*****
Seperti yang dijanjikannya, keesokan harinya, Soso mengunjungi tempat Tuan Zakaria. Tempatnya agak jauh di sebelah utara Stasiun Tiflis. Tapi begitu masuk, ia menemukan hal yang sangat menakjubkan baginya. Ada sebuah bangunan besar yang ternyata digunakan untuk percetakan. Beberapa orang pekerja tampak sedang memindahkan gulungan-gulungan kertas. Soso bertanya pada mereka. Ia lalu ditunjukkan ruangan tempat Tuan Zakaria.
Lelaki ramah itu langsung menyambutnya. Ia tampak sedang mengamati lembaran-lembaran kertas yang mungkin baru dicetaknya. "Masuk anak muda, duduklah..."
"Maaf mengganggu kesibukannya, Tuan," kata Soso.
"Ndak apa-apa, ini pekerjaan biasa..." jawabnya. "Kau mencari tulisannya orang Rusia itu ya? Sudah kusiapkan itu. Duduk saja dulu kalau kau punya waktu luang..."
"Tentu saja Tuan, waktu istirahat saya masih cukup lama," jawab Soso sambil melongok kertas-kertas yang terserak itu. "Apakah itu buku yang Tuan cetak di sini?"
"Iya, ini sastra Georgia," jawab Tuan Zakaria. "Rencananya akan dibawa ke Adjara dan Samtskhe[1]..."
"Apakah peminat sastra di sana tinggi, Tuan?"
Tuan Zakaria menggeleng, "Sebaliknya. Sangat rendah," jawabnya. "Kau tahulah anak muda, Adjara dan Samtskhe adalah orang-orang Georgia yang terlupakan, terutama sejak dikuasai Otoman dan sebagian mereka menjadi muslim. Sebagai orang Georgia mereka sudah lama tak lagi merasa seperti itu karena perbedaan agamanya. Mungkin kalau ditanya, mereka maunya ya bergabung dengan Otoman..."
"Aku juga dulu berpikir begitu," lanjutnya. "Ayahku Georgia asli yang leluhurnya sudah lama menjadi muslim, sementara ibuku orang Turk. Aku juga terlahir sebagai Muslim, meski yah, entahlah apakah aku muslim yang baik atau tidak. Yang jelas, aku masih merasa sebagai orang Georgia, apapun agamaku. Karena itulah, aku mencoba menyebarkan sastra Georgia kepada mereka agar tetap merasa menjadi orang Georgia meskipun muslim.."
Soso mengangguk-angguk. Ia kagum dengan hal itu. "Bagaimana Tuan bisa menggeluti dunia percetakan ini?"