Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (102) Surat Sakti dari Rektor

12 Maret 2021   10:46 Diperbarui: 13 Maret 2021   12:15 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (101) Digantung Status

*****

Jam istirahat pengecualian itu, alih-alih pergi memotong rambutnya seperti yang diperintahkan Romo Germogen, Soso malah berangkat menuju sebuah tempat; sebuah tempat peristirahatan dekat Gunung Suci atau biasa disebut sebagai Mtatsminda oleh orang Tiflis. Terpaksa ia harus naik kereta kuda, karena tempatnya agak jauh, di sekitar Benteng Narikala.

Sudah sejak lama di sana memang terkenal dengan adanya pemandian air panas yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit, baik yang berkaitan dengan kulit, otot, maupun yang lainnya. Pemandian air panas yang mengandung belerang ini sudah dikenal sejak abad ke-17, dan banyak dikunjungi sejak wilayah itu masih dikuasi oleh Otoman.

Karena itulah konon nama Tiflis itu berasal, Tiflis dalam bahasa Georgia berasal dari kata T'bilisi[1] yang artinya 'hangat' atau 'tempat yang hangat,' merujuk pada cuaca di Tiflis dan juga banyaknya pemandian air panas itu. 

Banyak rumah-rumah pesanggrahan yang dibangun di sekitar sumber-sumber air panas itu, tujuannya apa lagi kalau bukan menyediakan tempat bagi para pengunjung yang datang dari jauh untuk berobat. Selain pesanggrahan, sumber-sumber air panas itu sudah banyak yang dibuat kubah-kubah bata agar berukuran kecil agar pengunjung dapat menggunakannya secara pribadi atau dalam kelompok kecil. Tapi ada juga pemandian yang terbuka dengan air panas yang mengucur layaknya air terjun.

Tentu saja Soso bukan datang untuk mandi air panas. Ia ke sana karena mendapatkan informasi dari Romo Nikolai Makhatadze. Menurutnya, Romo Archimandrite Serafim, rektor yang tidak aktif itu beristirahat di salah satu pesanggrahan air panas itu.

Romo Nikolai adalah guru sejarah Soso yang berasal dari Georgia --satu-satunya guru asli Georgia di seminari, orang kedua selain Pak Dmitri, pengawas supergalak berjuluk Mister Black Spot itu. Hanya padanya ia bisa berkeluh-kesah tentang nasibnya yang digantung Romo Germogen, pejabat sementara rektor itu. Ketika Soso mengatakan ingin bertemu langsung dengan Romo Serafim, Romo Nikolai bersedia membocorkan tempat istirahatnya, dengan catatan, jangan sampai orang tahu kalau ia yang membocorkannya.

Masalahnya, Romo Nikolai juga tak tahu pesanggrahannya yang mana. Itu yang bikin Soso pusing saat tiba di sana. Ia juga baru tahu setelah sampai di sana, ternyata pesanggrahan-pesanggrahan itu tersebar dari bagian barat sampai utara Mtatsminda, dari kampung Abanotubani hingga Ortachala.

"Semuanya sama, anak muda, tinggal persoalan tempatnya yang seperti apa yang kamu inginkan, mau yang terbuka atau yang tertutup..." kata seorang warga di sana ketika Soso bertanya-tanya.

"Bukan saya yang mau berobat Pak," jelas Soso. "Saya mencari orang yang sedang berobat di sini..."

"Siapa?"

"Tuan Archimandrite Serafim, rektor Seminari Tiflis!" jawab Soso.

"Wah aku tak tahu kalau soal nama-nama pengunjung. Kalau pemilik pesanggrahan atau pengelola pemandian aku kenal semua..." jawab lelaki Georgia yang Soso tanyai itu. "Tapi kalau orang jauh, orang kaya, atau orang Rusia tamunya, biasanya mereka di pesanggrahan milik Tuan Alexei Batashvili yang paling atas. Selain paling tenang, sumber airnya dianggap paling bagus karena yang pertama, juga pesanggrahannya paling bagus, tentunya paling mahal juga!"

"Yang mana itu Pak?"

"Kau jalan saja ke atas sana, tempatnya yang paling ujung, paling tinggi!"

"Baik, Pak, terimakasih banyak!" jawab Soso.

Soso berjalan kaki lebih naik lagi, Benteng Narikala yang rasanya sudah berada di tempat tinggi pun masih kalah tinggi dengan tempat itu. Dan akhirnya ia sampai di sebuah tempat yang asri, bangunan-bangunan bata yang indah, termasuk kubah-kubah pemandian yang tertata asri. Tak ada lagi bangunan di sebelah atasnya, berarti itu yang terakhir.

Beruntung, penjaga tempat itu mengenali Romo Serafim yang dicari Soso. Ia menunjukkan sebuah pondok kecil yang di depannya terdapat sebuah kubah bata untuk mandi air panas. Meski ragu, Soso memberanikan diri mengetuk pintunya.

"Siapa?" tanya seseorang dari dalam pondok itu dengan Bahasa Rusia.

"Saya Joseph Djugashvili, siswa seminari..." jawab Soso.

Agak lama menunggu, pintu akhirnye terbuka, dan tampaklah sosok lelaki tua yang dikenali Soso, Romo Serafim. Ia hanya mengenakan selembar kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya yang mulai keriput. Lelaki tua itu juga langsung mengenalinya. Maklum, Soso memang sering menemuinya, terutama untuk urusan beasiswa.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Romo Serafim.

"Mohon ampun Romo, saya sungguh perlu berbicara dengan Romo..."

"Urusan apa? Urusan sekolah sudah ditangani oleh Romo Germogen!"

"Saya perlu berbicara langsung dengan Romo!" jawab Soso dengan badan setengah membungkuk, sebuah kebiasaan yang seharusnya dilakukan setiap bertemu dengan guru-guru atau bahkan penjaga sekolah sekalipun. Hanya saja, Soso jarang melakukannya, karena merasa itu terlalu berlebihan, seolah ia hanyalah budak atau pekerja di sebuah rumah bangsawan.

Romo Serafim memandanginya sejenak, "Mintalah handuk pada penjaga, nanti kau susul aku ke dalam kubah itu!" ia menunjuk kubah bata di depannya.

"Baik Romo..." jawab Soso. Ia lalu bergegas menemui penjaga pesanggrahan yang tadi, dan tak lama ia diberi sebuah kain handuk. Soso juga ditunjukkan tempat untuk melepas dan menaruh pakaiannya.

Dengan hanya mengenakan kain itu, Soso segera menyusul Romo Serafim yang sudah berada di dalam kubah bata. Romo Serafim sudah berendam dalam bak air hangat. Sementara kubah itu menahan uap air yang keluar sehingga membuat ruangan itu terasa panas.

"Duduk sini!" kata Romo Serafim.

Soso menceburkan kakinya ke dalam bak, tubuhnya agak kaget karena airnya yang cukup panas, tapi setelah agak lama, tubuhnya mulai terbiasa, dan terasa nyaman meski keringat mulai keluar dari sekujur tubuhnya.

"Sebetulnya aku tak mau diganggu. Tapi tak apalah, sudah lama aku tak punya teman ngobrol!" kata Romo Serafim, "Apa keperluanmu?"

Soso menceritakan semuanya, tanpa ditutupi, termasuk soal keterlambatannya masuk sekolah. Untuk yang itu, ia berbohong dengan mengatakan harus pergi ke Didi-Lilo mengunjungi pamannya yang meninggal, alih-alih mengatakan pergi ke Poti seperti yang dilakukannya.

"Apapun itu, kamu memang salah. Sepuluh hari terlambat itu memang keterlaluan!" kata Romo Serafim. "Tapi aku tak pernah membuat kebijakan seperti itu, apalagi menjadikannya sebagai sebuah aturan!"

Soso diam saja, tak membantah.

"Tujuan sekolah itu adalah untuk mendidik siswanya menjadi calon-calon imamat di masa depan yang berakhlak baik, bukan dipenuhi oleh aturan yang membuat banyak siswa tertekan dan akhirnya berubah menjadi calon-calon pemberontak!" imbuh lelaki yang mungkin berusia 80 tahunan itu. "Tapi generasi di bawahku menganggap seminari sebagai bagian dari pengkaderan, perpanjangan kuasa Tsar lewat jalur agama, sehingga memperlakukannya layaknya sebuah kamp pelatihan tentara...."

Soso sudah mendengar soal sikap Romo Serafim yang banyak ditentang oleh guru-guru di bawahnya, yang lebih muda. Mereka yang kebanyakan lulusan dari seminari di tempat-tempat lain, termasuk juga lulusan Seminari Tiflis sendiri seperti Romo Nikolai.

"Tapi suara generasiku sudah usang, sudah banyak yang tak setuju..." lanjutnya, "Akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah menjaga agar setidaknya roh pendidikan agama, nilai-nilai gereja, masih ada dan ditanamkan pada siswa. Soal yang lainnya, aku tak bisa apa-apa lagi!"

Soso hanya mengangguk-angguk, gregetan juga, antara ingin segera meminta keputusan nasibnya karena waktu istirahat yang terus menipis, dengan ketertarikannya mendengarkan curhat Romo Serafim itu; sebuah peristiwa langka, seorang rektor, curhat pada siswanya! Tentu saja itu sebuah kehormatan besar buat Soso.

"Aku hanya berharap, Tsar yang baru ini, Alexander III, bisa meninjau kembali kebijakannya soal agama dan gereja..." lanjut Romo Serafim, "Perluasan wilayah sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Pendidikan agama harus dikembalikan lagi pada tempatnya, bukan lagi sebagai penyalur doktrin..."

