Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Niat Sih Niat, tapi...

11 April 2021   22:00 Diperbarui: 11 April 2021   22:08 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih pagi. Meski sudah bangun, Kabayan masih saja rebahan di bale-bale bambu yang ditaruh di depan rumahnya. Sarungnya juga masih diselimutkan sampai ke bahu dengan tubuh terlipat. Maklum, udara di Cibangkonol masih terasa dingin.

Dari dapur yang pintunya terbuka, Nyi Iteung istrinya sedang memasak air untuk minum. Ia memajukan kayu bakar di tungku tanah liat, lalu berjalan keluar mendekati suaminya.

"Kang, eta sarung sudah bolong-bolong begitu, ganti atuh, sudah mau puasa. Kan sekarang sudah boleh tarawih bareng lagi di masjid..." kata Nyi Iteung.

"Kan masih ada satu lagi sarungnya Teung, yang itu khusus buat solat, ini buat tidur..." jawab Kabayan tanpa melirik istrinya.

"Yang itu turun pangkat buat tidur, nah yang Akang pake itu turun pangkat jadi lap..." kata Nyi Iteung lagi.

"Ah maksa kamu mah, pasti ada maunya!" kata Kabayan.

"Iya, maksudnya supaya Akang sekalian beliin mukena saya. Sudah belel, warnanya sudah nggak putih lagi..." jawab Nyi Iteung. "Saya mah nggak minta mukena yang mahal-mahal kayak mukena Sahrini. Yang penting mah baru, nggak dekil.."

Kali ini Kabayan membalikkan badannya menghadap Nyi Iteung, tapi tetap saja menutup badannya dengan sarung.  "Niat kamu beli mukena baru buat apa? Biar nanti kalau taraweh diomongin tetangga, 'eh, si Iteung mukenanya baru' begitu? Ini namanya riya. Percuma, ibadahnya nggak jadi pahala. Malah bikin dosa karena jadi bahan omongan orang lain!"

Iteung mendelik, "Bukan atuh Kang, beneran. Ini karena sudah jelek, sama dengan sarung Akang itu. kan kita masuk bulan istimewa, apa salahnya menyambutnya dengan pakaian istimewa. Namanya juga mau menghadap pencipta, apa salahnya? Lagian kan saya mah bukan minta baju lebaran baru, tapi minta mukena baru!"

"Teung,...sekarang ini lagi masa pandemi. Musim prihatin. Duit lagi susah. Kalaupun punya duit, kita harus menghindari dulu kerumunan seperti pergi ke pasar buat beli sarung atau mukena itu," kata si Kabatan, "Jadi nanti saja lah. Belum terlalu penting, selama masih ada sarung dan mukena buat solat ya sudah, itu saja dulu. Allah juga tahu, kita lagi susah, lagi dicoba. Apalagi mau puasa, belajar menahan diri. Lagipula beribadah itu yang penting niat, bukan pakaiannya. Pakaiannya secukupnya saja, yang penting bersih!"

"Kata siapa yang penting niat saja? Pakaian juga penting, itu menunjukkan rasa hormat dan syukur kita pada Allah!" bantah Nyi Iteung.

"Bukan kata saya, beneran. Itu kata ustad Somad..." kata Kabayan.

"Ustad Abdul Somad, UAS?"

"Bukan, UTS, Ustad Tatang Somad, ustad dari Cisumpil itu?"

"Yang istrinya tiga itu?" tanya Nyi Iteung.

"Hus... mau tiga atau empat bukan urusan kamu. Selama sah dan dia mampu berbuat adil!" kata Kabayan, "Jangan suka bergosip, gibah, dosa tau!"

"Iya maaf, keceplosan soal itu mah..." kata Nyi Iteung. "Tapi kan dia mah cuma ustad kampung, lulusan pesantren Cisumpil juga. Ilmunya juga pasti masih cetek. Buktinya paling jauh dipanggil pengajian Cuma sampai Cibangkonol sini, itu juga karena di sini nggak ada ustad!"

"Heh... ngomongin orang lagi!" bentak Kabayan. "Tidak penting lulusan pesantren kampung atau pesantren Mesir, yang penting ilmunya bener, bukan ustad yang menyesatkan!"

Iteung diam lagi, "Iya, maaf Kang, keceplosan lagi..."

"Tuh, daripada mikirin mukena baru, mau puasa ini mendingan belajar menahan ucapan. Lebih susah itu daripada menahan lapar!" kata si Kabayan. "Sekali lagi, ibadah tuh yang penting niat. Termasuk niat untuk belajar menahan omongan!"

Iteung nyerah. Ia ngeloyor meninggalkan suaminya.

"Mau kemana kamu? Marah karena diomongin begitu?" tanya Kabayan.

"Enggak Kang. Bener kata Akang, yang penting niat. Saya mau meluruskan niat saya sambil nerusin masak!" jawab Nyi Iteung.

"Masak apa sekarang?" tanya Kabayan sambil tersenyum.

"Sop ayam..." jawab Nyi Iteung pendek.

"Wah tumben, begitu dong, mumpung puasa belum mulai, menyenangkan perut dulu!" si Kabayan cengangas-cengenges.

Iteung tak menjawab, ia berjalan masuk dan menuju dapur untu mengengok air yang sedang direbusnya. Sudah mendidih. Ia pun segera mengangkatnya, lalu berteriak pada suaminya, "Kang, sopnya sudah siap. Sini, mumpung masih panas!"

Kabayan langsung melompat dari bale-bale, melilitkan sarungnya di pinggang dan bergegas masuk. Ia lalu duduk di lantai rumah panggungnya menunggu istrinya menyajikan makanan.

Nyi Iteung menghampirinya sambil membawa panci dan mangkok juga sendok. Ia menaruh mangkok dan sendok di depan Kabayan yang duduk bersila. Setelah itu ia menuangkan separuh isi panci yang masih mengepul itu ke dalam mangkok.

"Silakan dinikmati sopnya Kang..."

Kabayan bengong. "Sop apa ini? Katanya sop ayam, kok bening begini, nggak ada sayur-sayurnya acan, apalagi ayamnya..."

Nyi Iteung meraih bulu ayam yang biasa dipake membersihkan kuping suaminya dan menaruhnya di atas mangkok. "Nih, saya sudah niatkan masak sop ayam hari ini. Tapi karena sayurnya nggak ada, bumbu dan garamnya sudah habis juga, terus ayam cuma ada bulunya aja, ya anggap saja ini sop ayam. Kan kata UTS, Ustad Tatang Somad, yang penting niatnya!"

Kabayan sudah mangap mau ngomong, tapi Nyi Iteung sigap menutup mulutnya. "Belajar nahan omongan Kang!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun