Soso menceritakan semuanya, tanpa ditutupi, termasuk soal keterlambatannya masuk sekolah. Untuk yang itu, ia berbohong dengan mengatakan harus pergi ke Didi-Lilo mengunjungi pamannya yang meninggal, alih-alih mengatakan pergi ke Poti seperti yang dilakukannya.
"Apapun itu, kamu memang salah. Sepuluh hari terlambat itu memang keterlaluan!" kata Romo Serafim. "Tapi aku tak pernah membuat kebijakan seperti itu, apalagi menjadikannya sebagai sebuah aturan!"
Soso diam saja, tak membantah.
"Tujuan sekolah itu adalah untuk mendidik siswanya menjadi calon-calon imamat di masa depan yang berakhlak baik, bukan dipenuhi oleh aturan yang membuat banyak siswa tertekan dan akhirnya berubah menjadi calon-calon pemberontak!" imbuh lelaki yang mungkin berusia 80 tahunan itu. "Tapi generasi di bawahku menganggap seminari sebagai bagian dari pengkaderan, perpanjangan kuasa Tsar lewat jalur agama, sehingga memperlakukannya layaknya sebuah kamp pelatihan tentara...."
Soso sudah mendengar soal sikap Romo Serafim yang banyak ditentang oleh guru-guru di bawahnya, yang lebih muda. Mereka yang kebanyakan lulusan dari seminari di tempat-tempat lain, termasuk juga lulusan Seminari Tiflis sendiri seperti Romo Nikolai.
"Tapi suara generasiku sudah usang, sudah banyak yang tak setuju..." lanjutnya, "Akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah menjaga agar setidaknya roh pendidikan agama, nilai-nilai gereja, masih ada dan ditanamkan pada siswa. Soal yang lainnya, aku tak bisa apa-apa lagi!"
Soso hanya mengangguk-angguk, gregetan juga, antara ingin segera meminta keputusan nasibnya karena waktu istirahat yang terus menipis, dengan ketertarikannya mendengarkan curhat Romo Serafim itu; sebuah peristiwa langka, seorang rektor, curhat pada siswanya! Tentu saja itu sebuah kehormatan besar buat Soso.
"Aku hanya berharap, Tsar yang baru ini, Alexander III, bisa meninjau kembali kebijakannya soal agama dan gereja..." lanjut Romo Serafim, "Perluasan wilayah sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Pendidikan agama harus dikembalikan lagi pada tempatnya, bukan lagi sebagai penyalur doktrin..."
"Kulihat orang-orang Ukraina, Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan wilayah-wilayah lain sudah tak lagi berpikir soal perlawanan..." tambahnya, "perlawanan sekte-sekte juga sudah berkurang. Justru sebaliknya, paham-paham anti-agama, atheisme yang makin menguat. Karena itulah justru yang harus dilawan dengan doktrin agama yang lebih kuat, bukan doktrin kekaisaran lagi!"
Soso makin tertarik, meski ia juga makin gelisah karena waktu istirahatnya itu yang makin tipis. Makin besar kemungkinannya ia terlambat kembali ke sekolahnya.
"Dimulai dari Jerman, paham-paham itu mulai masuk ke Rusia..." lanjut Romo Serafim, "Paham itu mulai berbaur dengan gerakan anti-Tsar, masuk ranah politik. Itu yang sebetulnya harus diperhatikan oleh Tsar baru ini. Biarlah gereja menguatkan posisi agama dan Tsar mengurusi gerakan-gerakan perlawanan kepadanya sendiri. Mencampur-adukannya hanya membuat dua kekuatan itu bersatu dan makin berat untuk dilawan!"