Mak Keke yang mendengarkan pembicaraan itu tampak bahagia, ia mungkin bangga anaknya menjadi 'orang penting' di kampungnya itu, terutama karena Soso dianggap menjadi panutan bagi anak-anak di situ. Bahkan seorang guru dan pendeta seperti Romo Arsakhi sekalipun sampai menitipkan cucunya.
Tapi ia berusaha tetap merendah, "Saya hanya khawatir anak saya tak bisa memenuhi harapan Romo..." katanya.
"Aku tak punya pilihan lain, Nyonya Egnatashvili..." Romo Arsakhi menyebut Mak Keke dengan nama suami barunya itu. "Daripada cucuku luntang-lantung tak jelas di sini, kan mendingan belajar di sana. Lagipula aku percaya pada anakmu, ia anak yang cerdas. Apalagi sekarang, sudah terlihat tambah dewasa dan tambah alim, rupanya pendidikan di sana berhasil. Jujur saja aku iri dengan anakmu itu, Nyonya...."
Soso hampir tertawa ketika Romo Arsakhi menyebutnya 'dewasa dan alim' tapi ia berusaha menahannya. Ia tak ingin mengecewakan lelaki tua yang terlihat putus asa dengan cucunya itu, dan menaruh harapan besar padanya.
"Tak perlulah dia sampai mendapatkan beasiswa sepertimu, So..." lanjut Romo Arsakhi, "Untuk biaya, aku masih sanggup. Yang penting ia bisa masuk di sana. Itu saja!"
Soso mengangguk. Soal itu ia memang tak meragukannya. Ia juga berjanji serius membantu si Simon masuk seminari. Tapi soal menjadikannya 'dewasa dan alim' seperti dirinya, itu bukan urusannya.
Romo Araskhi dan si Simon pulang setelah semuanya jelas. Mak Keke pun pamitan kembali ke rumah Pak Koba. "Kalau perlu apa-apa, datang saja ke sana So. Pak Koba senang kau kembali ke sini!"
Soso hanya mengangguk. Ia sebetulnya ingin menghabiskan waktu bersama ibunya, mengenang masa-masa kecil dulu yang pahit tapi ngangenin. Tapi ia tahu diri, keadaan sudah tak lagi sama seperti dulu!
*****
"Ngapain aja kau sama si Bonia?" tanya Soso pada si Abel, setelah mereka tinggal berdua di rumah itu.
"Nggak ngapa-ngapain, jalan-jalan saja..." jawabnya sambil cengengesan. "Dia menunjukkan tempat-tempat kesukaanmu dulu..."