"Iya nama Kakak, Arkan. Kakak tinggal di ujung desa ini. Kalau Ipul tinggal dimana?"
"Ipul tinggal di dekat lapangan bola tadi, Kak."
"Ibunya Mamet, namanya siapa?" tanyaku pada Saiful.
"Ibu Sri, Kak."
"Tampaknya Ibu Sri sangat khawatir, ya?" ungkapku.
"Wajar saja, Kak Arkan. Mamet ini anak satu-satunya dan keluarga satu-satunya yang Ibu Sri miliki." Jawab Saiful.
Aku hanya mengangguk memakluminya. Terlihat Ibu Sri dengan tergesa-gesa membawakan balsam dan kain putih padaku. Tampaknya ia pantas khawatir apabila Rahmat sedang sakit. Inilah ibu yang amat mencintai sang anak, apabila terjadi sesuatu bukan dengan memarahi anaknya, tetapi dengan kasih sayangnya.
"Loh kok masih berdiri toh, Mas? Ayo duduk." Ajak Ibu Sri padaku, sembari menunjukan kursi panjang di teras rumah beliau.
Akupun membawanya dengan menggendong Rahmat dan membaringkannya di kursi tersebut. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Rahmat, mungkin karena ia menahan rasa sakitnya yang luar biasa. Perlahan aku periksa keadaan kaki Rahmat.
Aku oles balsam perlahan pada daerah mata kaki, lutut, dan kedua sikunya. Ia pun merintih kesakitan. Tak heran Ibu dan Saiful ikut khawatir melihat kondisi Rahmat. Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan, aku harus mengompreskan air dingin pada kakinya.
"Maaf Ibu Sri, apakah ada air dingin?" pintaku.