"Mas Arkan baru pindah ke desa ini ya? Saya baru pertama kali lihat Mas Arkan di wilayah sini."
"Saya tinggal di perbatasan desa ini satu minggu yang lalu."
"Tinggal sendiri, Mas?" tanya Ibu Sri.
"Iya, di wilayah ini tidak ada kerabat dekat saya. Oh iya, Bapaknya Rahmat sedang kerja ya, Bu?" tanpa segan aku bertanya.
"Bapaknya Rahmat sudah tiada, Mas. Beliau meninggalkan kita, saat umur Rahmat beranjak enam tahun." Ungkap Ibu Sri sembari merenung.
"Maaf atas pertanyaan saya yang tidak sopan, Bu." Sesalku.
"Tak apa, pertanyaan Mas Arkan mengingatkan kembali terhadap wasiat yang diberikan untuk Ibu. Dahulu saat Bapak meninggal dia mewasiatkan sesuatu yang menurut Ibu berat untuk kami jalankan. Tapi ia yakin sekali bahwa kami akan sanggup menjalankan sebuah wasiat tersebut." Jelas Ibu Sri, mengingat massa lalu.
"Sebuah wasiat?" aku mulai heran dengan yang diucapkan Ibu Sri.
"Menyekolahkan Rahmat hingga ia menjadi orang yang sukses, di massa depannya. Hanya itu."
Aku terkejut dengan yang diucapkan oleh Ibu Sri. Menurutku pribadi yang mempunyai harta yang cukup, tak perlu ada beban untuk menyekolahkan keponakan sendiri. Tetapi hal ini merupakan beban untuk rakyat yang berpenghasilan kurang.
Dalam hati kecil ini, aku berpikir seakan pikiranku ini masih buta terhadap penderitaan rakyat kecil, seperti Ibu Sri. Alangkah beruntungnya diriku ini dengan penghasilan yang cukup.