"Kulihat orang-orang Ukraina, Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan wilayah-wilayah lain sudah tak lagi berpikir soal perlawanan..." tambahnya, "perlawanan sekte-sekte juga sudah berkurang. Justru sebaliknya, paham-paham anti-agama, atheisme yang makin menguat. Karena itulah justru yang harus dilawan dengan doktrin agama yang lebih kuat, bukan doktrin kekaisaran lagi!"

Soso makin tertarik, meski ia juga makin gelisah karena waktu istirahatnya itu yang makin tipis. Makin besar kemungkinannya ia terlambat kembali ke sekolahnya.

"Dimulai dari Jerman, paham-paham itu mulai masuk ke Rusia..." lanjut Romo Serafim, "Paham itu mulai berbaur dengan gerakan anti-Tsar, masuk ranah politik. Itu yang sebetulnya harus diperhatikan oleh Tsar baru ini. Biarlah gereja menguatkan posisi agama dan Tsar mengurusi gerakan-gerakan perlawanan kepadanya sendiri. Mencampur-adukannya hanya membuat dua kekuatan itu bersatu dan makin berat untuk dilawan!"

Romo Serafim melirik padanya, "Kau, sebagai orang Georgia dan mendapatkan pendidikan agama, apa yang kau rasakan?"

Soso agak terkejut ditanya seperti itu. "Mmm, sebelum saya masuk sekolah, saya masih berpikir tentang kemerdekaan Georgia, seperti yang lainnya Romo..." jawabnya, "Setelah masuk sekolah, perhatian saya sudah mulai pada hal-hal yang bersifat keagamaan saja. Tapi jika di dalam sekolah urusan Rusia-Georgia masih disebut-sebut dan masuk dalam kebijakan, mohon maaf, sebagian dari kami ada yang merasa tersinggung!"

"Nah itu!" kata Romo Serafim, "Entah kenapa kejadian pemberontakan siswa karena memprotes kebijakan Bahasa Rusia itu tak jadi perhatian. Padahal itu tak hanya terjadi di Tiflis, tapi juga di tempat lain!"

"Saya rasa, kami tak keberatan dengan penggunaan Bahasa Rusia..." Soso mulai berani menyela karena merasa anginnya sama, "Pelarangan berbahasa Georgia, apalagi hanya dalam percakapan dengan teman di dalam kamar, bukan di kelas, itu yang rasanya berlebihan Romo. Apalagi sampai harus mendapatkan hukuman!"

"Ya, itu salah satunya. Sayangnya itu sudah menjadi kebijakan dari atas, sulit aku melawannya. Jika tidak diikuti, aku sendiri yang repot, banyak yang melapor ke atas!" keluhnya.

"Sudahlah..." kata Romo Serafim lagi, "Aku sudah lelah. Dengan umur dan kesehatanku sekarang, rasanya sebentar lagi aku akan benar-benar mengundurkan diri. Tak banyak lagi yang bisa kulakukan. Biarlah zaman yang akan menjawabnya!"

Soso diam, berpikir bagaimana menanyakan soal nasibnya yang sudah diceritakannya tadi.

"Kau mintakan kertas dan pena sama penjaga pesanggrahan, lalu temui aku di dalam pondok!" katanya.

"Baik Romo!" jawab Soso. Bergegas ia meninggalkan kubah itu, meski tadinya merasa tak nyaman di dalam, lama-lama enak juga. Badannya yang lelah karena perjalanan jauh dari Poti, tidur tak nyaman di dalam sel tanpa alas memadai, langsung hilang setelah berada di dalam kubah berisi air dan uap panas berbau belerang itu.

*****

"Berikan surat ini kepada Romo Germogen!" Romo Serafim menyerahkan surat yang ditulis di atas kertas yang dimintakan Soso dari penjaga pesanggrahan tadi. "Satu saja yang kuminta darimu. Kau anak yang cerdas, nilaimu baik, suaramu saat menyanyi juga indah, enak didengar. Jadi jagalah sikapmu!"

Soso mengangguk dan membungkukkan badannya lagi, "Terimakasih banyak Romo. Semoga Romo segera pulih kembali!"

Romo Serafim tak menjawab, ia hanya mengibaskan tangannya pertanda meminta Soso untuk meninggalkannya. Soso langsung kabur, keluar dari pesanggrahan dan menapaki jalanan yang menurun.

Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, "Ngapain buru-buru ya, aku sudah memegang surat sakti dari rektor!" pikirnya sambil tersenyum.

Ia pun melambatkan jalannya, dan mulai memperhatikan sekitar. Ternyata, pemandangan dari tempat itu sangat indah, termasuk bisa melihat Kota Tiflis dari ketinggian dan kejauhan.

*****

BERSAMBUNG: (103) Berkumpul Kembali

Catatan:

[1] Ejaan yang dipakai untuk menuliskan nama kota ini sejak awal abad ke-20 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun