Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (108) Darah Budak, Kerabat Bandit

18 Maret 2021   18:25 Diperbarui: 19 Maret 2021   22:34 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal Vol. III: (101) Digantung Status

Episode Sebelumnya: (107) Menelusuri Asal-usul

*****

Paman Yakov dan Bibi Anna hidup dalam kemiskinan yang panjang, nyaris sepanjang hidup mereka. Bahkan sejak mereka belum saling bertemu dan menikah. Tak semestinya mereka miskin, karena Didi-Lilo, desa kecil di dataran tinggi Iori[1] itu memiliki tanah yang subur. 

Glakho Geladze, kakek Soso yang terlacak dari pihak ibunya tak lain hanyalah budak setengah bebas yang mengabdi pada keluarga Amliakhvari, keluarga bangsawan Georgia yang berjasa pada saat Georgia dipimpin oleh Raja George III abad ke-15. Mereka adalah klan tentara dari Shida Kartli, dan memiliki banyak lahan pertanian, termasuk di Didi-Lilo.

Akan tetapi masuknya Rusia awal abad ke-19, telah membuat anggota-anggota terakhir klan Amliakhvari berpaling dari kampung halamannya sendiri.

"Mereka hanya mencari aman saja," cerita Nenek Miso, perempuan tertua di Didi Lilo yang masih hidup. Perempuan itu tinggal di rumah yang pertama kali didatangi Soso di Didi-Lilo untuk bertanya soal bibinya.

Soso sengaja menemuinya karena dialah satu-satunya yang dianggap paling tahu tentang leluhurnya. Dan dia dengan senang hati menyambut Soso, putri Ekaterina Geladze, cucu Glakho Geladze yang dulu tak lain dari kawan mainnya, meski itupun terpaut usia cukup jauh, sekitar sepuluh tahun lebih muda dari Kakek Glakho.

"Kenapa Bebia[2] bilang begitu?" tanya Soso.

"Ketika keluarga bangsawan lain banyak yang melawan, atau setidaknya mengasingkan diri, keluarga Amilakhvari malah mendekati dan membantu Tsar. Salah satu anaknya, Ivane Amilakhvari[3] bahkan menjadi tentara. Sekarang katanya jadi Panglima di Tiflis,"[4] jawab Nenek Miso.

"Apa betul itu Bebia?"   

 Nenek Miso mengangguk, "Cucuku yang cerita. Dia kan ikut menggarap lahan anggur milik keluarga Amilakhvari di sini.

 "Terus, kenapa masih pada bekerja untuk mereka?" tanya Soso.

Perempuan tua itu terkekeh, "Terus mau ngapain lagi?" tanyanya sambil menatap Soso dengan matanya yang sudah kabur. "Dulu banyak budak yang dibebaskan dan diberi lahan. Tapi tak banyak yang bisa mempertahankannya. Sebagian kembali lagi dibeli keluarga itu, atau bahkan dibeli oleh orang-orang Armenia. Jadi kalau kau hidup di sini, kau tinggal pilih saja, kerja pada orang Armenia atau pada pada keluarga Amilakhvari!"

Soso diam.

"Satu-satunya pekerjaan murni kita ya hanya membuat tembikar..." lanjut Nenek Miso. "Tapi penghasilan dari tembikar itu tak bisa diandalkan untuk hidup sehari-hari. Apalagi sekarang, tembikar dari sini sudah tak laku lagi di Tiflis. Banyak tembikar bagus yang didatangkan dari Persia...."

"Apa keluarga Amilakhvari itu keluarga yang baik, Bebia?"

"Dulu iya, angkatan-angkatan yang lebih tua..." jawab Nenek Miso. "Kakekmu kan juga budak, tapi hidupnya baik-baik saja. Memang tak kaya, tapi lebih baik. Kalau pertanian gagal, mereka sering membantu memberikan makanan. Sekarang, kalau gagal, ya sudah. Jangankan diberi bantuan, kadang para pengelolanya harus nombok..."

"Kalau kerja pada orang Armenia?"

"Sama saja!" tegas Nenek Miso, "Sekarang judulnya saja bebas, tapi jauh lebih sengsara ketimbang saat menjadi mona!"[5]

"Kalau bebas, kenapa tak cari kerjaan lain saja?"

Nenek Miso tertawa lagi, "Mau kerja apa? Kerja di pabrik di Tiflis? Sama saja. Di sana malah lebih sengsara, karena makan saja harus beli. Kalau di sini, meski duit sedikit, soal makan masih bisa. Kalaupun tak punya, masih ada saudara atau tetangga yang mau membantumu kalau sekadar makan!"

Soso tak menyahut lagi. Apa lagi yang harus dibantah kalau begitu kenyataannya?

"Kau harus bersyukur Nak, setidaknya ada dari keturunan Geladze yang bersekolah..." Nenek Miso menepuk-nepuk pundak Soso, "Siapa tahu besok kau jadi orang! Walaupun mungkin kau tidak bisa membantu semua keluargamu, setidaknya adalah yang bisa dibanggakan oleh keluargamu. Apalagi oleh keluarga Djugashvili, karena namanya kau sandang...."

Soso tersenyum kecut. "Terimakasih ceritanya Bebia, saya harus kembali ke rumah Bibi Anna..." kata Soso. Ia pun pamit.

*****

Pulang dari rumah Nenek Miso, Soso melanjutkan napak tilas keluarganya di Didi-Lilo itu. Sendirian saja, karena si Abel malah tertarik ikut dengan Paman Yakov ke tempat pengolahan minuman dari anggur tempatnya bekerja. Soal itu ia tak tertarik. Ia lebih suka mencari tahu soal leluhurnya, mumpung ada waktu dan kesempatan.

Saat melintasi perkebunan anggur, Soso melihat seorang lelaki setengah baya yang umurnya kira-kira sepantaran dengan bapaknya. Ia mampir dan menyapanya. Tak lupa ia memperkenalkan dirinya sebagai klan Geladze.

Mendengar itu, lelaki itu menghentikan pekerjaannya, membersihkan pohon-pohon anggur. Ia rupanya sudah mendengar soal Soso, karena memang ibunya belum lama berkunjung ke situ, saat Sandala Geladze, pamannya meninggal.

Ia bahkan tahu kalau Soso bersekolah di Seminari Tiflis.

"Darimana kau punya uang untuk membiayai sekolahmu? Bukannya bapakmu sudah berhenti membuat sepatu?" tanyanya.

"Saya dapat beasiswa, Paman..." jawab Soso. "Memangnya Paman kenal bapak saya?"

Lelaki itu tertawa, memperlihatkan gigi depannya yang ompong. "Anggap saja dulu aku adalah saingan bapakmu!" katanya.

Soso bengong, dan menunggu penjelasannya lebih lanjut.

"Bapakmu tak kenal aku, tapi aku mengenalnya..." lanjutnya, "Lelaki seumuranku waktu itu semuanya kenal bapakmu, karena dia dianggap beruntung mendapatkan ibumu. Sayangnya kami memang tidak beruntung, karena ibumu tumbuh remaja dan cantik di Gori, hanya sesekali saja ke sini...."

Soso tersenyum, ia paham maksudnya. "Apa yang Paman tahu soal bapak saya selain itu?"

"Aku hanya tahu bapaknya, Vano Djugashvili, dulu juga kerja di sini, menggarap kebun anggur milik Pangeran Badur Machabeli. Sempat kulihat pula bapakmu masih remaja, sama saudaranya, Giorgi Djugashvili," lanjutnya. "Yang kutahu kemudian, pamanmu, Giorgi, tewas oleh bandit. Dulu di sekitar sini memang banyak bandit, pelarian dari Tiflis. Ceritanya bisa meninggal aku tak tahu pasti."

"Soal Bapakmu, yang kutahu kemudian dekat dengan keluarga orang Rusia dari Armenia, Josef Baramov. Baramov dulu punya bengkel sepatu, tapi bangkrut karena ada saingan di Tiflis milik orang Rusia, Adelkhanov. Bapakmu kemudian bekerja di sana," lanjutnya. "Makanya, waktu melamar ibumu, dia langsung diterima, karena pekerjaannya menjanjikan ketimbang kami, pemuda-pemuda di sini yang hanya penggarap kebun!"

"Apakah keluarga Pangeran Machabeli masih ada di sini?" tanya Soso.

Lelaki itu menggeleng, "Tak ada lagi. Sekarang di sini kalau bukan milik keluarga Amilakhvari ya punyanya orang-orang Rusia-Armenia. Yang kukerjakan ini ya miliknya keluarga Amilakhvari," jawabnya.

"Kemana mereka?" tanya Soso sedikit kecewa, karena berharap bisa menelusuri soal keluarga dari pihak bapaknya.

"Keluarga Machabeli berbeda dengan keluarga Amilakhvari. Kalau Amilakhvari mau membantu Rusia dan bisa tetap hidup nyaman, keluarga Machabeli tidak. Mereka kembali ke Ossetia. Tanahnya di sini, mulai dari kebun anggur sampai ladang sayur, berpindah tangan semua ke tangan orang-orang Armenia!"   

Soso tersenyum, "Terimakasih ceritanya, Paman..."

"Kabarnya, ibumu sudah berpisah dengan bapakmu ya?" tanya lelaki itu.

Soso mengangguk.

"Dulu kukira ibumu beruntung menikah dengannya..." imbuhnya, "Tapi ya sudah lah, kalau dia menikahi salah satu dari aku atau pemuda-pemuda di sini juga sama saja, kehidupannya juga tak bakalan lebih baik!"

Soso tersenyum pahit, "Ya begitulah mungkin jalan hidupnya, Paman..."

"Tak apa lah, setidaknya, anaknya, kamu, sedikit lebih baik, bisa sekolah!" tambahnya, "Kalau ibumu di sini, menikah dengan orang sini, ya paling anaknya juga tak jauh-jauh nasibnya sepertiku juga anakku!" ia tertawa.

"Apakah Paman tahu soal paman saya, Paman Sandala?" tanya Soso lagi.

Lelaki itu menatapnya, "Bibimu tidak bercerita?"

Soso menggeleng, "Tidak jelas ceritanya Paman..."

"Kuharap kau tidak keberatan jika aku menceritakan sesuatu yang mungkin tidak nyaman kaudengar..." ia menatap Soso.

"Ceritakan saja yang Paman tahu, tak apa, saya ingin mendengarnya..." tukas Soso.

"Pamanmu itu banyak masalah. Lahan peninggalan kakekmu yang tak seberapa habis dijual, ia kecanduan judi. Ia masih berutang banyak pada orang Rusia dari Armenia karena lahan yang dijual kepadanya ternyata sudah digadaikan kepada orang lain. Karena tak ditebus, ya akhirnya tanah itu dianggap miliknya. Pamanmu dikejar-kejar, dan kata orang bersembunyi di Tiflis..." lelaki itu memulai ceritanya.

"Ini kata orang-orang ya, karena aku juga tak tahu pasti..." lanjutnya. "Selama di Tiflis, dia berusaha mendekati lagi keluarga Amilakhvari, terutama Pangeran Ivane yang jadi tentara, dengan membawa-bawa hubungan kakekmu dengan keluarganya. Kabarnya, ia diterima di sana, bekerja di rumahnya, mengurusi kuda-kuda Pangeran Ivane. Ia merasa aman di sana, karena majikannya seorang bangsawan, jenderal kaveleri pasukan Rusia dan berkuasa pula di seluruh Kaukasus...."

"Tapi ya itu, penyakitnya tak sembuh-sembuh, masih doyan judi...." Lelaki itu melanjutkan ceritanya. "Suatu hari, ia mencuri barang milik anak perempuan tertua Pangeran Ivane. Entah untuk bayar utang judi atau untuk dipakai taruhan. Pangeran Ivane waktu itu sedang bertugas ke Chechnya, belum menyadarinya. Ketika pulang, banyak barang yang hilang, pamanmu itu juga menghilang. Pangeran Ivane murka, apalagi kuda-kuda kesayangannya juga tidak terurus, bahkan ada yang mati. Kau mungkin tahu lah akhirnya bagaimana.."

"Dia berurusan dengan orang yang salah ya..." kata Soso.

"Dan tak tahu diri, tak tahu diuntung!" tambah lelaki itu. "Bahkan ketika dia hidup enak di sana, dia menelantarkan anak dan istrinya di sini!"

Soso tercenung. Meski hanya cerita, versi itu baginya lebih masuk akal, setidaknya, jelas, tak seperti jawaban Mak Keke dan juga Bibi Anna yang menggantung.

"Jangan tersinggung ya..." kata lelaki itu lagi, "Aku hanya mendengarnya dari orang!"

Soso tersenyum, "Tak apa Paman, setidaknya saya punya gambaran, terimakasih!"

*****

BERSAMBUNG: (109) Simon Arshaki Ter-Petrosian

Catatan:

[1] Sekarang masuk wilayah Kvemo-Kartli, sebelah utara Kota Tbilisi, Georgia

[2] Georgia; Nenek

[3] Dikenal juga dengan nama Ivan Amilakhori atau Ivan Amilakhvarov oleh orang Rusia, salah satu jenderal Angkatan Darat Rusia yang terlibat dalam Perang Rusia-Turki (1877-1878). Jabatan terakhirnya adalah Gubernur Jenderal Baku (Azerbaijan) tahun 1904.

[4] Tahun 1897, saat Soso berkunjung ke Didi-Lilo, ia sedang menjabat sebagai Panglima Distrik Militer Kaukasus yang berpusat di Tiflis.

[5] Georgia; Budak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun