Nenek Miso mengangguk, "Cucuku yang cerita. Dia kan ikut menggarap lahan anggur milik keluarga Amilakhvari di sini.
 "Terus, kenapa masih pada bekerja untuk mereka?" tanya Soso.
Perempuan tua itu terkekeh, "Terus mau ngapain lagi?" tanyanya sambil menatap Soso dengan matanya yang sudah kabur. "Dulu banyak budak yang dibebaskan dan diberi lahan. Tapi tak banyak yang bisa mempertahankannya. Sebagian kembali lagi dibeli keluarga itu, atau bahkan dibeli oleh orang-orang Armenia. Jadi kalau kau hidup di sini, kau tinggal pilih saja, kerja pada orang Armenia atau pada pada keluarga Amilakhvari!"
Soso diam.
"Satu-satunya pekerjaan murni kita ya hanya membuat tembikar..." lanjut Nenek Miso. "Tapi penghasilan dari tembikar itu tak bisa diandalkan untuk hidup sehari-hari. Apalagi sekarang, tembikar dari sini sudah tak laku lagi di Tiflis. Banyak tembikar bagus yang didatangkan dari Persia...."
"Apa keluarga Amilakhvari itu keluarga yang baik, Bebia?"
"Dulu iya, angkatan-angkatan yang lebih tua..." jawab Nenek Miso. "Kakekmu kan juga budak, tapi hidupnya baik-baik saja. Memang tak kaya, tapi lebih baik. Kalau pertanian gagal, mereka sering membantu memberikan makanan. Sekarang, kalau gagal, ya sudah. Jangankan diberi bantuan, kadang para pengelolanya harus nombok..."
"Kalau kerja pada orang Armenia?"
"Sama saja!" tegas Nenek Miso, "Sekarang judulnya saja bebas, tapi jauh lebih sengsara ketimbang saat menjadi mona!"[5]
"Kalau bebas, kenapa tak cari kerjaan lain saja?"
Nenek Miso tertawa lagi, "Mau kerja apa? Kerja di pabrik di Tiflis? Sama saja. Di sana malah lebih sengsara, karena makan saja harus beli. Kalau di sini, meski duit sedikit, soal makan masih bisa. Kalaupun tak punya, masih ada saudara atau tetangga yang mau membantumu kalau sekadar makan!"