Agak lama menunggu, pintu akhirnye terbuka, dan tampaklah sosok lelaki tua yang dikenali Soso, Romo Serafim. Ia hanya mengenakan selembar kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya yang mulai keriput. Lelaki tua itu juga langsung mengenalinya. Maklum, Soso memang sering menemuinya, terutama untuk urusan beasiswa.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Romo Serafim.
"Mohon ampun Romo, saya sungguh perlu berbicara dengan Romo..."
"Urusan apa? Urusan sekolah sudah ditangani oleh Romo Germogen!"
"Saya perlu berbicara langsung dengan Romo!" jawab Soso dengan badan setengah membungkuk, sebuah kebiasaan yang seharusnya dilakukan setiap bertemu dengan guru-guru atau bahkan penjaga sekolah sekalipun. Hanya saja, Soso jarang melakukannya, karena merasa itu terlalu berlebihan, seolah ia hanyalah budak atau pekerja di sebuah rumah bangsawan.
Romo Serafim memandanginya sejenak, "Mintalah handuk pada penjaga, nanti kau susul aku ke dalam kubah itu!" ia menunjuk kubah bata di depannya.
"Baik Romo..." jawab Soso. Ia lalu bergegas menemui penjaga pesanggrahan yang tadi, dan tak lama ia diberi sebuah kain handuk. Soso juga ditunjukkan tempat untuk melepas dan menaruh pakaiannya.
Dengan hanya mengenakan kain itu, Soso segera menyusul Romo Serafim yang sudah berada di dalam kubah bata. Romo Serafim sudah berendam dalam bak air hangat. Sementara kubah itu menahan uap air yang keluar sehingga membuat ruangan itu terasa panas.
"Duduk sini!" kata Romo Serafim.
Soso menceburkan kakinya ke dalam bak, tubuhnya agak kaget karena airnya yang cukup panas, tapi setelah agak lama, tubuhnya mulai terbiasa, dan terasa nyaman meski keringat mulai keluar dari sekujur tubuhnya.
"Sebetulnya aku tak mau diganggu. Tapi tak apalah, sudah lama aku tak punya teman ngobrol!" kata Romo Serafim, "Apa keperluanmu?"