Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (114) Zakaria Chichinadze

25 Maret 2021   13:24 Diperbarui: 27 Maret 2021   12:04 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (113) Razia Toko Buku di Tiflis

*****

Penasaran dengan apa yang terjadi di kotanya dan juga di seluruh wilayah kekuasaan Rusia, satu-satunya yang bisa ditanyai adalah Pangeran Ilia Chavchanadze, bangsawan Georgia satu-satunya yang ia kenal. Soso memutuskan untuk mampir. Terakhir ia menemuinya adalah saat mengantarkan surat dari Tuan Nikoladze, Walikota Poti yang ternyata saudara ipar dari pihak istrinya itu.

Pangeran Ilia, seperti biasa, menyambutnya dengan senang hati. Sebuah kehormatan bagi Soso bisa mengenal dan dekat dengannya. Ia bukan hanya bangsawan, tapi juga tokoh pergerakan Georgia yang dihormati di mana-mana dan oleh banyak kalangan, bahkan oleh orang yang tak sependapat dengannya sekalipun.

"Setidaknya, di St Petersburg sana memang terjadi kegentingan. Setidaknya begitulah penilaian dari pihak Tsar..." kata Pangeran Ilia. Ia kemudian bercerita tentang hal-hal yang secara umum tak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Gege Imedashvili. Tentang gerakan-gerakan anti-Tsar, penghasutan buruh untuk mogok dan melawan, sejumlah aktivis yang ditangkap, dan sebagainya.

Ketika tengah asyik mendengarkan cerita Pangeran Ilia, seorang lelaki setengah baya, tinggi dan kurus mengetuk pintu. Soso dan Pangeran Ilia melirik, Pangeran Ilia langsung tersenyum melihat lelaki itu, "Tuan Zakaria, selamat datang, silakan bergabung!"

Soso segera menggeser duduknya. Lelaki itu lalu duduk di sebelah Soso, tersenyum dan menyapanya, "Siapa gerangan anak muda ini?"

"Dia siswa seminari, punya minat menulis puisi, sastra, dan juga tertarik dengan politik!" Pangeran Ilia memperkenalkan Soso, "Aku memanggilnya Soso, Soselo..."

Soso mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Ini adalah Tuan Zakaria Chichinadze, pemilik percetakan di Tiflis. Dia mencetak banyak penerbitan di sini, dari suratkabar sampai buku-buku. Iveria juga dicetak di tempatnya, juga suratkabar temanmu itu, Kvali...." kali ini Pangeran Ilia yang memperkenalkan lelaki itu.

"Salam kenal, Tuan..." kata Soso.

"Ya ya ya..." lelaki itu kembali menepuk-nepuk pundaknya sambil tersenyum. Ia tampak akrab dan ramah.

"Jika ada keperluan langsung saja sampaikan Tuan, tak apa, anak muda ini bisa mendengarnya, kecuali yang sangat rahasia..." kata Pangeran Ilia.

"Ah tak ada yang rahasia," timpal Tuan Zakaria. "Saya hanya ingin berbincang soal biro sensor itu saja, Pangeran. Mungkin Tuan sudah mendengar soal razia toko buku di Tiflis ini..."

"Kebetulan, aku dan anak muda ini juga sedang membahasnya..." kata Pangeran Ilia.

Tuan Zakaria melirik Soso, "Kau tertarik juga dengan soal itu?"

"Saya biasa membaca buku-buku seperti itu Tuan, di toko buku di dekat-dekat seminari, dan sekarang sudah habis bukunya, disita..." jawab Soso.

"Dimana kau biasa membaca, bukankah dilarang di sekolahmua?"

Soso tersenyum, "Ya di toko bukunya Tuan, satu yang di dekat Lapangan Yerevan, satunya lagi di belakang markas tentara..."

"Gege Imedashvili?"

Soso mengangguk.

"Kasihan anak itu. Baru saja bikin usaha yang bagus, eh, bukunya habis disita!" komentar Tuan Zakaria.

"Bagaimana dengan milikmu Tuan Zakaria, apakah kena razia juga?" tanya Pangeran Ilia.

"Syukurlah tidak, Pangeran," jawab Tuan Zakaria. "Tapi saya bukan khawatir soal toko bukunya, yang saya khawatirkan adalah sensor penerbitannya. Pastilah akan sangat menyulitkan!"

"Nah itu juga yang jadi kekhawatiranku," imbuh Pangeran Ilia. "Aku sedang berpikir bagaimana mengakalinya!"

"Mungkin sejauh ini Iveria dan sastra masih cukup aman, Tuan. Tapi suratkabar lain seperti Kvali itu, entahlah. Isinya kan terlalu keras. Termasuk terakhir soal buruh itu!" kata Tuan Zakaria.

Pangeran Ilia tertawa, "Tahukah Tuan, anak muda di sebelah Anda itulah yang menulis artikel soal buruh itu, artikel sebelum demo yang kacau itu!"

Tuan Zakaria melirik Soso, "Kau yang menulisnya?"

Soso tersipu.

"Bagaimana bisa kau masih selamat dari polisi atau tentara? Para pengelola suratkabar itu kan sudah ditahan semua, termasuk Noe Zhordania..."

"Pangeran Ilia yang membantu saya Tuan..." jawab Soso.

"Kuasingkan dia ke Poti, kebetulan dia kenal juga dengan Tuan Niko Nikoladze..." sela Pangeran Ilia.

"Begitu ya?" Tuan Zakaria mengangguk-angguk. "Tapi jujur saja, aku suka dengan gagasannya. Sayangnya itu terlalu keras, kurang elegan!"

Soso tersipu, "Maafkan saya Tuan, saya masih belajar!"

"Tak apalah itu, setidaknya kita di Georgia ini punya bibit-bibit intelektual yang mampu menyuarakan gagasannya," kata Tuan Zakaria. "Di St Petersburg sana, pemikiran-pemikiran anak mudanya jauh lebih maju dan lebih berani. Ada satu yang pernah kubaca tulisannya, Vladimir Ulyanov!"

"Apakah Tuan memiliki tulisan-tulisan yang berisi gagasannya?" tanya Soso.

"Ada dua di suratkabar Rusia," jawab Tuan Zakaria. "Mampirlah ke tempatku kalau kau mau membacanya..."

"Dengan senang hati, Tuan..."

Tuan Zakaria melirik Pangeran Ilia lagi, "Barangkali Pangeran punya saran atau pandangan tentang situasi sekarang, berkaitan dengan kegiatan kita?"

Pangeran Ilia menggelengkan kepalanya, "Saat ini mungkin kita masih harus melihat situasi dan perkembangannya sejauh mana..."

Bagian itu, Soso merasa dirinya tak layak berada di situ. Ia terpaksa pamit undur diri untuk kembali ke sekolahnya.

"Datanglah ke tempatku kalau kau berminat..." kata Tuan Zakaria saat Soso pamitan.

Soso mengangguk dan dengan sopan meminta petunjuk alamatnya. Ia juga bertanya, apakah bisa mengunjunginya besok, pada jam istirahatnya. Tuan Zakaria mempersilakannya.

*****

Seperti yang dijanjikannya, keesokan harinya, Soso mengunjungi tempat Tuan Zakaria. Tempatnya agak jauh di sebelah utara Stasiun Tiflis. Tapi begitu masuk, ia menemukan hal yang sangat menakjubkan baginya. Ada sebuah bangunan besar yang ternyata digunakan untuk percetakan. Beberapa orang pekerja tampak sedang memindahkan gulungan-gulungan kertas. Soso bertanya pada mereka. Ia lalu ditunjukkan ruangan tempat Tuan Zakaria.

Lelaki ramah itu langsung menyambutnya. Ia tampak sedang mengamati lembaran-lembaran kertas yang mungkin baru dicetaknya. "Masuk anak muda, duduklah..."

"Maaf mengganggu kesibukannya, Tuan," kata Soso.

"Ndak apa-apa, ini pekerjaan biasa..." jawabnya. "Kau mencari tulisannya orang Rusia itu ya? Sudah kusiapkan itu. Duduk saja dulu kalau kau punya waktu luang..."

"Tentu saja Tuan, waktu istirahat saya masih cukup lama," jawab Soso sambil melongok kertas-kertas yang terserak itu. "Apakah itu buku yang Tuan cetak di sini?"

"Iya, ini sastra Georgia," jawab Tuan Zakaria. "Rencananya akan dibawa ke Adjara dan Samtskhe[1]..."

"Apakah peminat sastra di sana tinggi, Tuan?"

Tuan Zakaria menggeleng, "Sebaliknya. Sangat rendah," jawabnya. "Kau tahulah anak muda, Adjara dan Samtskhe adalah orang-orang Georgia yang terlupakan, terutama sejak dikuasai Otoman dan sebagian mereka menjadi muslim. Sebagai orang Georgia mereka sudah lama tak lagi merasa seperti itu karena perbedaan agamanya. Mungkin kalau ditanya, mereka maunya ya bergabung dengan Otoman..."

"Aku juga dulu berpikir begitu," lanjutnya. "Ayahku Georgia asli yang leluhurnya sudah lama menjadi muslim, sementara ibuku orang Turk. Aku juga terlahir sebagai Muslim, meski yah, entahlah apakah aku muslim yang baik atau tidak. Yang jelas, aku masih merasa sebagai orang Georgia, apapun agamaku. Karena itulah, aku mencoba menyebarkan sastra Georgia kepada mereka agar tetap merasa menjadi orang Georgia meskipun muslim.."

Soso mengangguk-angguk. Ia kagum dengan hal itu. "Bagaimana Tuan bisa menggeluti dunia percetakan ini?"

Lelaki ramah itu tersenyum, "Aku ini bukan orang yang berpendidikan tinggi seperti Pangeran Ilia. Dulu aku kerja di pabrik tembakau. Tapi aku senang membaca karya sastra. Lalu ketika aku punya modal, sekitar tahun 1872 kuputuskan untuk membuat percetakan, dan mulai mencetak buku-buku sastra. Penghasilanku tidak dari situ, tapi cari cetak suratkabar. Soal cetak buku itu lebih banyak ruginya. Tapi tak apa, selama masih bisa ada yang menutupinya..."

"Jadi Tuan mengenal Pangeran Ilia karena usaha ini?"

Tuan Zakaria mengangguk, "Selain dia ya banyak yang lain, Giorgi Tsereteli pendiri Kvali juga sebelum suratkabar itu diserahkan pada anak muda, Noe Zhordania. Kalau soal ide ya memang banyak yang berseberangan. Tuan Tsereteli dan Pangeran Ilia itu ya nggak pernah sama gagasannya. Tapi kalau hubungan pribadi, ya baik-baik saja. Aku juga begitu, tak ikut aliran atau gerakan apa-apa, hanya saja kalau perlu ya membantu mereka. Apalagi semuanya punya tujuan yang sama kok, hanya beda cara saja..."

"Oh ya, tunggu sebentar..." Tuan Zakaria meninggalkan Soso dan masuk ke ruangan lain di belakangnya. Tak lama ia sudah kembali lagi dengan sebuah buku dan menyerahkannya pada Soso.

"Ini tulisannya Vladimir Ulyanov yang katanya kau ingin baca itu..." katanya sambil menyodorkan buku itu pada Soso, judulnya Chto takoye "druz'ya naroda" i kak oni boryutsya sotsial-demokratami.[2] "Aku mendapatkan salinan yang dicetak di Rostov-O-Don.[3] Kalau banyak yang berminat, mungkin juga aku akan mencetaknya di sini. Tapi ya itu, ini termasuk naskah yang dilarang pihak Tsar..."

Soso menerimanya dengan kekaguman, dan seperti ada rasa bangga, seolah mendapatkan sebuah harta yang sangat berharga. Seperti melihat sebuah berlian langka yang sangat diinginkan dan diincar banyak orang. Padahal ia tak tahu isinya, dan juga tak kenal penulisnya, hanya pernah disebut oleh Gege Imedashvili, Pangeran Ilia, dan juga Tuan Zakaria.

"Bagaimana saya bisa membacanya, Tuan?" tanya Soso.

"Kalau kau punya tempat untuk membaca dan menyimpannya, kau boleh bawa, tapi kalau tak ada, baca saja di sini..." kata Tuan Zakaria.

"Saya punya rumah kontrakan bersama kawan-kawan, Tuan, bolehkah saya membacanya di sana?"

"Silakan saja, tapi tolong berhati-hati. Bukan apa-apa, itu hanya satu di sini..."

"Saya akan menjaganya baik-baik Tuan..." jawab Soso. Ia tahu risiko buku itu kalau ditemukan pihak Tsar atau pihak sekolah yang mungkin sudah menerima daftar bacaan yang dilarang Tsar. Terlebih lagi, buku itu sangat langka dan istimewa. Ia semakin penasaran ingin mengetahui isinya.

*****

BERSAMBUNG: (115) Kritik untuk Nikolai Mikhailovsky

Catatan:

[1] Saat ini disebut dengan Meskheti, Georgia bagian selatan, berbatasan dengan Turki

[2] Kurang lebih berarti: Apa Itu "Teman Rakyat" dan Bagaimana Mereka Melawan Sosial-Demokrat, sebuah tulisan Vladimir Ulyanov alias Vladimir Lenin tahun 1894 yang belum menjadi sebuah buku lengkap, baru bagian pertamanya yang diedarkan secara ilegal.

[3] Dicetak dan diedarkan secara berantai di kantong-kantong Sosial-Demokrat seperti Borzna Uyezd, Vilno, Venza, dan lain-lain termasuk juga di Rostov-O-Don wilayah yang terdekat dengan Georgia. Ada yang dicetak, ada yang diketik, bahkan ada juga yang ditulis tangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun