Mohon tunggu...
Ali Sodikin
Ali Sodikin Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Masalah Sosial Politik, Dosen Ilmu Komunikasi

Pemerhati Masalah Sosial Politik , mantan aktivis HMI, twitter: @alikikin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Loji Gandrung ke Istana Negara (1)

31 Juli 2015   09:34 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:33 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari Loji Gandrung ke Istana Negara

(Analisis Pemberitaan Jokowi Di Media Massa)

Oleh : Ali Sodikin

 

Pengantar

Tulisan ini menggunakan pendekatan Konstruksi Realitas Sosial. Konsep konstruksionisme pertama kali diperkenalkan oleh Peter L Berger bersama Thomas Luckman yang menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atau realitas. Konstruksi sosial digambarkan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang dimana individu menciptakan terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami secara subyektif. Menurut Berger (dalam Eriyanto : 2012) realitas itu tidak terbentuk secara ilmiah dan berasal dari tuhan tetapi sebaliknya realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Setiap orang bisa mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tehadap realitas.

Untuk menggambarkan bagaiaman media massa melakukan konstruksi atas realitas sebagai sebuah produk berita, penulis menggunakan pendekatan analisis framing. Secara umum analisis framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.Sehingga khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Sementara aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. (Eriyanto, 2012)

Ada dua aspek dalam framing menurut Eriyanto (2012). Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu : apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan pada aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan  aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. (Eriyanto, 2012).

Bagian Pertama

Jokowi, Walikota Tak Bergaji

            Ketika menjabat Walikota Solo selama dua periode Jokowi tidak pernah mengambil gajinya. Justru pada saat yang sama Departeman Keuangan merekomendasi kenaikan gaji bagi pejabat negara, dari Presiden hingga Bupati termasuk anggota DPR. Berita tersebut beredar luas dan menjadi konsumsi media massa Indonesia  awal tahun 2011.

            Dalam konteks ini, semua media massa kelihatannya hampir sepaham, dengan melakukan “perlawanan” terhadap kebijakan pemerintah dan menemukan tokoh yang dijadikan simbol perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni pemerintah atas rakyatnya, yakni seorang Jokowi seorang Walikota Solo yang tidak pernah ambil gajinya selama menjabat. Dalam kasus ini, bisa kita katakan media massa Indonesia sepaham dalam memaknai idealisme (watak dan perilaku pemimpin) yang seharusnya.

Pilihan media massa mengangkat isu (berita) Jokowi adalah sebuah produk pertarungan. Media memfasilitasi agen-agen dalam struktur masyarakat untuk bertarung dalam dalam ide dan gagasan. Satu sisi media memberitakan mengapa dan apa alasan pemerintah akan menaikan gaji para pejabat, satu sisi media juga menampilkan isu seorang pejabat negara yang tidak pernah mengambil gajinya. 

Menurut Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar-ideologi yang saling berkompetisi. Media adalah ruang di mana berbagai idelogi direpresentasikan (termasuk di dalamnya kepentingan ekonomi, politik dan idealisme), satu sisi media bisa menjadi penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Akan tetapi di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan (dalam hal ini Pemerintah dan DPR), namun sekaligus juga bisa menjadi instrument perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan (rakyat kecil dan miskin).

Ditengah wacana Kementerian Keuangan Republik Indonesia merekomendasikan kenaikan gaji untuk para pejabat negara termasuk  DPR, media massa menampilkan berita sosok Jokowi yang saat itu masih menjabat Walikota Solo. Seorang pejabat negara yang alih-alih tertarik dengan kenaikan gaji, malah Jokowi tidak pernah mengambil gajinya selama menjabat Walikota. Suatu drama kontradiksi yang dimunculkan pada ruang publik oleh media massa. Drama perlawanan kepada kekuatan dominan dan hegemoni (pemerintah).

Kompas.com

            Kompas.com 26 Mei 2011 memuat berita dengan judul Wah ! Wah Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji. JAKARTA, KOMPAS.com — Jarang terdengar bahwa pejabat di Indonesia tidak mau menerima gajinya, justru kebanyakan dari mereka meminta kenaikan gaji. Namun, pejabat yang satu ini, Wali Kota Solo Joko Widodo, berbeda dengan pejabat lainnya. Selama menjabat sebagai wali kota, ia tidak pernah sekali pun mengambil gaji yang menjadi haknya. Hal ini dengan malu-malu diungkapkannya ketika ditanya oleh salah satu peserta seminar "Gerakan Perempuan Mewujudkan Good Governance" di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (26/5/2011).

Kompas.com hampir seciri dengan induknya group Kompas Gramedia, termasuk harian Kompas cetak, menggunakan bahasa yang datar dan melingkar  dalam menampilkan fenomena kontradiksi perilaku sebagaian besar pejabat negara termasuk Presiden hal hal kenaikan gaji dibanding Jokowi. Secara analisis wacana tematik, kompas menempatkan sosok Jokowi dalam posisi “hero”, meski dengan bahasanya terkesan hati-hati dan merendah. “Jarang terdengar pejabat di Indonesia tidak mau menerima gajinya, justru kebanyakan dari mereka meminta kenaikan gaji”. Kita bisa menangkap makna dalam topik berita ini, hampir seluruh pejabat negara memiliki motif dan pamrih terhadap kekayaan dengan gaji yang tinggi padahal kerja buat rakyat belum maksimal.

Kalimat berikutnya “Namun pejabat pejabat yang satu ini, Wali Kota Solo Joko Widodo, berbeda dengan pejabat lainnya. Selama menjabat sebagai wali kota, ia tidak pernah sekali pun mengambil gaji yang menjadi haknya”.  Jokowi adalh sosok teladan seorang pemimpin, manusia yang luar biasa kalau tidak mau disebut “setengah dewa”. Jokowi adalah oposisi dari kultur yang “salah” tapi mengakar dalam tipologi kepemimpinan atau pemimpin pejabat negara di Indonesia, Jokowi tidak memiliki pamrih terhadap kekayaan atau gajinya. Jokowi adalah pengecualaian, Jokowi adalah tipe pemimpin yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Jika kita berpijak pada teori McQuail, Media adalah cermin realitas, maka cermin tersebut sangat jernih memantulkan realitas yang sangat kontradiktif, berlawanan.  Jokowi adalah cermin bersih, bagaimana seharusnya pemimpin yang baik, sementara banyak pejabat negara kita jika di pantulkan oleh cermin media, terlihat wajah bopeng dan buruk perilaku mereka.

Tetapi jika gaji tinggi sebagian besar pejabat negara kita adalah sesuatu yang dinilai wajar, atau kelompok mayoritas dan berkuasa menganggap wajar, maka media sengaja menghadap-hadapkan mayoritas pejabat sebagai kelompok dominasi, dan Jokowi sebagai tokoh oposisi, bahasa terangnya meski Jokowi sendirinya, khalayak tetap bisa menangkap fakta, Jokowilah yang benar dalam hal ini.

detiknews

Sementara Detiknews, memotret realitas tentang Jokowi Walikota Solo yang tak pernah ambil gaji. Dengan judul 6 Aksi mengejutkan Jokowi, salah satunya adalah tidak pernah diambilnya gaji sebagai Walikota oleh Jokowi. Detik lebih menyoroti sisi human interest,  dan tidak membandingkan dengan perilaku banyak pejabat negara lainnya, tetapi memotretnya sebagai seorang manusia biasa yang notabene adalah kepala keluarga, seorang suami dan seorang bapak yang punya tanggung jawab menafkahi keluarganya. Bagaimana dan darimana keluarganya memperoleh nafkah untuk kebutuhan sehari-hari.

Detiknews. Mengulas fakta tersebut dengan menampilkan artikel yang berjudul 6 Aksi Mengejutkan Jokowi, Kamis 12/07/2012. Salah dari 6 aksi tersebut Jokowi Tak Ambil Gaji. Bekerja tanpa gaji. Itulah hal yang dilakukan Jokowi selama menjadi wali kota Solo. Tidak pernah sekali pun gaji yang menjadi haknya itu diambil oleh pria berpostur kurus ini. Ini bukan berarti Jokowi berlaku zalim pada diri dan keluarganya, namun baginya ada orang yang lebih membutuhkan uang tersebut ketimbang dirinya. Apalagi Jokowi dan istri memiliki usaha lain yang ditekuni sejak sebelum menjadi wali kota, yakni eksportir mebel.

"Gaji wali kota Rp 6,5 juta. Potong pajak jadi Rp 5,5 juta. Saya tidak pernah tanya. Saya merasa memang saya sebenarnya butuh uang, tapi ada orang lain yang lebih membutuhkan uang ini dari kita," kata Jokowi ketika ditanya salah satu peserta seminar 'Gerakan Perempuan Mewujudkan Good Governance' di Hotel Menara Peninsula, Jakarta pada 26 Mei 2011 lalu.

Berita atau informasi jenis human interest, dimaksudkan dan biasanya mengena pada suasana hati pembaca, mengaduk-aduk perasaan, bahkan menguras air mata khalayak.  jenis berita ini termasuk yang paling efektif dalam menyentuh wilayah intuisi, emosi, dan psikologi khalayak yang anonim dan heterogen. Sosok atau tokoh yang diangkat dan dihadirkan bukan orang itu sedang bergelimang dengan tahta kekuasaan, harta kekayaan, wanita pujaan, atau ketenaran lainnya. Dia diangkat dan dihadirkan justru karena sosok tersebut adalah manusia biasa, terkadang malah lemah dan tak berdaya, tetapi ternyata memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh orang banyak. Misalnya keluhuran budi, kesalehan sosial, kearifan lokal, kesabaran yang tanpa batas, atau kepasrahan untuk menyerahkan apa pun yang dimilikinya untuk kebahagiaan orang lain.

Jokowi digambarkan pria berpostur kurus. Kurus dalam dalam budaya kita akan cenderung dimaknai sebagai kelemahan, kekurangan, ketidakbedayaan. Beda dengan langsing, ramping, atau singset. Meski sama-sama kurus, makna yang kita peroleh menjadi berbeda 180 derajat. Langsing biasanya mengacu pada keindahan tubuh perempuan, gadis cantik dan bertubuh langsing. Sedangkan ramping, juga memiliki makna hampir sama, tetapi biasanya untuk perempuan yang dikategorikan ibu muda dari kelas menengah atas. Singset mendekati gemuk, tapi seksi.

            Namun lelaki berpostur kurus (bandingkan dengan postur SBY)  tersebut justru tidak mengambil sesuatu yang menjadi haknya, malah gajinya itu disumbangkan pada orang lain yang dianggapnya  lebih membutuhkan. Jokowi kembali digambarkan sebagai manusia biasa yang berhati mulia, “ saya merasa memang sebenarnya saya membutuhkan uang, tapi ada orang lain yang lebih membutuhkan uang ini dari kita,” kata Jokowi. Keluarga merasa cukup memenuhi kebutuhan nafkahnya dari usaha mebel. Jokowi sampai kurus, bekerja untuk rakyat Solo dan tidak pernah mengambil gaji.

Okezone.com

Media online Okezone.com menampilkan tema ini sebagai berikut : Okezone.com. Minggu 30 Desember 2012. Dengan Judul “ Mengulas fenomena tentang Jokowi yang tidak pernah ambil gaji sewaktu menjadi Walikota Solo dengan judul Ditanya Soal Gaji, Jokowi : Itu Masalah Rumit.”  SOLO - Saat menjabat sebagai Wali Kota Solo selama tujuh tahun atau dua periode, Joko Widodo atau biasa dipanggil Jokowi tidak pernah mengambil sekalipun gaji bulanannya sebagai Wali Kota. Namun begitu sikap Jokowi ini apakah akan dilakukannya saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta nanti? Menanggapi hal tersebut, Jokowi enggan menjawabnya."Masak soal itu ditanyakan juga. Nanti sajalah," kata Jokowi, kepada Okezone, di Lodji Gandrung, Rumah Dinas Wali Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (29/9/2012).

Media online OKezone.com, yang merupakan anak perusahaan dari salah satu konglomerat media Indonesia MNC Group, dalam memotret fakta tentang Walikota Solo Jokowi yang tidak pernah mengambil gaji, justru ketika Jokowi telah menjadi Gubernur DKI Jakarta, berita tersebut muncul pada tanggal 30 Desember 2012.

Pada saat itu Jokowi dan pasangannya Ahok telah ditetapkan sebagai pemenang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta dalam rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta (KPU DKI Jakarta), Jumat, 28 September 201. Jokowi-Basuki meraih 2.472.130 suara pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung pada Kamis 20 September 2012. Pasangan ini memperoleh suara sebesar 53,82 persen, unggul dari pasangan Foke-Nara yang mendapat suara sebanyak 46,18 persen.

Tentu saja, persepsi kita terhadap berita tersebut akan berbeda dibanding dengan berita yang sama yang disampaikan media-media sebelumnya. Timing atau waktunya memberi makna yang berbeda. Apalagi jika kita mencermati isi berita tersebut.

            Dalam kasus ini, media Okezone meski sama-sama mengambil fakta tentang  Jokowi yang tidak pernah mengambil gaji ketika menjadi Walikota Solo, akan tetapi sisi pengambilan makna yang ditonjolkan adalah bagaimana soal gaji Jokowi ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.  Okezone barangkali ingin memframe atau membingkai tema ini lebih pada masa depan. Apakah perilaku “baik” Jokowi akan sama dengan kondisi yang sebelumnya ketika masih di Solo.

Bahasa sederhananya, Okezone ingin mengatakan kepada khalayak, Jokowi memang memiliki kesalehan sosial tinggi ketika di Solo, namun di Jakarta, bisa jadi Jokowi akan berubah, atau setidaknya kesalehan Jokowi akan berbeda bentuk ketika telah menjadi Gubernur Jakarta. Dalam wujud apa, tentu kita akan lihat bersama ke depan.

Dalam kasus Jokowi sebagai Walikota Solo yang tidak pernah mengambil gajinya, oleh wartawan Okezone.com dimaknai sebagai sebuah pertanyaan atau tuntutan, atau semacam “tantangan” kepada Jokowi ketika telah menjadi Gubernur DKI Jakarta.

 Jokowi tidak menjawab langsung pertanyaan tersebut, dan dengan diplomatis menjawab, namun bukan berarti kesalehan Jokowi kemudian pudar ketika menjadi Gubernur DKI. Kita mencermati beberapa kesalehan Jokowi (keperpihakannya kepada rakyat kecil) kemudian berbeda pola ketika dirinya telah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Jokowi mendobrak kultur Jakarta sebagai kota metropolis yang lebih berpihak dengan kelompok-kelompok atau kelas “mampu” secara ekonomi, menjadi kota milik seluruh warga Jakarta dari semua kalangan.

ViVanews

Sementara Vivanews dalam kasus gaji Jokowi sewaktu menjadi Walikota Solo, hampir senanda dengan Kompas.com, tetapi dengan bahasa yang lebih lugas dan jelas. Muncul di halaman politik yang terbit Sabtu 29 Januari 2011. Isu ini diangkat untuk mengkritisi fenomena yang terjadi tentang kabar akan dinaikannya gaji para pejabat negara. Targetnya langsung mengarah ke pernyataan SBY yang “curhat” sudah tujuh tahun gajinya tidak naik.

Dalam hal ini, pilihan Jokowi ketika menjadi Walikota Solo untuk tidak pernah mengambil gajinya, tidak ada hubungannya dengan SBY atau siapapun, itu pilihan yang sifatnya sangat pribadi, bahkan tidak untuk membandingkan dirinya dengan SBY yang curhat minta kenaikan gaji. ViVanews yang memposisikan keperpihakannya pada kasus ini dengan membangun seolah ada dua kutub yang saling berseberangan dikalangan para pejabat negara, satu kelompok besar dan mayoritas (Presiden, para Menteri, dan DPR) yang ingin gajinya naik dan satu kelompok kecil moniritas (bahkan sendirian) Jokowi tidak pernah ambil gajinya selam menjadi pejabat negara. Tentu kita kemudian memaknainya “kelompok” SBY dalam posisi yang negatif.

Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji. VIVAnews -  Urusan gaji pejabat tinggi belakangan ini kian ramai dibicarakan. Pemicunya, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal gajinya yang sudah tujuh tahun tidak juga naik. Tapi tidak semua pejabat negara mempermasalahkan gaji. Walikota Solo Joko Widodo, misalnya.

Walikota yang tengah menjalani masa jabatan dua periode ini ternyata belum pernah sekali pun mengambil gajinya. Bahkan, mobil dinas walikota yang saat ini dipakainya juga merupakan 'warisan' pejabat walikota sebelumnya, Slamet Suryanto.

Jokowi panggilan akrab walikota Solo ini menuturkan, Sabtu 28 Januari 2011  hingga hari ini belum pernah melihat ataupun menerima amplop gaji bayarannya sebagai walikota. “Kalau teken saya memang teken tapi tidak pernah lihat amplopnya. Ambil gimana, wong lihat amplopnya saja tidak pernah,” kata dia.

Ketika ditanya kenapa tidak mengambil gajinya, dengan rendah hati ia tidak mau menjawabnya. “Nggak, nggak, saya tidak mau menjawabnya karena terlalu riskan. Yang penting saya tidak pernah ambil gaji. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada sekretaris atau ajudan saya,” tegas dia.

            Pengambilan perspektif  Vivanews yang membenturkan fakta antara ‘curhat” SBY yang tidak pernah naik gaji dengan Jokowi seorang Walikota yang tidak pernah mengambil gaji, juga dalam waktu hampir sama tujuh tahun. Tentu bukan sekedar berita biasa, yang hanya menginformasikan sebuah fakta. Kita meyakini, ada makna-makna yang ingin disampaikan ViVanews kepada khalayak.

            Pilihan moral media sebagai institusi dalam hal ini ViVanews melihat dan memotret realitas keinginan SBY untuk naik gaji ditampilkan sebagai bentuk kritik, suatu keinginan yang tidak selayaknya disampaikan oleh pemimpin, meminta balas budi dan imbalan yang disampaikan didepan publik luas, bukan hanya cara penyampaian tetapi materi yang disampaikan juga tidak selayaknya diungkapkan. Satu sisi jabatan presiden yang disandang SBY adalah kemauan sendiri untuk mengabdi kepada rakyat, bahkan fasilitas juga sudah sangat “mewah” untuk ukuran Indonesia yang rakyatnya masih banyak hidup dalam kemiskinan. Secara etika, hal tersebut sangat tidak pantas.

            ViVanews secara jelas menggambarkan, ada pejabat negara sekelas Walikota yang juga telah bekerja selama ini untuk melayani rakyat, jangankan meminta kenaikan gaji, bahkan sosok ini (Jokowi) tidak pernah mengambil gajinya. Suatu perbuatan teladan yang patut dicontoh oleh pejabat lain. Bahasa tegasnya SBY mendekati peran antagonis dan Jokowi adalah protogonis.

Sumber Tulisan :

Kompas.com, 26 Mei 2011. Wah ! Wah Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji.

Detiknews, Kamis, 12 Juli 2012.  6 Aksi Mengejutkan Jokowi.

Okezone.com, Minggu 30 Desember 2012. Ditanya Soal Gaji, Jokowi : Itu Masalah Rumit.” 

ViVanws, Sabtu 29 Januari 2011. Walikota Solo Tak Pernah Ambil Gaji.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun