Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apa Gak Bosen Jadi Kades Lama-lama?

7 Februari 2024   18:50 Diperbarui: 7 Februari 2024   18:50 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: tandaseru.com

"Kalau bener jabatan Kades disetujui jadi delapan tahun dan bisa menjabat dua kali saya nanti mau nyalon kalo anak saya sudah masuk SD...." kata si Kabayan, setelah mendengar berita soal masa jabatan kades di televisi.

"Kenapa harus nunggu anakmu SD dulu?" tanya Mang Dasim yang ikut mendengarkan berita itu di televisi pos ronda Cibangkonol.

"Yaa supaya pas, saya menjabat kades sampai anak saya lulus kuliah, jadi sarjana...." Jawab Kabayan. "Coba dihitung, kalau anak saya pas masuk SD saya jadi kades, jabatan saya akan habis waktu anak saya kelas 2 SMP. Terus terpilih lagi, delapan tahun lagi, pas anak saya sudah wisuda kalau kuliahnya empat tahun. Kan enak, kuliah kan mahal, jadi pas anak saya kuliah saya masih menjabat!"

Mang Dasim manyun, "Itungannya sih bener, tapi apa bisa dijamin anakmu lulus tepat waktu empat tahun? Kalau males atau bodo, terus molor lima, enam, sampe tujuh tahun?"

"Ooh nggak bisa, pokoknya harus ditarget, kuliahnya tidak boleh lebih dari empat tahun!" kata si Kabayan lagi.

"Terus modal kamu nyalon kades dari mana?" Mang Odon yang juga ada di situ menimpali.

"Yaa nabung lah Mang, mumpung saya belum punya anak, jadi nabung dulu dari sekarang..." jawab si Kabayan.

"Terus modal nyalon putaran kedua?" tanya Mang Ubed.

"Ya nabung juga lah, masak delapan tahun jadi kades nggak bisa nabung buat ngajago (nyalon) lagi putaran kedua," si Kabayan ngotot. "Pasti tabungannya lebih banyak, jadi pasti kepilih lagi!"

"Iya lah," kata Mang Odon, "Anggap saja kamu jadi Kades, terus programmu apa?"

"Gampang atuh itu mah Mang. Kan dana desa sekarang satu milyar setahun, besok katanya mau dinaikin jadi dua milyar, terus jadi empat milyar. Dengan duit sebanyak itu, banyak lah yang bisa dibangun..." kata si Kabayan.

"Jalan dan jembatan?" tanya Mang Dasim.

"Aaah, itu mah bukan urusan desa, urusan kabupaten, propinsi, sama pusat. Urusan menteri pe-u..." kata si Kabayan.

"Bangun masjid?" tanya Mang Odon.

"Bangun masjid mah swadaya aja, sama nyari sumbangan..." jawab si Kabayan.

"Terus?" tanya Mang Ubed.

"Bangun patung aja, dari tokoh pewayangan. Tahun pertama Semar, tahun berikutnya Dawala, Udel, Cepot, Pandawa lima, srikandi... dan lainnya..." jawab si Kabayan.

"Patung doang?" tanya Mang Ubed.

"Ya, sekali-kali bangun gapura..." jawab si Kabayan.

"Cuma bangun patung dan gapura aja? Terus warga desanya nggak dikembangkan?" tanya Mang Ubed lagi.

"Warga kampung mah nggak usah dikembangkan, nanti juga berkembang sendiri. Mang Ubed aja anak lima, cucu sudah dua... kan nggak usah diurusi desa soal itu mah..." jawab si Kabayan.

"Maksudnya pengembangan sumber daya manusia, pelatihan apa gitu..." timpal Mang Odon.

"Ah, percuma bikin pelatihan mah, biayanya cuma habis buat honor panitia, honor pembicara, sama konsumsi peserta. Gak ada yang nyisa, percuma. Pas pelatihan apa-apa juga pesertanya juga paling pada tidur. Pulang pelatihan tetep saja bodo..." jawab si Kabayan.

"Memang bikin patung sama gapura ada gunanya?" tanya Mang Ubed.

"Eh ya ada lah, jaman sekarang mah yang penting kan poto, selpi, nah kan itu mendatangkan depisa buat desa. Yang penting, patungnya harus bagus, harus instagramebel. Kalau piral, kan nanti tambah banyak yang datang, angkot rame, ojeg rame, yang jualan laris, maju pan desa kita...." Kata si Kabayan lagi dengan yakin.

"Tapi apa kamu nggak bosen, enambelas tahun jadi kades? Nggak mau naik pangkat?" tanya Mang Ubed.

"Ah, Pa Nanang aja dari dulu sampe pensiun tetep aja guru SD, nggak naek-naek. Muridnya mah sudah jadi segala macem, dia mah masih saja ngajar ini budi, ini ibu budi.... Bayangkan, 30 tahun ngomongin si Budi terus... nggak bosen juga dia. Apalagi cuma jadi Kades, kan yang ngerjain juga banyak setapnya, ada sekdes, kaur, kabad, kadus, erwe, erte, yang bisa diperintah..." beber si Kabayan.

"Memangnya Kades nggak ada yang merintah? Bukannya ada Camat di atasnya, terus bupati, gubernur, presiden..." kata Mang Odon.

"Ya enggak lah, camat mah bukan atasan kades, kades mah dipilih langsung sama rakyat, camat mah kan enggak..." jawab si Kabayan.

"Bupati?" tanya Mang Dasim.

"Ada gitu kades yang dimarahi Bupati? Nggak ada! Urusan apa? Yang ada juga bupati kalau mau pemilihan lagi datang ke kades-kades, minta tolong supaya mengerahkan warganya agar dia dipilih lagi. Sementara yang nyalon kades, nggak pernah minta bantuan bupati! Sebaliknya lagi, ada kan bupati yang dimarahi gubernur, dan gubernur yang dimarahi presiden gara-gara jalan butut? Kan kalau di desa mah, jalan butut yang disalahin juga bukan kades, itu mah urusan kabupaten! Lagipula, bupati, gubernur, sama presiden mah lebih banyak mikirin gimana caranya kepilih lagi lima tahun nanti, sementara kades mah tenang, delapan tahun, bisa ngurusin yang lain!"

Mang Ubed, Mang Dasim, dan Mang Odon saling melirik, "Bener juga ya kalau dipikir-pikir mah, enakan jadi kades daripada jadi presiden...."

"Ya iya atuh, jadi presiden mah, anaknya nyalon, disebutnya dinasti politik, oligarki. Kalau kades mah tenang aja, malah kalau sudah habis waktunya dan nggak bisa nyalon lagi, tinggal nyalonin istrinya, atau anaknya. Nggak pake ribut-ribut. Kalau nggak suka, nggak usah dipilih, pilih yang lain. Itu juga kalau ada yang berani nyalon. Paling juga lawannya bumbung kosong. Masak iya bumbung kosong disuruh jadi kades! Nyalon kades juga gampang, nggak usah ngitung elektoral treshol atau koalisi dulu. Punya modal tinggal maju..." kata si Kabayan.

"Tapi kan banyak kades yang bermasalah dengan hukum, ada yang korupsi, ada yang selingkuh, macem-macem lah..." kata Mang Ubed.

"Aaah itu mah oknum Mang, jangan disamaratakan. Ada lebih dari 75 ribu desa di Indonesia, yang rusak mah satu dua aja. Beda sama yang tinggi-tinggi mah, susah disebut oknumnya, karena jumlahnya sedikit. Masak iya coba, ada oknum presiden, atau oknum wakil presiden... kan gak ada, jelas semua, gampang dicari taunya...."

"Bener juga ya, sok atuh siap-siap Yan, tahun depan kan di sini sudah waktunya pemilihan Kades..." kata Mang Odon.

"Sabar atuh Mang, saya mah masih lama nyalonnya, anak saja belum punya. Kalau lahir kan mau nunggu sampai masuk SD dulu, terus pas anak saya SD apa di sini ada pilkades atau enggak..." jawab si Kabayan enteng.

"Kalau nggak ada pilkades pas anakmu sudah mau SD?" tanya Mang Dasim.

"Gampang, usul aja pemekaran desa!" jawab si Kabayan.

"Atuh nanti keburu berubah lagi aturannya!" kata Mang Ubed, "Siapa tau malah di kurangi masa jabatannya..."

"Tenang aja Mang, yang namanya aturan, kalau hari ini bisa diubah, berarti besok bisa diubah lagi, terus besoknya ya bisa juga. Jadi nanti aja, nggak usah dipikirin sekarang!" kata si Kabayan.

"Terus sekarang kita mikirin apa atuh?" tanya Mang Dasim.

"Pikirin dulu jawaban kalau ditanya istri masing-masing besok makan apa!" jawab si Kabayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun