Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (118) Jurnal Ringkasan Buku

8 April 2021   10:36 Diperbarui: 8 April 2021   10:36 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (117) Belajar Bahasa Jerman, Atau...

*****

Soso membawa surat dan bungkusan itu dan menyimpannya di kamarnya di Sarang Setan. Masih ada waktu sebelum ia harus ekmbali ke sekolah. Ia pun mengambil surat dan mulai membacanya. Sabine menulisnya dalam bahasa dan huruf Rusia yang cukup baik. Meski dalam beberapa hal tulisannya salah, tapi ia masih bisa memahami secara keseluruhannya.

Koba yang baik,

Aku sangat ingin mengucapkan salam perpisahan ini langsung berhadapan denganmu. Tapi ternyata tak memungkinkan. Kau masih pergi mengembara dan belum kembali saat aku memutuskan untuk meninggalkan Tiflis dan kembali ke Hamburg.

Tak banyak yang ingin kusampaikan padamu. Intinya, aku senang bisa mengenalmu. Kamu tahu, aku tak punya banyak teman di Tiflis, selain orang-orang Jerman sendiri yang berada di situ. Aku mengenal beberapa orang Rusia dan Georgia di situ, tapi tak ada yang sedekat seperti denganmu. 

Dan denganmu, aku bukan hanya cukup kenal dan dekat. Aku lebih mengenal dan memahami lagi dirimu dan juga orang-orang Georgia. Aku mengenal situasi dan mimpi-mimpi orang Georgia. Kudoakan suatu saat nanti, kalian, orang-orang Georgia bisa meraih mimpi-mimpi itu, berdaulat di kampung halamanmu sendiri.

Lebih khusus lagi, aku mendoakanmu, agar kamu bisa meraih mimpi-mimpimu, baik mimpi tentang kampung halamanmu, maupun mimpimu sendiri. Kuharap nanti, kamu bisa melihat bagian-bagian dunia yang lain, bukan hanya Eropa, tapi mungkin seluruh dunia.

Tak kuragukan lagi tentang kemampuanmu. Aku melihat kamu sebagai orang yang pandai bergaul dengan orang lain, dan bisa memesonakan orang-orang yang mengenalmu. Aku melihatmu sebagai orang yang suatu saat nanti mungkin akan ikut mengambil bagian dalam perubahan di kampung halamanmu. Entah sebagai apa.

Tentang aku sendiri, tak perlu kau risaukan. Aku harus pulang dan meneruskan hidupku. Tak bisa aku terus-terusan ikut dengan orang tuaku. Aku harus memilih jalan hidupku sendiri. Jika aku bertemu dengan kekasihku, aku ingin segera memastikan apakah aku berjodoh dengannya. Jika tidak, aku harus memilih, mungkin meninggalkannya dan menikahi laki-laki lain.

Terlalu lama berada di Tiflis, membuatku semakin banyak kehilangan waktu, tak seperti gadis-gadis lain sebayaku yang sudah berkeluarga. Semakin lama di Tiflis juga semakin membuatku terlalu banyak bermimpi tentangmu.

Aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai teman. Ada perasaan lain yang tak perlu kujelaskan. Tapi itu tak mungkin. Daripada aku harus bergulat dengan perasaanku sendiri dan mungkin malah menghalangi jalanmu, lebih baik aku meninggalkanmu.

Kutinggalkan sesuatu untukmu. Bukan sesuatu yang berharga. Hanya sesuatu yang mungkin setidaknya mengingatkanmu bahwa kita pernah bertemu dan saling mengenal. Itu saja. Jika suatu saat kau punya waktu, sudilah kiranya kau mengirimu kabar. Apa saja. Kutuliskan alamatnya di bawah ini. 

 

Salam, Sabine Ulser

Soso melipat surat itu dan menyimpannya. Ia lalu membuka bungkusan yang menyertai surat itu. Isinya adalah gaun putih yang dipakai Sabine saat mereka jalan-jalan berkeliling Tiflis dulu. Soso tersenyum, tapi setelah itu ia bingung. Mau diapakan baju itu? disimpannya? Disimpan di mana? "Nantilah kusimpan di rumah Pak Sese.." pikirnya. Tak mungkin ia menyimpannya di situ, takut diketahui dan digunjingkan oleh anak-anak.

*****

Tak ada yang salah dari kepulangan Sabine. Soso menceritakan kepada ibunya apa adanya saat ia datang lagi untuk belajar bahasa. Mereka akhirnya sepakat untuk menentukan jadwalnya, tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Senin, Selasa, dan Rabu. Tentu saja pada jam istirahat Soso yang sebetulnya tak terlalu panjang itu. Itupun seringkali habis di jalan, karena jaraknya yang cukup jauh dari seminari ke pemukiman Jerman di dekat Gunung Suci itu.

Soal buku Vladimir Ulyanov yang menyebabkan ia tertarik untuk mempelajari Bahasa Jerman, Soso sudah membuat salinannya. Ia benar-benar sangat ingin memahami apa yang ditulisnya itu dengan lengkap, tapi tak bisa terus-menerus menyimpan bukunya. Terlalu berisiko, takut ia merusak atau menghilangkan barang berharga itu. Ia pun mengembalikan buku aslinya kepada Tuan Zakaria Chichinadze.

Sejak itu, Soso menjadi lebih akrab pula dengannya. Seperti halnya pada Pangeran Ilia Chavchanadze dan Niko Nikoladze, Soso juga menghormati lelaki muslim itu. Lelaki itu menurutnya bahkan punya nilai lebih, mengingat latar belakangnya sebagai minoritas tetapi tetap merasa sebagai orang Georgia, dan juga perjuangannya.

Percetakan dan toko buku miliknya tidak semata bertujuan untuk mencari untung. Tapi juga menyelipkan tujuan mulia, memberi penyadaran kebangsaan. Ia mencetak surat-suratkabar berbahasa Georgia yang sebetulnya --menurutnya---tak terlalu menguntungkan dari sisi bisnis. Belum lagi, ia membuat cetakan karya-karya para pujangga Georgia agar tetap lestari.

Ia bahkan sengaja mencetak buku-buku itu untuk dibagikan di kalangan muslim Georgia di wilayah selatan dan barat yang berbatasan dengan Otoman agar mereka terjaga rasa nasionalismenya dan tak tergiur untuk bergabung dengan negara-negara muslim itu agar bisa berjuang bersama dengan orang-orang Georgia yang lain.

Dan satu hal lagi yang disukai Soso, ternyata ia juga memiliki toko buku. Berbeda dengan toko bukunya Pak Yedid yang bener-bener jualan buku, atau toko bukunya Gege Imedashvili yang menjual dan menyewakannya sambil berusaha kedai kopi, toko bukunya Tuan Zakaria itu lebih menyerupai perpustakaan. Orang-orang yang berkunjung bisa membacanya, atau boleh membelinya jika mau dan ia memiliki lebih dari satu. Kalau misalnya sebuah buku hanya tinggal satu, ia akan memilih untuk menyimpannya ketimbang menjualnya.

Koleksi bukunya, ternyata juga cukup banyak, bahkan mungkin lebih banyak dari punyanya Gege Imedashvili. Semua buku yang pernah dilihatnya di toko bukunya Gege, ia temukan di sana. Beberapa bahkan ada yang tidak pernah ia lihat sebelumnya baik di tokonya Pak Yedid maupun di tokonya Gege Imedashvili.

Lebih asyiknya lagi, toko buku milik Tuan Zakaria Chichinadze itu tak terkena razia. Menurut Tuan Zakaria, polisi hanya merazia percetakannya, dan tidak mengambil apapun dari sana. "Semua yang dicetak kan sudah melewati sensor, atau setidaknya, itu tanggungjawab pengelola suratkabarnya, bukan tanggungjawabku..." jelasnya. "Sementara toko bukuku, memang tak terlalu banyak orang yang tahu. Aku sendiri mengatakannya sebagai koleksi pribadi, dan polisi bahkan tak menengoknya sama sekali..."

"Jadi saya boleh membaca buku-buku itu, Tuan?" tanya Soso.

"Bacalah, karena itulah gunanya buku..." jawab Tuan Zakaria. "Sementara ini kau boleh meminjamnya saja, aku tak ingin menjualnya dulu, biar lebih aman dan menghindari penyitaan..."

"Kalau saya membawanya keluar dari sini untuk membacanya?"

"Asal jangan kau bawa ke sekolahmu saja. Nanti malah jadi masalah. Masalah buatmu dan masalah buatku, terutama kalau bukunya langka..."

"Saya punya kontrakan, Tuan, saya bisa menyimpan dan membacanya di sana..." kata Soso.

"Ya, aku tahu. Bawa saja buku yang kau mau..." jawabnya singkat.

"Bolehkah saya mengajak teman-teman yang lain untuk membaca buku di sini?" tanya Soso lagi.

"Ajak saja, tapi jangan terlalu banyak dulu sementara ini. Kita harus menjaga jangan sampai menarik perhatian polisi atau biro sensor..."

"Baik Tuan, terimakasih banyak..."

Lelaki baik hati itu tersenyum, "Aku senang bertemu dengan anak-anak muda sepertimu. Tapi untuk saat ini kita memang harus berhati-hati, jangan sampai merugikan semua. Kebijakan ini bukan hanya berlangsung di sini saja, tapi di tempat lain di seluruh wilayah Kekaisaran Rusia..."

"Saya paham Tuan," imbuh Soso.

"Ya sudah. Oh ya, satu hal lagi," kata Tuan Zakaria. "Seandainya kau punya waktu, maukah kau membantuku menerjemahkan buku-buku ke dalam Bahasa Georgia?"

"Wah, dengan senang hati Tuan..." Soso tersenyum, "Tapi buku apa yang akan diterjemahkan?"

"Buku apapun yang sekiranya akan membuat orang tertarik untuk membacanya..." jawab Tuan Zakaria. "Tapi sementara ya buku-buku sastra yang netral saja, karena tujuannya bukan untuk menyebarkan gagasan, tapi untuk menaikkan minat baca orang-orang..."

"Seperti Shakespeare misalnya?"

Tuan Zakaria mengangguk, "Ya, yang seperti itu saja. Tak apa dari versi Bahasa Rusianya juga. Yang penting kan menarik isinya..."

"Dengan senang hati Tuan, adakah yang bisa saya lakukan sekarang?" tanya Soso.

"Tak usah terburu-buru, pilih saja dulu bukunya yang menurutmu menarik. Ingat, yang menarik saja, jangan yang terlalu berat!"

Soso mengangguk, "Siap Tuan!"

*****

Sejak itu, Soso punya kegiatan yang rutin. Jam istirahatnya yang tak terlalu panjang itu digunakan untuk dua hal, belajar Bahasa Jerman setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu, sementara hari lainnya ia gunakan untuk membaca setelah mengunjungi tempatnya Tuan Zakaria dan meminjam buku dari sana.

Kali ini, Soso tak sekadar membaca. Tapi juga mulai mencatat poin-poin penting dari buku-buku yang dibacanya. Ia membuat semacam jurnal ringkasan buku-buku itu. ringkasan-ringkasan buku yang dibacanya itu kemudian diberikan kepada kawan-kawannya di Lingkaran Setan. Merekalah yang kemudian mendiskusikannya. Sesekali Soso juga terlibat dalam diskusi itu jika mereka kesulitan menangkap maksud dari buku yang dicatat oleh Soso itu.

Jurnal ringkasan buku itu ternyata sangat membantu Soso sendiri dalam memahami dan mengingat isi sebuah buku. Selama ini ia hanya mengandalkan ingatannya. Dan itu seringkali membuat pemikiran dari satu buku bercampur dengan pemikiran orang lain dari buku yang lain atau orang yang sama dalam bukunya yang lain.

Dengan begitu, ia merasa lebih bisa mengikuti pola pikir Vladimir Ulyanov dalam memahami sebuah gagasan dalam sebuah buku. Kebiasaan barunya itu membuatnya harus membaca ulang beberapa buku yang dianggapnya penting. Ia membaca kembali karya-karya Charles Darwin, Karl Marx, Hegel, bahkan juga novel-novel yang pernah dibacanya. Hasilnya, ia merasa pemahamannya menjadi jauh lebih baik. Apalagi ketika ia membaca kembali catatan dalam jurnal ringkasan bukunya.

Selain itu, ia juga membawa sebuah buku karya Shakespeare, apalagi kalau bukan Romeo dan Juliet untuk diterjemahkan. Soso sengaja memilih itu, karena selain sudah cukup hafal isinya, niatnya adalah juga untuk belajar menerjemahkan. Jadi harus dari yang mudah dulu.

Meski begitu, menerjemahkan buku ternyata bukan hal yang mudah baginya. Lebih mudah baginya untuk membaca dan memahami isinya...

Tapi ia tak mau menyerah. "Aku harus belajar!" tekadnya.

*****

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun