Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ibadah Petani ya Bertani, Pelajar ya Belajar. Pengangguran?

27 April 2021   05:09 Diperbarui: 27 April 2021   05:54 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tanamanporang.com

"Lama nggak keliatan Jang, kemana aja?" tanya Kabayan pada Jang Herdi, mahasiswa pertanian yang tak lain dari anak Pak Samudi, Lurah Cibangkonol, saat melintas di depan rumahnya.

"Ada aja Kang, di rumah terus kok..." jawab Jang Herdi.

"Kirain di Bandung, kuliah, terus sekarang baru balik sebelum mudik dilarang!" kata Kabayan lagi.

"Enggak Kang, kan sudah lama saya di rumah terus. Kuliah daring. Ini sudah tiga semester di rumah terus kok. Belum pernah ke kampus lagi malah..." jawabnya sambil duduk di bale-bale depan rumah si Kabayan.

"Kuliah di rumah apa enaknya, Jang?" tanya Kabayan sambil menggeser duduknya.

"Enak-nggak enak Kang..." jawab Jang Herdi. "Enaknya ya makan dan minum terjamin, nggak kayak di kosan. Bulan puasa juga enak, nggak perlu mikir mau buka sama sahur apa, sudah disediakan Ambu juga. Tapi ya gitu, bosen, pengen ngampus, pengen ketemu temen, pengen diskusi sama dosen dan lain-lainnya..."

"Rugi ya, SPP bayar terus, kuliahnya enggak..." kata si Kabayan.

"Ya nggak rugi juga sih Kang, cuma bosen..." sambung Jang Herdi. "Untungnya saja kuliah pertanian. Lebih banyak di rumah jadi lebih banyak belajar praktek..."

"Praktek apa aja Jang?"

"Ya, macem-macem lah Kang. Praktek nyetek, nyangkok, sembungan, pembibitan, pengendalian hama. Kalau di kampus kan malah kebanyakan teori, prakteknya jarang, paling di laboratorium. Kalau di sini kan enak, dikasih materi, terus bisa dicoba sendiri..." jawab Jang Herdi. "Apalagi kampung kita kan banyak lahan, banyak bahan, dan tanahnya bagus buat belajar. Sekalian belajar juga dari petani asli..."

"Terus, sekarang mau kemana atau darimana?"

"Habis dari kebon Mang Juju, belajar soal suweg sama dia..." jawab Jang Herdi.

"Suweg? Kangen buka puasa sama suweg?"

Jang Herdi menggeleng. "Sekarang kan lagi rame soal porang yang harganya mahal kalau dijual ke luar negeri. Nah kalo di kampung kita kan lebih banyak suweg. Bentuknya hampir mirip-mirip. Rencananya saya juga mau meneliti, apakah kandungan suweg itu sama atau tidak dengan porang. Terus, mau tahu juga, kalau di sini suweg bisa subur, apakah porang juga bisa..."

"Kenapa malah belajar dari Mang Juju yang tidak pernah kuliah? Mahasiswa pertanian kan harusnya lebih pinter dari petani?"

Jang Herdi tersenyum, "Ya enggak lah Kang. Petani tetap saja menang pengalaman. Mahasiswa pertanian kan hanya menang teori, kalau prakteknya kan belum tentu..."

"Terus nanti kalau Jang Herdi sudah jadi sarjana, mau jadi petani juga? Terus apa bedanya sama Mang Juju?"

"Ya, harusnya sarjana pertanian itu menyempurnakan pekerjaan petani. Petani hanya mengandalkan pengalaman, sarjana pertanian menambahkan pengetahuan. Misalnya kalau petani tahunya hanya bisa panen setahun sekali, sarjana pertanian bisa nggak mengusahakan agar bisa panen dua kali setahun. Atau yang buahnya selalu kecil, bisa nggak dibuat besar oleh sarjana pertanian..." jawab Jang Herdi.

Kabayan mengangguk-angguk. "Semua mahasiswa begitu, yang jurusan-jurusan lain?"

"Prinsipnya sama Kang..." jawab Jang Herdi.

"Jadi sebetulnya di rumah terus seperti sekarang itu nggak masalah ya?"

"Ya nggak masalah. Bagus sebetulnya, lebih banyak bisa praktek. Yang jurusan sastra mungkin lebih banyak berkarya, yang jurusan komunikasi belajar nulis, yang jurusan hukum mendalami KUHP, yang jurusan ekonomi belajar usaha, yang jurusan pertanian praktek nanam..." tambah Jang Herdi. "Hanya soal bosen saja sih Kang. Biar bagaimana, belajar bersama teman-teman tetap lebih asyik. Meski praktek juga asyik, apalagi bulan puasa, bisa seharian nggak terasa..."

"Sekalian ibadah?"

"Ya kan itu juga dihitung ibadah. Selain yang wajib, ibadah pelajar ya belajar. Akang sendiri ngapain aja selama bulan puasa ini?" Jang Herdi balik nanya.

"Yaah, namanya pengangguran Jang, ibadahnya juga begitu, kalau nggak candukul (diam nggak ngapa-ngapain), baringan, rebahan, ya molor..." kali ini yang menjawab Nyi Iteung.

"Enak saja, saya juga sedang belajar jadi pengamat!" kata si Kabayan.

Jang Herdi nyengir, "Nggak apa-apa Kang, sekarang banyak kok orang yang ngaku pengamat. Nongol di tipi, bayarannya gede, terkenal pula, tinggal ngaku pengamat apa..."

"Dia mah pengamat orang kerja, mengamati aja, nggak ngapa-ngapain!" tambah Iteung.

Melihat gelagat nggak beres, Jang Herdi buru-buru pamit.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun