jawabku.

"Ketok saja pintunya."

"Oh iya, makasih Bu." Jawabku ramah.

Aku mengetuk pintu sedikit agak keras sebanyak tiga kali, tetapi tak ada yang menjawab. Aku ulangi berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama.

Ibu yang menggunakan jilbab memperhatikan tingkahku, dan ia mengambil inisiatif untuk masuk ke rumah memanggil Ibu Sri.

"Tunggu ya Mas, saya panggilkan dulu." Jelas Ibu berjilbab.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum ramah padanya. Ibu itu memasuki rumah sembari memanggil nama Ibu Sri.

Cuaca di lingkungan ini cukup teduh, dibandingkan dengan rumah yang aku sewa di perbatasan desa. Tentram dan harmonis. Aku menikmati pemandangan sekitar rumah ini.

"Akhhhhh......!" jerit seseorang dari dalam rumah. "Tolong! Tolong! Tolongi Ibu Sri." Teriak Ibu berjilbab, panik dan segera meminta tolong keluar rumah.

Aku dan beberapa warga yang mendengar teriakannya, segera memasuki rumah Ibu Sri, alangkah terkejutnya diriku dan warga yang melihat, Ibu Sri ditemukan terkujur kaku di kamar mandi. Aku teringat Rahmat, saat melihat ibunya tergeletak dan mengeluarkan darah di kepalanya.

Bapak-bapak yang melihat kejadian itu langsung segera mengangkat tubuh Ibu Sri dan dibaringkannya pada kursi panjang. Akupun ikut membantu mengangkatkan Ibu Sri, tanganku dengan sigap langsung memeriksa kondisinya.

Jantungku berdebar kencang, tak ada yang aku rasakan pada denyut nadi dan hembusan nafas. Berkali-kali aku periksa kondisi Ibu Sri, tetapi tetap sama. Terlambat, aku mengatakan pada warga desa yang berada di sekitarku, bahwa Ibu Sri telah meninggal dunia akibat pendarahan pada kepala. Kemungkinan penyebabnya beliau terjatuh.

Serempak mereka mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." Semua warga yang hadir turut berduka cita saking tak percayanya dengan kondisi Ibu Sri, terlihat dari mimik wajah mereka yang meneteskan air mata.

"Assalamualaikum." Sapa seorang anak kecil yang memakai baju muslim kepada warga. Ia terlihat lugu dan polos.

Ibu berjilbab mendekati bocah berkulit putih itu, yang tiada lain adalah Rahmat. Mata Ibu tersebut merah karena menahan tangis dan berusaha menyembunyikan tangisan di depan Rahmat.

Sebagian penduduk desa yang berada di rumahnya ikut sedih. Karena setelah dua tahun yang lalu Rahmat ditinggal ayahnya, untuk kali ini pula ia ditinggal oleh ibunya yang tercinta untuk selamanya.

"Nak, ibumu..." jelas ibu berjilbab dengan tegar, walaupun degan air mata yang meleleh.

"Ibumu..."

"Kenapa Ibu?" tanya Rahmat polos.

"Ibumu, Nak..." tangis ibu berjilbab itu.

Rahmat mendekati ibunya yang sedang terbaring di kursi, ia heran dengan semua yang terjadi. Ia melihatku disamping ibunya yang terbaring.

"Kak, ada apa dengan ibu?" tanya Rahmat.

Tak ayal, aku tak bisa menahan tangis yang kutahan, sebab kenyataan hidup yang Rahmat alami sungguh pahit. Seumur Rahmat harus hidup tanpa belas kasih orang tua, hal ini dapat melemahkan semangat hidupnya.

Perlahan Rahmat memegang tangan ibunya, lalu mengusap wajah, dan membelai rambut ibunya. Ia terkejut dan panik bahwa pada rambut ibunya terdapat darah.

"Kenapa ada darah? Ibu kenapa?" tanya Rahmat panik melihat kondisi ibunya.

Semua warga terdiam dan menunduk mengungkapkan rasa sedihnya.

"Ada apa dengan Ibu? Kenapa gak ada yang mau jawab?" tanya Rahmat agak berteriak dan semakin panik.

Semua hanya terdiam. Ibu berjilbab memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Rahmat. Perlahan ia mendekati Rahmat yang berada di samping ibunya.

"Rahmat, ibumu saat ini telah menyusul bapakmu." Halus ia menegarkan Rahmat.

"Maksud Ibu Nina?" tanya Rahmat terlihat lemas. Terlihat kondisinya yang lemas dan mulai menangis. Ibu Nina mendekati Rahmat, dan memegang kedua bahu Rahmat dengan kedua tangannya. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sedih.

"Ibumu meninggal, Nak." Ucap Ibu Nina dengan terharu.

Seketika Rahmat terdiam dan tak percaya bahwa ibunya telah tiada. Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan, perlahan ia memegang kedua wajah orang yang ia cintai. Air mata terus mengalir hingga membasahi kedua pipinya.

Kedua tangan Ibu Nina mengelus pundak Rahmat, tetapi dengan cepat Rahmat berlari keluar meninggalkan rumah.

Aku mengikuti Rahmat dan lari mengejarnya. Ia berhenti dan duduk menangis di bawah pohon. Bagaimanapun aku mengerti perasaan Rahmat. Aku pernah merasakan dengan yang Rahmat rasakan saat ini, saat mendengar kabar bahwa ibunda telah meninggal dunia.

Ketika kehilangan seorang ibu, rasanya dunia ini menjadi tidak berwarna, hampa, dan sepi. Saat pertama kali mendengar kabar bahwa ibu telah meninggal, bagaikan es tajam yang menusuk hati. Perih dan menyiksa.

Namun demikian, aku lebih beruntung dibandingkan Rahmat. Aku ditinggal oleh almarhumah ibu saat umur dua puluh tahun. Berbeda dengan Rahmat yang masih membutuhkan Ibu untuk beranjak dewasa. Ia ditinggal dalam umur delapan tahun. Massa kanak-kanak yang harusnya ia lewati bersama ibu, ternyata harus rela dipisahkan oleh takdir Tuhan.

"Ibu." Tangis Rahmat mengenang ibunya.

Berkali-kali ia ucapkan kata Ibu dengan penuh duka yang mendalam. Aku sangat terharu melihat kondisi Rahmat. Perlahan kudekati untuk menenangkannya, dan duduk di sampingnya.

"Ibumu pasti akan mendapatkan tempat yang terbaik di Surga, karena telah menjaga dan merawatmu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua." Ucapku perlahan sembari mengelus rambut Rahmat yang halus.

"Aku pingin ikut Ibu, Kak." harap ia sembari menangis.

"Mamet jangan berkata itu, kamu ingat perkataan ibumu disaat kakimu sakit? Ibunya Mamet bilang bahwa kamu tetap anak yang Ibu banggakan." Sahutku menenangkannya.

"Mamet gak bisa hidup tanpa Ibu." Pasrah dan memeluk kedua lututnya.

"Kamu pasti bisa kok. Kakak juga dulu ditinggal oleh ibunya Kakak. Memang Kakak juga sedih terima hal tersebut, tapi perlahan Kakak bangkit, dan berusaha untuk membahagiakan Ibu dengan apa yang Kakak capai saat ini." Ucapku menyemangatinya.

"Memang apa yang Kakak capai?" tanya Rahmat hingga mengurangi rasa sedihnya.

"Kakak dulu bekerja jadi asisten dokter."

"Itukan dulu, sekarang Kakak pengangguran toh?" tanya Rahmat sekenanya.

"Yah, sekarang Kakak milih istirahat dulu dari pekerjaan. Nanti setelah cukup istirahatnya Kakak mulai berkerja lagi." Terangku.

"Oh begitu." Kembali Rahmat berbicara lemas.

"Yang penting, sekarang kita harus mempunyai semangat hidup. Kita harus berjuang dan buktikan pada semua orang bahwa kita bisa, walaupun tanpa Ibu. Ok?" ucapku bersemangat.

"Ya, Kak." Ucap Rahmat terisak-isak.

"Kok loyo gitu. Ayo, kita laki-laki jadi harus semangat. Ok." Aku merangkul Rahmat.

"Ok, Kak. Makasih ya, Kak." Ada secercah semangat dari ucapan Rahmat.

"Nah gitu, kita tidak boleh meletakan dunia pada hati ini, tetapi letakkanlah dunia pada tangan ini." Ucapku membangkitkan Rahmat.

"Maksud Kakak?"

"Maksudnya kita harus menggenggam kehidupan ini, tak boleh menyerah dalam hidup ini, jangan sampai kamu letakkan hidup ini pada hati, sehingga kamu terlena dengan kehidupan ini. Tapi letakkanlah kehidupan ini pada tanganmu, supaya kamu bisa mengendalikan hidup ini menjadi lebih baik." Ucapku penuh kelembutan.

"Semoga Mamet bisa ya, Kak."

"Pasti bisa, kita berdoa kepada Tuhan semoga diberi kemudahan untuk menggenggam dunia."

"Semoga, Kak." Jawab Rahmat walau masih ada rasa kesedihannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun