Pada tulisan sebelumnya, saya sudah menyinggung tentang memisahkan istilah-istilah dalam komunikasi, yaitu antara komunikasi sendiri, iklan, Public Relations, Dakwah, dan Propaganda (Silakan klik di sini).
Kali ini saya akan mulai membahas tentang teknik-teknik yang dikenal dalam propaganda, baik yang sudah dikenal maupun yang belum terlalu banyak dikenal.
Perlu diingat bahwa pemberian nama dalam teknik-teknik ini bisa saja beragam tetapi merujuk pada satu pengertian yang sama. Sehingga dalam beberapa hal, seringkali tumpang tindih, bersinggungan, atau bahkan sedikit membingungkan.
Tapi tak usah berpusing-pusing dengan istilah, lebih baik memahami prinsip kerjanya saja.
Teknik propaganda yang akan dibahas kali ini secara umum disebut dengan name calling atau dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai 'penjulukan.'
Name calling adalah teknik propaganda yang 'wajib' dalam kerja propaganda. Kenapa? Karena ini memperkuat prinsip kerja dasar propaganda yakni membedakan antara 'us' (kita) dan 'them' (mereka). 'Us' adalah pihak yang melakukan propaganda, dan 'them' adalah pihak yang dijadikan lawan propaganda. Pemberian name calling ini bisa diberikan kepada seseorang, kelompok, atau pendukungnya.
Name calling diperlukan sebagai pembeda atau semacam identitas yang dilekatkan, baik untuk 'kita' maupun untuk 'mereka.' Tentu saja, julukan bagi 'kita' adalah julukan yang baik-baik saja dan menguntungkan. Dan sebaliknya, julukan bagi 'mereka' adalah yang berkonotasi buruk atau setidaknya 'tidak lebih baik dari kita.'
Dalam praktiknya, pemberian julukan itu bisa dilakukan untuk kedua belah pihak secara langsung. Misalnya saja, 'kita' menyebut sebagai kelompok 'pembela kebenaran' dan menyebut mereka sebagai kelompok 'pelanggar hukum.' Ini disebut sebagai both side name calling.
Ada juga name calling yang hanya diberikan untuk pihak 'kita' tanpa harus memberi julukan pada 'mereka.' Ini biasa disebut sebagai 'our side name calling.'
Sebagai contoh, ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942, mereka menyebut dirinya sebagai 'Saudara Tua' yang berjanji akan membantu Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Pemilihan julukan ini bukannya tanpa alasan. Saat itu, Indonesia masih dikuasai oleh Belanda. Jepang membujuk orang Indonesia untuk membantu mereka dengan alasan bahwa antara orang Jepang dan Indonesia memiliki kesamaan, yakni sama-sama orang Asia yang 'bersaudara.'
Untuk menguatkan posisinya, mereka menyebut dirinya sebagai 'saudara yang lebih tua' yang dalam banyak hal berkonotasi bahwa 'orang yang lebih tua akan (punya kewajiban) membantu yang lebih muda.'
Dalam hal ini, tak ada julukan khusus untuk Belanda. Tapi secara eksplisit, bisa diartikan bahwa 'Belanda itu bukan saudara.'
Julukan ini pada awalnya cukup efektif untuk meraih simpati, sehingga banyak pejuang Indonesia yang membantu Jepang. Sampai akhirnya Indonesia menyadari bahwa 'saudara tua' itu tak ada bedanya dengan yang 'bukan saudara,' bahkan dalam beberapa hal dianggap lebih kejam dari yang 'bukan saudara' itu.
Contoh lain yang menggunakan 'our side name calling' adalah dalam iklan kecap klasik, yaitu 'kecap nomor satu.' Siapa yang menggunakannya? Ya jelas kecap yang beriklan. Dalam hal ini, kecap itu tidak memberikan daftar nomor untuk kecap merek lain.
Tapi dengan begitu, khalayak akan diarahkan pada pengertian bahwa kecap yang lain 'bukan nomor satu,' entah nomor berapa. Yang jelas, konotasinya tentu saja bahwa yang nomor satu adalah yang terbaik.
Meski demikian, penggunaan teknik name calling yang paling banyak dan paling umum adalah memberikan julukan bagi 'mereka' (their side name calling). Tentu saja untuk 'mereka' akan diberikan julukan yang berkonotasi buruk.
Untuk kelompok, misalnya, kita sering menemukan julukan 'teroris' bagi mereka yang melakukan tindakan yang dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Misalnya saja, Amerika Serikat menyebut kelompok Al-Qaida sebagai 'kelompok teroris.'
Dalam hal ini, tentu saja pihak Al-Qaida sendiri tak pernah mau mengakuinya. Bisa jadi malah sebaliknya, mereka menuduh AS-lah sebagai 'teroris' itu sendiri. Dan bagi mereka, apa yang mereka lakukan bukanlah sebagai aksi teror, melainkan 'perjuangan.'
Tentu saja ini berkaitan dengan persoalan perspektif. Kita ambil saja contoh Robin Hood. Bagi pihak berwenang Inggris (saat itu) ia dan kelompoknya adalah penjahat, karena melakukan perampokan. Tapi bagi masyarakat yang dibantunya (dan yang membenci kerakusan para penguasa Inggris saat itu) mereka adalah 'pahlawan.'
Dalam banyak hal, julukan 'pahlawan' bagi satu pihak, berarti 'musuh' atau 'pengkhianat' bagi pihak lainnya. Misalnya saja, dalam peristiwa konfrontasi Indonesia-Malaysia, tiga orang anggota pasukan marinir Indonesia yaitu Usman Janatin, Harun Thohir, dan Gani bin Arup melakukan peledakan bom di Singapura tanggal 10 Maret 1965. Saat itu, Singapura masih bagian dari Federasi Malaya.
Usman dan Harun ditangkap beberapa hari setelah peristiwa, sementara Gani beruntung bisa meloloskan diri. Usman dan Harun kemudian dijatuhi hukuman gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968 (setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaya). Jenazah keduanya kemudian dipulangkan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bagi Indonesia, keduanya adalah pahlawan, sebagaimana gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada mereka, termasuk menamakan sebuah kapal perang TNI yaitu KRI Usman-Harun. Tapi bagi pihak Singapura (dan Federasi Malaya) saat itu, mereka disebut 'teroris' karena meledakkan sebuah tempat yang menimbulkan korban di pihak sipil.
Kembali ke soal name calling, ini adalah sebuah praktik propaganda yang paling mudah ditemukan dan paling mudah dideteksi, karena pada umumnya julukan ini akan diumumkan kepada publik, bahkan selalu disebut dalam kampanye yang disiarkan melalui media massa.
Tentu saja, sebagaimana propaganda juga tak selalu dilakukan untuk hal yang buruk, banyak propaganda yang bertujuan baik juga menggunakan teknik ini yang tujuannya adalah untuk memberikan penghormatan atau pujian.
Dalam propaganda agama (kemudian kita mengenalnya dengan sebutan dakwah), kita juga sering menemukan penggunaannya. Misalnya saja dalam agama Kristen, Yesus Kristus disebut sebagai 'Juru Selamat.' Dalam Islam, Nabi Muhammad disebut sebagai 'Al Mahiy' (penghapus kebodohan di zaman jahiliyah). Dalam agama Budha, Sidharta Gautama dikenal sebagai 'Sakyamuni' (orang bijak dari kaum Sakya). Dan sebagainya.Â
 Â
TEKNIK BERIKUTNYA: (2) GLITTERING GENERALITY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H