Alisya Pasya Ramadhanti - 1405621004
Latar Belakang Masalah
Satu kebiasaan di kalangan remaja yang tidak asing lagi adalah berkencan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Saat remaja mereka berkembang untuk belajar tentang masa cinta dan kasih sayang, mereka mewujudkannya dalam hubungan yang penuh cinta dan rasa kebersamaan. Mereka menyebutnya bercinta, berkencan, berkencan, hubungan romantis, atau sesuatu yang lain istilah lain yang menggambarkandaya tarik antar tubuh yang mencakup semua emosi, tubuh dan jiwa. Pacaran adalah hubungan yang dijalani dua orang dan melakukan berbagai kegiatan bareng untuk saling mengenal. Ada berbagai hal yang membuat orang melakukan hubungan pacaran selain memuaskan kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang. Pacaran dilakukan untuk memilih pasangan hidup dan menyiapkan orang untuk hubungan ke jenjang yang menuju serius atau pernikahan. Pertemuan memungkinkan orang untuk lebih memahami sikap dan perilaku satu sama lain.
Selain itu, orang dapat belajar bagaimana menjaga hubungan, berdiskusi, dan memecahkan masalah yang muncul. Menurut Rice (2001), orang memiliki tujuan dalam hubungan pacarannya, antara lain: berpacaran untuk bersenang-senang, berpacaran tanpa menikah, berpacaran sebagai sarana eksperimentasi dan kepuasan seksual dan berpacaran sebagai panggung. menemukan pasangan hidup. Hubungan pacaran tidak selalu menunjukkan yang positif saja, terkadang ada masalah. Mulai dari masalah terkecil hingga masalah terbesar, sehingga bisa berlanjut hingga terjadi konflik dalam hubungan pacaran atau kekerasan. Kekerasan dalam pacaran merupakan tindakan kekerasan terhadap satu belah pihak dalam hubungan pacaran. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kendali, kekuasaan dan otoritas atas pasangannya. Kekerasan ini dapat berupa fisik, emosional dan seksual.
Selain itu, kita juga melihat kemampuan seseorang dalam pacaran untuk menjaga komitmen untuk mencapai tingkat yang lebih serius pernikahan. Namun, kenyataannya hubungan saat ini penuh dengan kekerasan. Perempuan seringkali menjadi korban dari sebagian besar kasus kekerasan dalam pacaran. Kekerasan terhadap perempuan ini salah satunya bermula dari asumsi gender. Ketika kekerasan terjadi, salah satu pihak merasa dirugikan, yang dapat menimbulkan trauma bagi korban. Wanita dengan keterampilan ketegasan rendah berinteraksi kurang positif dengan pasangannya. Saat menyelesaikan masalah dengan pasangannya, condong mengalah dan tidak mampu mengatakan apa yang sebenarnya diinginkan pasangannya. Fenomena kasus kekerasan yang dihadapi perempuan menunjukkan bahwa jumlah mereka di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.2 Di kalangan mahasiswa Universitas Brawijaya kekerasan seksual dalam hubungan pacaran sudah pernah terjadi dan mungkin sudah tidak asing lagi.
PembahasanÂ
- Definisi Kekerasan Seksual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia , kekerasan diartikan berupa perbuatan satu orang atau sekelompok orang yang mengakibatkan luka, kematian dan kerusakan fisik pada diri orang lain atau harta benda orang lain. Sedangkan seksual secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yaitu "sexual" dan memiliki beberapa arti seperti jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin, ciri-ciri atau lainnya.
 Dengan demikian, secara etimologis, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai pemaksaan untuk menguasai orang lain (karena alasan seksual atau non-seksual), yang mengakibatkan luka-luka, kerusakan fisik atau kerusakan harta benda, bahkan kematian. Secara garis besar, kekerasan seksual didefinisikan sebagai aktivitas seksual yang dipaksakan atau tanpa persetujuan. Namun, dalam pengertian sempit, kekerasan seksual disamakan dengan pemerkosaan, dimana di antaranya mengharuskan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai pelecehan, memaksa seseorang melakukan hubungan seksual atau melakukan seksual yang tidak alami atau melawan keinginan korban dan tidak terkait dengan kebutuhan seksualnya.Â
Definisi kekerasan seksual yaitu setiap penghinaan, degradasi, pelecehan atau tindakan lain yang diarahkan pada tubuh seseorang, hasrat seksual dengan kekerasan, bertolak belakang dengan keinginan seseorang, yang dengannya orang tidak dapat menyetujui secara bebas, dalam posisi yang tidak setara karena hubungan kekuasaan yang berharga dan hubungan seksual, menyebabkan atau kemungkinan besar menyebabkan penderitaan atau kesulitan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, sosial, budaya dan politik.Â
Kekerasan seksual berupa dengan pelecehan seksual (meraba-raba, mencium atau menyentuh) tanpa persetujuan. Tindakan tanpa persetujuan atau paksaan biasanya berupa ancaman untuk pergi, menyakiti, atau ancaman kekerasan fisik. Kekerasan seksual terhadap anak di dunia membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak untuk menekan angka kasus kekerasan.
Berdasarkan definisi di atas, menyimpulkan kekerasan seksual mengacu pada aktivitas seksual apa pun, bentuknya bisa penyerangan atau non-agresi. Kategori kekerasan yang menimbulkan penderitaan berupa luka fisik, kategori kekerasan seksual tanpa kekerasan mengalami trauma mental. Bentuk kekerasan seksual: rayuan, mendorong, memeluk dan memaksa, meremas, masturbasi paksa, seks oral, seks anal, perkosaan dan kekerasan seksual setidaknya memiliki dua indikator utama, yaitu seksualitas (hubungan seksual atau seks) dan pemaksaan. Berbeda dengan kedua indikator dasar ini, dapat dipahami bahwa ada jenis kekerasan seksual yang berbeda.
- Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran
Definisi kekerasan dalam hubungan pacaran merupakan kekerasan terhadap pacar dan termasuk kekerasan fisik, mental dan finansial. Pelaku kekerasan ini termasuk seluruh kekerasan yang dijalankan di luar perkawinan yang sah yang tertuang dalam UU perkawinan No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 meliputi kekerasan oleh mantan pasangan, mantan pacar dan pasangan.Â
Kekerasan ini adalah perilaku mengontrol, kekerasan, dan agresif dalam hubungan romantis/intim. Itu terjadi dalam hubungan baik heteroseksual (berbeda jenis) atau homoseksual (sesama jenis) dan mungkin melibatkan kekerasan verbal, emosional, fisik, seksual atau kombinasi dari semua bentuk ini. Kekerasan seksual dalam pacaran misalnya, memaksa pacar untuk melakukan perilaku seksual tertentu seperti menyentuh, memeluk, mencium, berhubungan seks saat pasangan Anda tidak mau atau terancam. Kekerasan seksual dalam hubungan pacaran juga masuk dalam kategori pemerkosaan. Itu terjadi ketika laki-laki memaksakan hasrat seksualnya pada perempuan meskipun perempuan menolak. Sekalipun dilakukan oleh pacarnya sendiri, perbuatan ini masih tergolong pemerkosaan. Selama ini, perkosaan dianggap selalu dilakukan oleh orang asing. Ingatlah bahwa pemerkosaan adalah bentuk kekuasaan dan kontrol oleh pelaku dan tidak ada hubungannya dengan cinta.
Fenomena kekerasan dalam pacaran sekarang berkembang dengan majunya perkembangan teknologi informasi, sehingga orang dapat berkencan dengan jarak jauh (handphone dating) atau melalui dunia maya (cyber dating). Pemakaian dua teknologi informasi terakhir menyebabkan insiden kekerasan seksual di dunia maya.Â
Dalam kasus kencan ponsel, pelaku biasanya akan menelepon gadis yang ditargetkan di tengah malam dan memaksa untuk melayani koneksi telepon mereka selama jam, merayu dan akhirnya mengundang mereka untuk berhubungan seks. Pada saat yang sama, kekerasan warnet semakin parah setelah munculnya warnet yang menawarkan situs porno. Di ruang yang sangat terpencil, seorang pria biasanya mengundang pacarnya untuk menonton situs porno bersamanya dan memaksa untuk melakukan sesuatu yang dilihatnya di halaman dan terkadang bahkan merekam dan mengunggahnya ke situs tersebut. Bahkan, ada juga pacar yang berani membohongi pasangannya dan menjadikan target pertaruhan seksual di antara teman sebaya.
- Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual kepada perempuan termasuk kekerasan yang berbasis gender dan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara sewenang-wenang terlepas dari apakah itu berlangsung di tempat umum atau di kehidupan pribadi.Â
Secara historis, menurut definisi ketimpangan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, pembagian peran merupakan penyebab timbulnya kekerasan seksual kepada perempuan. Wanita dipandang sebagai tanda kemurnian dan kehormatan. Persepsi ini membuat perempuan merasa malu ketika mengalami kekerasan seksual. Kecuali bahwa perempuan sering bersalah atas perbuatan tersebut. Hal ini pula yang mewujudkan alasan mengapa di Indonesia banyak perempuan yang pernah merasakan kekerasan seksual memilih untuk diam.
Sebanyak kejahatan kekerasan terjadi terhadap perempuan, pembunuhan, pemerkosaan dan penyerangan. Perempuan rawan menjadi korban dari kejahatan (victims of crime) di wilayah tata susila. Berdasarkan uraian di atas, kerawanan perempuan menjadi korban kekerasan seksual ditimbulkan oleh banyak penyebabnya. Kekerasan seksual kepada perempuan bukan cuman menjadi masalah di Indonesia, tetapi di beragam belahan dunia. Menurut Ani Purwant, kekerasan seksual bisa terjadi baik di tempat umum maupun di rumah. Kejahatan seksual terhadap perempuan merupakan kejahatan universal. Tidak hanya endemik, tetapi berulang di mana-mana dalam jangka waktu yang sangat lama. Kekerasan terhadap perempuan meningkat dengan insiden menjadi lebih beragam dan kompleks dan terjadi di wilayah yang berbeda di tingkat rumah, publik dan nasional.
- Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban
Kekerasan seksual ini memiliki dampak fisik, psikologis, keuangan dan sosial yang sangat besar bagi para korban. Akibat yang dirasakan korban justru bertambah seiring dengan respon masyarakat ketika perempuan menjadi korban. Pertama, dampak fisik dan seksual seperti efek yang mengakibatkan memar luar/dalam, luka tetap pada tubuh, gangguan kelamin, gangguan kehamilan, penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Kedua, dampak sosial seperti sulit dalam membangun hubungan baik di wilayah terdekat maupun di wilayah lebih luas. Berbagai kasus memaksa para korban untuk membentuk dunia sendiri, bersembunyi dan mengasingkan diri. Ketiga, dampak ekonomi yaitu korban wajib membiayai penyembuhan diri sendiri baik fisik maupun mental akibat gangguan jiwa, banyak korban kehilangan pekerjaannya.
Kemudian, keempat, dampak psikologis yaitu trauma, yang bervariasi antara satu korban dengan yang lainnya. Terdapat orang yang merasa takut, bahkan bertemu dengan orang-orang yang dikenal gelisah, mengalami mimpi buruk, perasaan, gangguan tidur dan nafsu makan, mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap laki-laki, merasa bersalah, merasa malu dan terhina, bahkan trauma tetap tinggal kenangan dengan munculnya peristiwa yang tiba-tiba terjadi padanya. Kelima, efek pelacakan. perilaku antisosial, perasaan tidak berdaya, rendah diri, kecemasan, depresi yang mengakibatkan korban berperilaku negatif minum alkohol, kecanduan narkoba, terjun ke dunia prostitusi, menjadi lesbian/gay/transgender dan bahkan mencoba bunuh diri.
- Teori Michel Foucalt
Dalam penelitian ini, menggunakan relasi kuasa dari perspektif feminisme yang dihadirkan oleh Michel Foucault (1970-an). Michel Foucault menyatakan bahwa ada empat wacana berbahaya, pertama politik (kekuasaan), kedua hasrat (seksualitas), ketiga kegilaan, dan keempat apa yang dianggap salah atau benar. Dari keempat wacana tersebut, hasrat (seksualitas) merupakan salah satu dari wacana yang berbahaya ketika merembes ke dunia pendidikan. Selain sebelumnya, kita sama-sama tahu bahwa wacana atau politik (kekuasaan) pertama juga ada di dunia pendidikan. Fenomena yang kita lihat akhir-akhir ini adalah adanya dua wacana dalam dunia pendidikan yang bermain dengan relasi kuasa atas kepentingan dan keinginan. Dikemukakan oleh Michel Foucault sebagai bentuk penyebab kekerasan seksual yang modelnya menjadi semakin kuat, misalnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh profesor terhadap mahasiswi, pedagog/pengajar terhadap mahasiswi, Ustad atau pesantren, penjaga sekolah untuk siswa, pengawas kerja untuk karyawan. Itulah mengapa penting untuk mengetahui dalam bentuk apa, melalui saluran mana, di mana percakapan kekuatan berhasil menutupi bentuk perilaku seksual yang paling halus dan pribadi dan bagaimana kekuatan berhasil mencapai bentuk yang paling langka dan tersembunyi tentang hasrat dan bagaimana kekuatan dapat menembus dan mendominasi kenikmatan seksual.
Menurut pendapat Foucault, kasus kekerasan seksual disebabkan oleh variabel penting seperti kekuasaan, struktur sosial dan objek kekuasaan. Secara bersama-sama, ketiga variabel ini dapat menimbulkan niat untuk melakukan kekerasan seksual. Jika ketiganya tidak ada, kekerasan seksual tidak terjadi. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan bahwa korban memiliki kekuatan yang lebih lemah dibandingkan pelaku. Antara korban dan pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi, sebagian besar berada dalam hubungan kekuasaan.
Dalam beberapa kasus, mayoritas korban adalah laki-laki yang memiliki kekuatan fisik lebih, sehingga mereka lebih memiliki kekuatan untuk melakukan kekerasan seksual. Konstruksi sosial kekerasan berbasis gender di masyarakat semakin memperlemah posisi korban. Di Indonesia, budaya patriarki masih sangat kental, yang secara tidak langsung berarti perempuan memiliki status yang lebih rendah di masyarakat. Jadi beberapa pelaku sangat tidak bertanggung jawab, tidak melihat masalah ini sebagai referensi untuk viktimisasi seksual terhadap perempuan. Jadi, timbulnya ketidakseimbangan antara pelaku dan penyintas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual.
- Studi Kasus
Dilansir dari laman KumparanNews, angka kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. Belum lagi kekerasan seksual di kampus lainnya, Novia Widyasari bunuh diri. Seorang mahasiswi Universitas Brawijaya dikabarkan mengakhiri hidupnya dengan depresi setelah dilecehkan secara seksual lalu dipaksa untuk aborsi atas arahan pacarnya. Komnas Perempuan melaporkan Novia menjadi korban dari kekerasan berkali- kali nyaris hampir dua tahun sejak 2019. Novia terpikat dalam masa kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Apa yang dialami Novial hanya satu dari banyaknya ribuan kasus pemerkosaan di Indonesia. Misalnya, tercatat kasus kekerasan seksual di bidang KDRT atau hubungan pribadi naik menjadi 1.983 kasus di tahun 2020. Data tersebut disusun dalam laporan tahun anggaran 2020 yang diterbitkan pada 5 Maret 2021. Berlandaskan dari data tersebut, pacar adalah pelaku umum dalam melakukan kekerasan seksual di Indonesia. Komnas Perempuan menemukan 1.07 kasus yang didapat adalah pacar sebagai pelakunya. Jumlah ini lebih besar dari jumlah suami, bapak atau bahkan saudara penulis.
Dilansir dari laman Tempo.co, Theresia Iswarini sebagai Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan, kekerasan dalam hubungan pacaran adalah suatu kejadian yang paling banyak diberitakan. Menurutnya, kasus kekerasan intim menduduki peringkat ketiga setelah KDRT dan pelecehan seksual. Theresia berkata terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab eskalasi kasus PPK. Pertama, ketidaksetaraan kekuatan yang terdapat dalam budaya patriarki, akibatnya laki-laki dapat melakukan apa saja dengan perempuan. Kedua adalah objektifikasi seksual perempuan oleh pasangannya. Ketiga, perempuan seringkali berada dalam situasi di mana mereka tidak dapat membela diri.
KesimpulanÂ
Kekerasan seksual yaitu setiap penghinaan, degradasi, pelecehan atau tindakan lain yang diarahkan pada tubuh seseorang, hasrat seksual dengan kekerasan, bertolak belakang dengan keinginan seseorang, yang dengannya orang tidak dapat menyetujui secara bebas, dalam posisi yang tidak setara karena hubungan kekuasaan yang berharga dan hubungan seksual, menyebabkan atau kemungkinan besar menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kekerasan seksual dalam pacaran misalnya, memaksa pacar untuk melakukan perilaku seksual tertentu seperti menyentuh, memeluk, mencium, berhubungan seks saat pasangan Anda tidak mau atau terancam. Kekerasan seksual dalam hubungan pacaran juga masuk dalam kategori pemerkosaan. Itu terjadi ketika laki-laki memaksakan hasrat seksualnya pada perempuan meskipun perempuan menolak.
Kekerasan seksual kepada perempuan termasuk kekerasan yang berbasis gender dan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara sewenang-wenang terlepas dari apakah itu berlangsung di tempat umum atau di kehidupan pribadi. Wanita dipandang sebagai tanda kemurnian dan kehormatan. Persepsi ini membuat perempuan merasa malu ketika mengalami kekerasan seksual. kerawanan perempuan menjadi korban kekerasan seksual ditimbulkan oleh banyak penyebabnya. Kekerasan seksual kepada perempuan tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di beragam belahan dunia. Kekerasan seksual ini memiliki dampak fisik, psikologis, keuangan dan sosial yang sangat besar bagi para korban. Akibat yang dirasakan korban justru bertambah seiring dengan respon masyarakat ketika perempuan menjadi korban. Dalam penelitian ini, menggunakan relasi kuasa dari perspektif feminisme yang dihadirkan oleh Michel Foucault (1970-an). Menurut pendapat Foucault, kasus kekerasan seksual disebabkan oleh variabel penting seperti kekuasaan, struktur sosial dan objek kekuasaan. Secara bersama-sama, ketiga variabel ini dapat menimbulkan niat untuk melakukan kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus, mayoritas korban adalah laki-laki yang memiliki kekuatan fisik lebih, sehingga mereka lebih memiliki kekuatan untuk melakukan kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H