Kemudian, keempat, dampak psikologis yaitu trauma, yang bervariasi antara satu korban dengan yang lainnya. Terdapat orang yang merasa takut, bahkan bertemu dengan orang-orang yang dikenal gelisah, mengalami mimpi buruk, perasaan, gangguan tidur dan nafsu makan, mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap laki-laki, merasa bersalah, merasa malu dan terhina, bahkan trauma tetap tinggal kenangan dengan munculnya peristiwa yang tiba-tiba terjadi padanya. Kelima, efek pelacakan. perilaku antisosial, perasaan tidak berdaya, rendah diri, kecemasan, depresi yang mengakibatkan korban berperilaku negatif minum alkohol, kecanduan narkoba, terjun ke dunia prostitusi, menjadi lesbian/gay/transgender dan bahkan mencoba bunuh diri.
- Teori Michel Foucalt
Dalam penelitian ini, menggunakan relasi kuasa dari perspektif feminisme yang dihadirkan oleh Michel Foucault (1970-an). Michel Foucault menyatakan bahwa ada empat wacana berbahaya, pertama politik (kekuasaan), kedua hasrat (seksualitas), ketiga kegilaan, dan keempat apa yang dianggap salah atau benar. Dari keempat wacana tersebut, hasrat (seksualitas) merupakan salah satu dari wacana yang berbahaya ketika merembes ke dunia pendidikan. Selain sebelumnya, kita sama-sama tahu bahwa wacana atau politik (kekuasaan) pertama juga ada di dunia pendidikan. Fenomena yang kita lihat akhir-akhir ini adalah adanya dua wacana dalam dunia pendidikan yang bermain dengan relasi kuasa atas kepentingan dan keinginan. Dikemukakan oleh Michel Foucault sebagai bentuk penyebab kekerasan seksual yang modelnya menjadi semakin kuat, misalnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh profesor terhadap mahasiswi, pedagog/pengajar terhadap mahasiswi, Ustad atau pesantren, penjaga sekolah untuk siswa, pengawas kerja untuk karyawan. Itulah mengapa penting untuk mengetahui dalam bentuk apa, melalui saluran mana, di mana percakapan kekuatan berhasil menutupi bentuk perilaku seksual yang paling halus dan pribadi dan bagaimana kekuatan berhasil mencapai bentuk yang paling langka dan tersembunyi tentang hasrat dan bagaimana kekuatan dapat menembus dan mendominasi kenikmatan seksual.
Menurut pendapat Foucault, kasus kekerasan seksual disebabkan oleh variabel penting seperti kekuasaan, struktur sosial dan objek kekuasaan. Secara bersama-sama, ketiga variabel ini dapat menimbulkan niat untuk melakukan kekerasan seksual. Jika ketiganya tidak ada, kekerasan seksual tidak terjadi. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan bahwa korban memiliki kekuatan yang lebih lemah dibandingkan pelaku. Antara korban dan pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi, sebagian besar berada dalam hubungan kekuasaan.
Dalam beberapa kasus, mayoritas korban adalah laki-laki yang memiliki kekuatan fisik lebih, sehingga mereka lebih memiliki kekuatan untuk melakukan kekerasan seksual. Konstruksi sosial kekerasan berbasis gender di masyarakat semakin memperlemah posisi korban. Di Indonesia, budaya patriarki masih sangat kental, yang secara tidak langsung berarti perempuan memiliki status yang lebih rendah di masyarakat. Jadi beberapa pelaku sangat tidak bertanggung jawab, tidak melihat masalah ini sebagai referensi untuk viktimisasi seksual terhadap perempuan. Jadi, timbulnya ketidakseimbangan antara pelaku dan penyintas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual.
- Studi Kasus
Dilansir dari laman KumparanNews, angka kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. Belum lagi kekerasan seksual di kampus lainnya, Novia Widyasari bunuh diri. Seorang mahasiswi Universitas Brawijaya dikabarkan mengakhiri hidupnya dengan depresi setelah dilecehkan secara seksual lalu dipaksa untuk aborsi atas arahan pacarnya. Komnas Perempuan melaporkan Novia menjadi korban dari kekerasan berkali- kali nyaris hampir dua tahun sejak 2019. Novia terpikat dalam masa kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Apa yang dialami Novial hanya satu dari banyaknya ribuan kasus pemerkosaan di Indonesia. Misalnya, tercatat kasus kekerasan seksual di bidang KDRT atau hubungan pribadi naik menjadi 1.983 kasus di tahun 2020. Data tersebut disusun dalam laporan tahun anggaran 2020 yang diterbitkan pada 5 Maret 2021. Berlandaskan dari data tersebut, pacar adalah pelaku umum dalam melakukan kekerasan seksual di Indonesia. Komnas Perempuan menemukan 1.07 kasus yang didapat adalah pacar sebagai pelakunya. Jumlah ini lebih besar dari jumlah suami, bapak atau bahkan saudara penulis.
Dilansir dari laman Tempo.co, Theresia Iswarini sebagai Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan, kekerasan dalam hubungan pacaran adalah suatu kejadian yang paling banyak diberitakan. Menurutnya, kasus kekerasan intim menduduki peringkat ketiga setelah KDRT dan pelecehan seksual. Theresia berkata terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab eskalasi kasus PPK. Pertama, ketidaksetaraan kekuatan yang terdapat dalam budaya patriarki, akibatnya laki-laki dapat melakukan apa saja dengan perempuan. Kedua adalah objektifikasi seksual perempuan oleh pasangannya. Ketiga, perempuan seringkali berada dalam situasi di mana mereka tidak dapat membela diri.
KesimpulanÂ
Kekerasan seksual yaitu setiap penghinaan, degradasi, pelecehan atau tindakan lain yang diarahkan pada tubuh seseorang, hasrat seksual dengan kekerasan, bertolak belakang dengan keinginan seseorang, yang dengannya orang tidak dapat menyetujui secara bebas, dalam posisi yang tidak setara karena hubungan kekuasaan yang berharga dan hubungan seksual, menyebabkan atau kemungkinan besar menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kekerasan seksual dalam pacaran misalnya, memaksa pacar untuk melakukan perilaku seksual tertentu seperti menyentuh, memeluk, mencium, berhubungan seks saat pasangan Anda tidak mau atau terancam. Kekerasan seksual dalam hubungan pacaran juga masuk dalam kategori pemerkosaan. Itu terjadi ketika laki-laki memaksakan hasrat seksualnya pada perempuan meskipun perempuan menolak.
Kekerasan seksual kepada perempuan termasuk kekerasan yang berbasis gender dan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara sewenang-wenang terlepas dari apakah itu berlangsung di tempat umum atau di kehidupan pribadi. Wanita dipandang sebagai tanda kemurnian dan kehormatan. Persepsi ini membuat perempuan merasa malu ketika mengalami kekerasan seksual. kerawanan perempuan menjadi korban kekerasan seksual ditimbulkan oleh banyak penyebabnya. Kekerasan seksual kepada perempuan tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga di beragam belahan dunia. Kekerasan seksual ini memiliki dampak fisik, psikologis, keuangan dan sosial yang sangat besar bagi para korban. Akibat yang dirasakan korban justru bertambah seiring dengan respon masyarakat ketika perempuan menjadi korban. Dalam penelitian ini, menggunakan relasi kuasa dari perspektif feminisme yang dihadirkan oleh Michel Foucault (1970-an). Menurut pendapat Foucault, kasus kekerasan seksual disebabkan oleh variabel penting seperti kekuasaan, struktur sosial dan objek kekuasaan. Secara bersama-sama, ketiga variabel ini dapat menimbulkan niat untuk melakukan kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus, mayoritas korban adalah laki-laki yang memiliki kekuatan fisik lebih, sehingga mereka lebih memiliki kekuatan untuk melakukan kekerasan seksual.