Pencatatan perkawinan mempunyai arti hukum yang sangat penting dalam sistem hukum. Pencatatan perkawinan menginformasikan kepada pemerintah dan masyarakat tentang siapa yang dapat menikah secara sah dan mengakui hak-hak pasangan dan anak-anak mereka. Pencatatan perkawinan juga menjadi dasar untuk menyatakan hak dan kewajiban pasangan dan anak-anaknya, seperti ; hak waris, hak asuransi dan aplikasi visa dan paspor. Selain itu, pencatatan perkawinan juga menjadi dasar penyelesaian sengketa terkait perceraian dan pengakuan hak-hak keluarga.
PENDAPAT ULAMA DAN KHI TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL
Pertama Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Kedua Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya.
Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
Ketiga Pendapat Imam Asy-Syafi'i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki- laki yang menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut, Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda: “Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. (HR Tabarany dan Daruquthuny).