"Terus, saya harus bagaimana Romo?" tanya Soso sambil menahan emosinya.
"Ya pulang lah, namamu tidak terdaftar, kau tak bisa ikut sekolah tahun ini. Mulai lah lagi tahun depan, kalau kau tak telat mendaftar lagi dan masih ada tempat!" jawab Pak Germogen dengan enteng.
"Tapi saya baru terlambat sepuluh hari Romo, apa tidak bisa ada keringanan? Saya juga masih bisa menyusul ketertinggalan pelajaran saya. Beasiswa saya juga berlaku untuk tahun ini, bukan tahun depan!" kata Soso.
"Sori, nggak bisa. Namamu tak terdaftar, selesai urusan. Aku tak bisa memberi keringanan apapun seperti yang kau inginkan!"
"Baiklah, saya tahu Romo tidak bisa memberi keringanan apalagi sebuah keputusan, karena Romo memang tak berhak melakukannya," kata Soso yang sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Ia sudah menemukan celah untuk menyerang balik.
"Maksudmu?"
"Setahu saya, yang bisa memutuskan adalah rektor, dan Romo bukan rektor, hanya menjalankan tugas sebagai rektor saja. Rektornya masih Romo Archimandrite Serafim. Saya akan menemui beliau. Baru hasilnya nanti saya bawa kepada Romo!" kata Soso.
"Kamu menghinaku?" Pak Germogen membentak Soso.
"Ampun Romo, saya hanya mencoba memahami apa yang Romo sampaikan tadi. Dan jelas saya telah lalai karea terlambat sehingga tidak terdaftar. Saya juga salah meminta keringanan kepada yang tidak berhak memberikannya!" kata Soso lagi.
Pak Germogen tampaknya menyadari bahwa ia sudah terjebak dengan omongannya sendiri tanpa sadar kalau Soso memahami ada celah untuk menyerangnya. "Tak perlu kamu menghubungi beliau langsung. Beliau tidak sehat, tidak semua orang boleh mengunjunginya. Biar aku yang menghubungi beliau dan menanyakan keputusannya soal kamu!"
"Terus saya bagaimana? Menunggu keputusan dulu baru bisa masuk atau tidak?" tanya Soso yang sudah mulai berani.