Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (100) Kembali ke Sekolah, Kembali ke Masalah

9 Maret 2021   22:07 Diperbarui: 11 Maret 2021   12:00 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (99) Galau di Kampung Sendiri

*****

Soso berada di rumah Lisa sampai malam, bahkan hingga diajak makan malam dulu bersama ibunya. Ayah Lisa sendiri tak terlihat sejak Soso berkunjung sampai ia pamitan pulang. Ibunya Lisa masih mengenalinya sebagai 'anak bandel' yang sekarang katanya sudah 'banyak berubah.' Ia juga tahu soal kehidupan baru Soso sebagai anak seminari dan juga anak tiri Jacob Eghnatashvili, pegulat yang juga juragan losmen itu.

Pulang ke rumahnya setelah gelap menguntungkannya, karena ia tak terlalu khawatir akan berjumpa dengan orang yang mungkin mengenalinya. Selain itu ia memang sengaja mencari jalan yang agak melipir. Tinggal bagaimana besok ia berangkat ke stasiun untuk naik kereta, bila perlu mungkin harus dengan sedikit menyamarkan penampilannya.

Tapi sampai di rumahnya, ia malah sudah ditunggui Mak Meme. "Kirain sudah balik ke Tiflis. Tuh aku bawain makan malam!" katanya.

"Belum Mak, besok. Tadi dari stasiun, terus mampir di rumahnya Pak Akovopa.." jawab Soso. "Saya juga sudah makan di sana!"

"Ooh, rumah si Lisa!" kata Mak Meme. "Udah simpen makannanya, kali aja nanti kamu lapar lagi. Kalau pulangnya masih besok, mampir aja sarapan dulu di rumahku!"

"Iya Mak, makasih sudah dibawain makanan lagi!"

"Iya, aku pulang ya!"

Soso mengangguk, mengambil makanan yang ditaruh di atas baki kecil, membuka pintu rumahnya, dan menyalakan lampu minyak satu-satunya penerang di dalam rumahnya itu. Tapi ya itu, ia tak bisa langsung tidur.

Pertemuan dan obrolannya dengan si Lisa tadi --yang ternyata bener-bener tahu semua soal hubungannya dengan Bonia, setidaknya membuatnya sedikit lega. Bonia --kata Lisa---sedang berusaha melupakannya. Tapi untuk itu, Lisa menyarankan untuk tak bertemu dulu dengan Bonia.

"Mungkin kalau kau pulang liburan Natal nanti, dia bisa lebih siap!" katanya.

Ya memang, Soso juga berusaha agar tak bertemu dulu. Toh kepulanganna ke Gori juga memang hanya ingin bertemu dengan ibunya walau hanya sebentar. Sayangnya, ibunya malah tak ada.

Itu pula yang jadi pikiran Soso sekarang. Besok ia akan kembali ke Tiflis. Jelas ia sudah terlambat masuk sekolah lebih dari seminggu. Soal sekolahnya itu, urusan gampang, apapun putusan sekolah soal hukumannya, ia siap menghadapi. Cuma yang jadi pikirannya, apakah ia akan menambah bolos sekolahnya dengan mencari ibunya dulu atau tidak.

Soal Mak Keke, andai saja situasinya normal, ia bisa saja menahan kangennya beberapa bulan lagi. Masalahnya, ia begitu penasaran dengan keluarga ibunya itu. Kabar soal pamannya yang 'meninggal karena polisi' itu membuatnya penasaran. Bukan saja soal penyebabnya, tapi ia juga ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui siapa dirinya sesungguhnya, ya itu, melalui keluarganya.

Selama ini ia hanya mengenal ibu dan bapaknya saja. Tak tahu siapa keluarga bapaknya dan tak tahu keluarga ibunya. Pernah mendengarnya, tapi samar. Pernah bertemu tapi saat ia masih belum bisa mengingatnya karena masih kecil.

Kalau saja ia bisa menyusul ibunya ke sana, ke kampung halaman masa kecilnya, mungkin itu bisa memberinya sedikit gambaran tentang asal-usulnya. Tapi ya itu, sayangnya masa liburannya sudah habis dan terlewat. Menyusul pun belum tentu langsung bisa ketemu, jangan-jangan ibunya juga sudah balik ke Gori tanpa sempat bertemu dengannya.

"Nanti saja lah kulihat, mungkin perlu kutanya Bapak atau pada Pak Sese..." bathin Soso.

*****

Soso berhasil meninggalkan Gori tanpa bertemu dengan Bonia. Kalaupun nanti ada orang yang tahu kalau ia pulang dan sampai pada telinganya, itu urusan nanti, yang penting jangan bertemu langsung.

