Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status
Episode Sebelumnya: (111) Senko Menjadi Kamo
*****
Meski rada-rada oon, si Kamo ternyata penuh kejutan juga. Pertama, soal keterlibatan tentara. Mungkin benar bahwa demo buruh di Tiflis nyaris enam bulan lalu itu tak bisa dikategorikan demo biasa. Kelihatannya hanya ada segitiga pihak saja; buruh, polisi, dan pemilik usaha.
Tapi yang terlupakan, siapa para pemilik usaha itu. Jelaslah mungkin mereka rugi ketika buruhnya pergi berdemo, alih-alih bekerja. Seberapa besarnya, itu yang tak tahu. Jangan-jangan bukan soal besaran kerugian, tapi mereka melihatnya sebagai ancaman yang harus segera dibungkam.
Dugaan pembungkaman itu jelas terlihat ketika serombongan orang berusaha membubarkan demo sehingga akhirnya berujung rusuh. Siapa mereka? Jelas bukan polisi. Polisi semuanya berjaga dengan berdiam diri saja. Polisi seolah membiarkan kelompok itu bertindak sesukanya. Kelompok itu berasal dari kelompok buruh lain? Tak mungkin, karena mereka tidak dikenali oleh buruh manapun.
Tentara? Nah ini, bisa jadi. Memang tak berseragam, tapi penampilan fisik hingga cara bergerak seragam atau banyak kesamaan. Seperti yang sudah dilatih dulu apa yang harus dilakukan, dan seterusnya.
Kenapa tentara ikut-ikutan? Kalau ada kepentingan keluarga atau kroni Tsar yang terusik, lalu polisi dianggap tidak mampu menyelesaikannya, hal biasa jika tentara diturunkan. Seperti yang dikatakan si Kamo, ia ingat peristiwa penggantungan tiga pencuri komplotan Sandro Khubuluri di alun-alun Gori dulu. Ia sendiri ikut menontonnya.
Dalam peristiwa itu, tentara Tsar bukan hanya menjaga berlangsungnya eksekusi, tapi juga berandil besar dalam penangkapan ketiganya yang sangat licin sehingga polisi pun menyerah.
Karena itu, kemungkinan keterlibatan tentara dalam demo buruh di Tiflis, bukan hal yang mengada-ada. Itu masuk akal.
Seperti yang diminta Soso, si Kamo jadi berangkat menemui keluarganya yang jadi tentara di Tiflis itu. Ia pergi sendiri tanpa ditemani si Ararat. Iya lah, markasnya kan tak jauh, bahkan cukup dekat dengan Sarang Setan. Jelas pula Soso tak bisa ikut karena harus berada di sekolah.
Barulah pada jam istirahat, ketika ia mengunjungi Sarang Setan seperti biasanya, si Kamo sudah kembali.
Ia pun menceritakan kisahnya:
*****
Markasnya luar biasa besar. Di gerbang aku ditanyai penjaga. Kubilang saja akan menemui omku, Adara Ter-Petrosian. Pangkat dan jabatannya apa, kubilang saja aku tak tahu, karena memang tak tahu. Ia menanyaiku terus, pake Bahasa Rusia, aku ngerti sedikit-sedikit. Ketika mereka tahu aku berbahasa Armenia, dipanggilnya tentara lain yang berbahasa Armenia.
Ternyata, tentara yang itu mengenali pamanku. Dan karena sedang tak ada kesibukan, aku diantarnya masuk dan menemui pamanku. Aku sendiri nyaris lupa sama dia. Kalau saja wajahnya nggak mirip bapakku, dan aku juga mirip dengannya, ia mungkin tak mengenaliku.
Pamanku itu pernah ikut perang di Uzbekistan. Ia tentara cabutan karena kekurangan orang. Bapakku, selain memasok alat-alat keperluan tentara, juga kadang ikut merekrut tentara. Karena dulu pamanku nganggur, luntang-lantung di Yerevan, ia ikut bergabung menjadi tentara. Untungnya beberapa kali ikut perang, dia selamat.
Setelah perang itu dia balik kandang, pasukannya banyak yang kembali ke Armenia, terutama di Yerevan. Ia sendiri memilih untuk berada di Tiflis, karena dekat dengan kakaknya, bapakku, yang tinggal di Gori. Bapakku juga sering bolak-balik Tiflis, juga ke Yerevan.
Sejak ke Tiflis, ia hanya pernah ikut ke Chechya, bukan perang, tapi pengamanan. Komandannya adalah Ajudan Jenderal Ivane Amilakhvari, yang sekarang jadi Panglima Distrik Militer Kaukasus. Tadi aku sempat melihat orangnya, tinggi, gagah, tampan, botak, dengan cambang yang lebih panjang daripada jenggotnya.
Pamanku sendiri ya tentara biasa.
Setelah cerita ngalor-ngidul mengenai rencanaku, aku mulai memancing-mancing dia agar cerita soal keadaan di Tiflis.
Katanya, seperti halnya Yerevan dan Baku, Tiflis juga rawan dalam hal keamanan negara. Banyak kelompok-kelompok pemberontak yang kelihatannya saat ini diam, tapi melakukan pergerakan di bawah tanah. Sebagian dipimpin para bangsawan lokal yang kecewa karena kehilangan hak istimewanya.
Belum lagi di sini banyak pabrik, buruh datang dari mana-mana. Gangguan meningkat, karena banyak yang tak bisa masuk pabrik menggelandang di jalanan menjadi bandit. Banyak industri militer strategis di sini, itu juga ancaman, ada pabrik senjata, ada juga gudang senjata, ada banyak pabrik pembuat perlengkapan tentara.
Kaukasus itu berhadapan dengan Otoman dan Persia. Kekaisaran Rusia harus selalu siaga. Memang belum ada rencana perluasan wilayah lagi ke selatan. Mungkin Tsar dan para jenderalnya masih menghitung kekuatan dan untung-ruginya. Sementara di daerah yang sudah dikuasai, banyak gejolak.
Selain itu, kata pamanku, mulai muncul gerakan-gerakan perlawanan baru yang tidak mengusung asal-usul, tapi berdasarkan paham. Atheisme mengancam gereja, dan kalau gereja tak stabil, kekaisaran bisa ikut goyah. Lebih bahaya lagi katanya adalah Marxisme, yang disebutnya paham anti kelas.
Yang ini, katanya, ujung-ujungnya adalah keinginan untuk menggulingkan Tsar. Karena itu, di Tiflis dan di kota-kota besar lainnya sudah ada pejabat sensor media untuk meredam paham-paham yang membahayakan itu.
Salah satu yang sudah terlihat dari gerakan ini adalah munculnya perlawanan buruh. Itu katanya hanya gejala saja, karena yang paling besar yang ujungnya penggulingan Tsar dan penghapusan kekaisaran,
Terus aku tanya, apa ada demo buruh di Tiflis? Dia bercerita tentang demo di musim panas kemarin. Katanya itu karena polisi yang tak becus menangani kasus pencurian. Manajer pabriknya yang mencuri, buruh-buruh anak dijadikan korban.
Habis itu ada media yang ngompor-ngomporin untuk melawan. Ada kelompok anak muda yang menungganginya. Mereka ini kelompok beraliran Marxis yang terdeteksi membuat partai, di sini, di Tiflis.
Pentolannya adalah anak-anak berandal yang dikeluarkan dari seminari karena menentang Tsar secara tidak langsung, dan mengancam bahkan melukai rektor mereka sendiri. Padahal, itu sekolah agama.
Perpaduan antara atheisme dengan marxisme itulah yang mujarab, bener-bener berbahaya. Karena itu, tentara ya terpaksa turun untuk menangani demo itu. pentolan-pentolannya ditangkapi oleh polisi, terus diamankan oleh tentara. Setelah itu, aman lagi, katanya.
Tinggal itu aja, soal penyebaran paham. Tapi itu kan sudah ada yang ngurusi, badan sensor tadi.
Karena mulai nyambung dengan ceritamu, aku terus tanya sama pamanku itu, itu yang ditahan-tahan itu pada dibawa kemana?
Pamanku mulai curiga, kenapa aku sampai nanya ke situ. Kubilang saja bahwa ada tetanggaku di Gori, anaknya pendeta yang hilang, diduga ikut aliran sesat itu di Tiflis. Kubilang aku juga kenal dengannya, dan sempat ditanyai bapaknya.
Dia bilang, buruh-buruh yang ditangkapi dulu sempat ditahan di Benteng Narikala. Tapi karena tuntutan para majikannya, mereka dibebaskan keesokan harinya. Nah sementara pentolan demo, baik buruh maupun yang lainnya ditahan di Benteng Metheki. Dia bilang, mungkin masih di sana sampai sekarang.
Habis itu, pamanku wanti-wanti, kalau memang tak jadi tentara dan mau masuk seminari, jangan sampai ikut dengan aliran sesat di dalam seminari itu...
*****
"Stop, cukup!" kata Soso menghentikan cerita si Kamo. "Bagian wewejang pamanmu itu tak usah diceritakan..."
"Ya sudah, kalau gitu ceritanya kututup saja," kata si Kamo.
"Jadi mereka ditahan di Benteng Metheki ya...." gumam Soso, "Pantes saja tak terlacak..."
"Memangnya jauh?" tanya si Kamo.
"Dekat banget malah!" kata Soso dengan pikiran menerawang.
Ternyata si Kamo bener, tentara memang terlibat di situ. Dan ia tak menyangka, jika saja informasi benar bahwa si Lado cs ditahan di Benteng Metheki, berarti ya deket banget. Benteng itu terletak hampir berhadapan dengan Benteng Narikala tempat ia ditahan semalaman.
Antara Benteng Narikala dengan Benteng Metheki itu hanya terhalang oleh Sungai Kura. Sama sekali nggak jauh, istilahnya orang bisa saling memandang. Memang tempatnya rada-rada susah dijangkau, karena berada di tebing. Di situ juga dibangun gereja, jadi orang hampir lupa kalau itu dulunya adalah benteng pertahanan ketika Tiflis terbagi dua, bagian utara masih dikuasai orang Georgia, sementara bagian selatan Sungai Kura sudah dikuasai Persia. Â
Soso mengabaikan dulu soal itu, ia akan memikirkannya nanti. Ada satu bagian dari cerita si Kamo yang menarik, yaitu soal badan sensor.
"Kamo, kau nggak tanya lebih lanjut soal badan sensor itu?"
Kamo menggeleng, "Untuk apa, aku sudah cerita panjang lebar sama dia, kan intinya sudah, aku dapat info soal buruh itu, dan mungkin si Lado ada di sana. Jadi apa hubungannya dengan sensor itu?"
Soso menggeleng. Panjang urusannya kalau ia bercerita soal itu pada si Kamo sekarang. Mungkin nanti kalau ada waktu, ia bisa menanyakannya pada Pangeran Ilia yang masih terlibat dengan urusan suratkabar.
Jujur saja, informasi yang dibawa pulang si Kamo itu bener-bener sangat penting. Bukan soal nasib si Lado saja, soal sensor itu, dan juga tentang bagaimana tentara juga mengetahui apa yang sedang terjadi di Tiflis dan bahkan di dalam seminari pun tak lepas dari pantauannya.
Ada rasa was-was, tapi ia mencoba menenangkan diri. Tentara mungkin belum bener-bener masuk, karena itu wilayah 'kekuasaan' gereja, sebuah lembaga yang juga dihormati dalam kekaisaran, karena juga dilindungi oleh Tsar. Tapi bukannya tak mungkin, kalau ada apa-apa, bisa saja seminari meminta bantuan pula pada tentara, atau sebaliknya, tentara yang terpaksa masuk.
Duh.
*****
BERSAMBUNG: (113) Razia Toko Buku di Tiflis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H