Untuk menguatkan posisinya, mereka menyebut dirinya sebagai 'saudara yang lebih tua' yang dalam banyak hal berkonotasi bahwa 'orang yang lebih tua akan (punya kewajiban) membantu yang lebih muda.'
Dalam hal ini, tak ada julukan khusus untuk Belanda. Tapi secara eksplisit, bisa diartikan bahwa 'Belanda itu bukan saudara.'
Julukan ini pada awalnya cukup efektif untuk meraih simpati, sehingga banyak pejuang Indonesia yang membantu Jepang. Sampai akhirnya Indonesia menyadari bahwa 'saudara tua' itu tak ada bedanya dengan yang 'bukan saudara,' bahkan dalam beberapa hal dianggap lebih kejam dari yang 'bukan saudara' itu.
Contoh lain yang menggunakan 'our side name calling' adalah dalam iklan kecap klasik, yaitu 'kecap nomor satu.' Siapa yang menggunakannya? Ya jelas kecap yang beriklan. Dalam hal ini, kecap itu tidak memberikan daftar nomor untuk kecap merek lain.
Tapi dengan begitu, khalayak akan diarahkan pada pengertian bahwa kecap yang lain 'bukan nomor satu,' entah nomor berapa. Yang jelas, konotasinya tentu saja bahwa yang nomor satu adalah yang terbaik.
Meski demikian, penggunaan teknik name calling yang paling banyak dan paling umum adalah memberikan julukan bagi 'mereka' (their side name calling). Tentu saja untuk 'mereka' akan diberikan julukan yang berkonotasi buruk.
Untuk kelompok, misalnya, kita sering menemukan julukan 'teroris' bagi mereka yang melakukan tindakan yang dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Misalnya saja, Amerika Serikat menyebut kelompok Al-Qaida sebagai 'kelompok teroris.'
Dalam hal ini, tentu saja pihak Al-Qaida sendiri tak pernah mau mengakuinya. Bisa jadi malah sebaliknya, mereka menuduh AS-lah sebagai 'teroris' itu sendiri. Dan bagi mereka, apa yang mereka lakukan bukanlah sebagai aksi teror, melainkan 'perjuangan.'
Tentu saja ini berkaitan dengan persoalan perspektif. Kita ambil saja contoh Robin Hood. Bagi pihak berwenang Inggris (saat itu) ia dan kelompoknya adalah penjahat, karena melakukan perampokan. Tapi bagi masyarakat yang dibantunya (dan yang membenci kerakusan para penguasa Inggris saat itu) mereka adalah 'pahlawan.'
Dalam banyak hal, julukan 'pahlawan' bagi satu pihak, berarti 'musuh' atau 'pengkhianat' bagi pihak lainnya. Misalnya saja, dalam peristiwa konfrontasi Indonesia-Malaysia, tiga orang anggota pasukan marinir Indonesia yaitu Usman Janatin, Harun Thohir, dan Gani bin Arup melakukan peledakan bom di Singapura tanggal 10 Maret 1965. Saat itu, Singapura masih bagian dari Federasi Malaya.
Usman dan Harun ditangkap beberapa hari setelah peristiwa, sementara Gani beruntung bisa meloloskan diri. Usman dan Harun kemudian dijatuhi hukuman gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968 (setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaya). Jenazah keduanya kemudian dipulangkan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.