Sebelum meninggalkan Gori, Soso menemui Mak Meme tetangganya yang baik hati itu. Ia menitipkan pesan agar nanti, jika ibunya sudah kembali, Mak Meme mengabarinya kalau ia pulang. Selain itu, Soso memberinya uang lima rubel sebagai ucapan terimakasihnya sudah diurusi selama dia pulang.

Mak Meme mulanya menolak, tapi Soso memaksa. "Ini bukan pengganti makanan Mak, ini karena saya punya rezeki, itu saja. Jadi diterima saja. Belum tentu saja nanti punya rezeki lagi kayak gini!" kata Soso. Ia tahu, jumlah itu cukup besar bagi orang di kampungnya, makanya mungkin Mak Meme ragu.

"Ya sudah kalau memang kamu lagi punya rezeki," kata Mak Meme. "Kudoakan kau punya rezeki terus, lebih besar dari yang kau dapat sekarang!"

"Nggak usah ngomong sama Pak Koba atau anak-anaknya kalau saya ke sini ya Mak, cukup kabari ibu saya saja!"

Mak Meme megangguk, "Iya, aku paham!"

*****

Setibanya di Tiflis, mau tak mau Soso harus kembali ke rumahnya Pak Sese dan Mak Imel sebelum memutuskan apakah ia akan mencari ibunya atau kembali ke asrama.

Tanpa diduga, Mak Keke ternyata mampir ke rumah Pak Sese saat akan menuju Didi-Lilo beberapa hari yang lalu.

"Ibumu mampir ke sini, katanya mau ke Didi-Lilo bertemu dengan keluarganya, karena pamanmu meninggal..." kata Mak Imel. "Dia menyangka kamu di sini karena tak pulang pas liburan. Kubilang saja kau pergi ke Poti, urusannya apa, ya aku tak bisa jelaskan, karena memang tak tahu!"

"Apa dia berpesan sesuatu, Mak?" tanya Soso.

Mak Imel menggelengkan kepalanya, "Nggak juga. Tapi dia bilang, tadinya kalau kamu ada dan masih libur, mau ngajak kamu ke sana, biar bertemu dengan saudara-saudaramu yang lain dari pihaknya!"

"Dia sudah balik dari sana?"

Mak Imel menggeleng lagi, "Harusnya sih kalau dia pulang, ya mampir lagi. Dia kan naik kereta api juga dari Gori. Kalau dia baliknya naik kereta api lagi kan mesti ke sini. Masak iya nggak mampir lagi!"

"Ya sudah Mak, besok saya kan balik ke asrama, kalau misalkan ibu saya mampir lagi ke sini, tolong sampaikan supaya mampir dan menemui saya di sekolah!"

Mak Imel mengangguk, "Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu lama sekali baliknya, ngapain aja di Poti?"

Soso nyengir, "Ada proyek kecil-kecilan Mak..." jawabnya.

"Iya tapi jangan sampai mengganggu sekolahmu. Sayang kalau sampai gagal karena kamu keasyikan di luar. Kasian ibumu. Setidaknya, kalau kau mau berkegiatan di luar, tahan dulu, tunggu sampai sekolahmu selesai dulu!"

"Iya Mak..." jawab Soso.

Kepada Pak Sese, Soso menanyakan perkembangan di pabrik dan soal buntut demo buruh itu, hal yang menyebabkannya kemudian 'mengasingkan diri' ke Poti atas saran Pangeran Ilia.

"Aku tak tahu apa-apa lagi So, anak-anak itu sudah kembali bekerja, dan kita sudah kerja normal lagi. Hanya saja, di pabrik sekarang ada manajer baru, bukan si Kustov lagi!" jawab Pak Sese.

"Kemana dia?"

"Menghilang sejak kejadian itu!"

"Dicari polisi?" tanya Soso.

Pak Sese menggeleng, "Nggak tau lah So, urusannya. Setidaknya sekarang di pabrik sudah lebih nyaman, manajer barunya jauh banget sama si Kustov, yang ini lebih ramah!"

Ya sudah, pikir Soso, mungkin itu memang sudah lebih dari cukup bagi pekerja pabrik seperti Pak Sese. Memang masih menjadi misteri soal hilangnya sepatu itu, dan apakah si Kustov pelakunya atau bukan. Kalau si Kustov pelakunya, apa sudah ditangkap polisi atau belum. Idealnya begitu. Tapi terlalu jauh kalau ia kembali ikut campur tangan lagi, apalagi berurusan dengan polisi, sementara ia saja masih terkait dengan kasus demo itu. Jangan-jangan, kalau ia mengusik-usik polisi lagi, ia malah ketahuan kalau ia yang menghasut demo itu lewat tulisannya.

Satu yang belum terjawab bagi Soso adalah soal si Lado dan kawan-kawan. Tapi nanti lah, pikirnya, ia harus kembali dulu ke sekolah sebelum mencari tahu soal itu.

*****

"Kau pikir seminari ini tempat kos-kosan hah? Kau bisa pergi dan pulang sesuka hatimu!" Pak Germogen, mantan kepala pengawas yang sekarang menjadi pejabat pelaksana rektor, melotot ke arah Soso saat ia menemuinya di sekolah.

"Saya tahu, Romo, saya salah, saya siap menerima hukumannya!" kata Soso dengan tenangnya. Ia sudah tahu akan menghadapi itu, sehingga ia sudah siap sejak awal.

"Hukuman? Hukuman itu hanya untuk siswa yang terdaftar di sekolah ini, sementara kamu sudah terlambat melakukannya, meskipun kamu sudah dinyatakan akan menerima lagi beasiswa!" kata Pak Germogen.

"Maksud Romo?" kalau soal ini, Soso rada kaget.

"Semua siswa yang balik ke sini, entah itu siswa baru atau yang lama sekalipun, harus mendaftar ulang. Kenapa? Karena semakin banyak orang yang berminat untuk belajar di tempat ini!" kata Pak Germogen, "Dan kau, Joseph Djugashvili, kau tidak melakukannya, sehingga otomatis namamu tak terdaftar sebagai siswa di sini untuk tahun ini. Paham?"

Emosi Soso langsung naik, kalau saja tak ditahan, mungkin ia sudah berdiri, tapi tetap saja ia tak bisa menunjukkan kalau ia tak suka, "Aturan itu tidak pernah ada sebelumnya Romo, hanya untuk anak baru saja. Dan tidak pernah disampaikan pula sebelumnya, sebelum kami berlibur!"

"Ya kalau saja kau balik ke sini tepat waktu, aturan itu takkan jadi masalah kan? Sekarang siapa yang salah?"

"Terus, saya harus bagaimana Romo?" tanya Soso sambil menahan emosinya.

"Ya pulang lah, namamu tidak terdaftar, kau tak bisa ikut sekolah tahun ini. Mulai lah lagi tahun depan, kalau kau tak telat mendaftar lagi dan masih ada tempat!" jawab Pak Germogen dengan enteng.

"Tapi saya baru terlambat sepuluh hari Romo, apa tidak bisa ada keringanan? Saya juga masih bisa menyusul ketertinggalan pelajaran saya. Beasiswa saya juga berlaku untuk tahun ini, bukan tahun depan!" kata Soso.

"Sori, nggak bisa. Namamu tak terdaftar, selesai urusan. Aku tak bisa memberi keringanan apapun seperti yang kau inginkan!"

"Baiklah, saya tahu Romo tidak bisa memberi keringanan apalagi sebuah keputusan, karena Romo memang tak berhak melakukannya," kata Soso yang sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Ia sudah menemukan celah untuk menyerang balik.

"Maksudmu?"

"Setahu saya, yang bisa memutuskan adalah rektor, dan Romo bukan rektor, hanya menjalankan tugas sebagai rektor saja. Rektornya masih Romo Archimandrite Serafim. Saya akan menemui beliau. Baru hasilnya nanti saya bawa kepada Romo!" kata Soso.

"Kamu menghinaku?" Pak Germogen membentak Soso.

"Ampun Romo, saya hanya mencoba memahami apa yang Romo sampaikan tadi. Dan jelas saya telah lalai karea terlambat sehingga tidak terdaftar. Saya juga salah meminta keringanan kepada yang tidak berhak memberikannya!" kata Soso lagi.

Pak Germogen tampaknya menyadari bahwa ia sudah terjebak dengan omongannya sendiri tanpa sadar kalau Soso memahami ada celah untuk menyerangnya. "Tak perlu kamu menghubungi beliau langsung. Beliau tidak sehat, tidak semua orang boleh mengunjunginya. Biar aku yang menghubungi beliau dan menanyakan keputusannya soal kamu!"

"Terus saya bagaimana? Menunggu keputusan dulu baru bisa masuk atau tidak?" tanya Soso yang sudah mulai berani.

"Aku memang tak bisa memberi keputusan soal penerimaanmu, tapi aku bisa memberikan hal-hal harian seperti memberi hukuman siswa yang bandel atau melanggar. Kau harus masuk sel sambil menunggu keputusan Romo Serafim!"

"Bagaimana bisa begitu Romo? Saya kan belum terdaftar lagi sebagai siswa lagi? Mana boleh saya mendapatkan hukuman!"

Kali ini Pak Germogen yang tampaknya berusaha menahan emosi, "Sudah begini saja. Karena status siswamu belum jelas, menunggu keputusan Romo Serafim. Kau boleh ikut kelas, tapi kau tidak tidur di kamar, tapi tidur di sel!"

"Baik Romo, terimakasih!"

Keputusan itu merugikan Soso? Oh tidak! Baginya itu kemenangan, dan kekalahan telak bagi Pak Germogen!

*****

BERSAMBUNG: (101) Digantung Status

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun