Hari masih pagi. Meski sudah bangun, Kabayan masih saja rebahan di bale-bale bambu yang ditaruh di depan rumahnya. Sarungnya juga masih diselimutkan sampai ke bahu dengan tubuh terlipat. Maklum, udara di Cibangkonol masih terasa dingin.
Dari dapur yang pintunya terbuka, Nyi Iteung istrinya sedang memasak air untuk minum. Ia memajukan kayu bakar di tungku tanah liat, lalu berjalan keluar mendekati suaminya.
"Kang, eta sarung sudah bolong-bolong begitu, ganti atuh, sudah mau puasa. Kan sekarang sudah boleh tarawih bareng lagi di masjid..." kata Nyi Iteung.
"Kan masih ada satu lagi sarungnya Teung, yang itu khusus buat solat, ini buat tidur..." jawab Kabayan tanpa melirik istrinya.
"Yang itu turun pangkat buat tidur, nah yang Akang pake itu turun pangkat jadi lap..." kata Nyi Iteung lagi.
"Ah maksa kamu mah, pasti ada maunya!" kata Kabayan.
"Iya, maksudnya supaya Akang sekalian beliin mukena saya. Sudah belel, warnanya sudah nggak putih lagi..." jawab Nyi Iteung. "Saya mah nggak minta mukena yang mahal-mahal kayak mukena Sahrini. Yang penting mah baru, nggak dekil.."
Kali ini Kabayan membalikkan badannya menghadap Nyi Iteung, tapi tetap saja menutup badannya dengan sarung. Â "Niat kamu beli mukena baru buat apa? Biar nanti kalau taraweh diomongin tetangga, 'eh, si Iteung mukenanya baru' begitu? Ini namanya riya. Percuma, ibadahnya nggak jadi pahala. Malah bikin dosa karena jadi bahan omongan orang lain!"
Iteung mendelik, "Bukan atuh Kang, beneran. Ini karena sudah jelek, sama dengan sarung Akang itu. kan kita masuk bulan istimewa, apa salahnya menyambutnya dengan pakaian istimewa. Namanya juga mau menghadap pencipta, apa salahnya? Lagian kan saya mah bukan minta baju lebaran baru, tapi minta mukena baru!"
"Teung,...sekarang ini lagi masa pandemi. Musim prihatin. Duit lagi susah. Kalaupun punya duit, kita harus menghindari dulu kerumunan seperti pergi ke pasar buat beli sarung atau mukena itu," kata si Kabatan, "Jadi nanti saja lah. Belum terlalu penting, selama masih ada sarung dan mukena buat solat ya sudah, itu saja dulu. Allah juga tahu, kita lagi susah, lagi dicoba. Apalagi mau puasa, belajar menahan diri. Lagipula beribadah itu yang penting niat, bukan pakaiannya. Pakaiannya secukupnya saja, yang penting bersih!"
"Kata siapa yang penting niat saja? Pakaian juga penting, itu menunjukkan rasa hormat dan syukur kita pada Allah!" bantah Nyi Iteung.