Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (98) Kabar Buruk Saat Pulang

7 Maret 2021   21:24 Diperbarui: 8 Maret 2021   22:53 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (97) Renungan Diri

*****

Tuan Nikoladze baru kembali ke penginapan setelah 'menghilang' dua malam. Biasa saja, tak tampak tanda-tanda 'menyesal' telah meninggalkan empat orang itu, termasuk Soso, yang khawatir dibuatnya. Soso bisa apa? Selain diam saja. Tak guna bertanya, bukan urusannya. Tak guna mengeluh, bukan haknya. Tak guna marah-marah, tak ada kuasanya.

Mereka akan kembali ke Poti dua hari kemudian. Setelah pulang dari Tsemdolina, Tuan Nikoladze masih pergi ke sana-sini, dan seringnya Soso tak diajak serta. Soso sendiri, daripada pusing, mencari kesenangannya sendiri, bertualang di sekitar pelabuhan, mengobrol dengan orang-orang, bahkan hingga akrab dengan beberapa kusir kereta di sekitar pelabuhan, terutama orang-orang Turk seperti Pak Berat dan kawan-kawan itu, sampai akhirnya, waktu kembali ke Poti tiba.

Kali ini, mereka berangkat pagi-pagi. Kapal yang dinaiki serupa dengan yang ditumpangi saat menuju Novorossiysk. Tapi jelas tak sama, karena kapal yang itu berlayar mengelilingi Laut Hitam berlawanan dengan jarum jam, seperti kapal tempat bekerja Jabeer. Sedangkan yang dipakainya sekarang searah dengan jarum jam.

Sejak kejadian ditinggal di penginapan itu, Soso menjadi rada-rada males ngobrol dengan Tuan Nikoladze. Ia baru ngomong kalau ditanya. Kalau tidak, ya diam saja. Untung saja ada Natela yang kali ini, lagi-lagi ditempatkan satu kamar seperti saat di penginapan, tak sama dengan saat berangkat. Ia jadi punya teman ngobrol untuk menghilangkan gundahnya.

Tiba di Poti dua hari kemudian, Soso malas berlama-lama lagi. Ia langsung undur diri kepada Tuan Nikoladze, kalau ia akan segera kembali ke Tiflis. Tanpa diduga, Tuan Nikoladze membekalinya dengan uang yang sangat banyak, 250 rubel! Itu uang terbanyak yang pernah diterima dan dipegangnya.

"Untuk apa ini Tuan?" tanya Soso.

"Itu untuk ongkos pulangmu dan anggap saja sebagai upah kerjamu selama di sini. Mungkin tak sebanding dengan sumbangan pemikiranmu terhadap kota ini!" kata Tuan Nikoladze.

"Saya malah merasa ini terlalu besar!" kata Soso jujur.

"Kalau aku membayar konsultan, uang yang dikeluarkan oleh kota ini akan jauh lebih besar, puluhan atau bahkan ratusan kali lipatnya. Padahal, sumbangan ide-idemu itu sangat besar nilainya. Hasil bacaanmu dan pengamatan kota yang kamu lakukan, telah memberiku banyak gagasan untuk diterapkan di sini..." imbuh Tuan Nikoladze. "Saat ini mungkin belum akan terlihat, tapi setidaknya, dalam waktu paling cepat dua tahun, satu-dua idemu bisa terwujud. Datang saja nanti, lihat sendiri hasilnya!"

Soso hanya bisa mengucapkan terimakasih. "Selain uang ini, banyak pengalaman yang saya dapatkan di sini Tuan, termasuk perjalanan ke Novorossiysk itu. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi, selain rasa terimakasih!"

"Sudahlah!" kata Tuan Nikoladze. "Ada satu lagi yang perlu kau lakukan!"

"Apa itu Tuan?"

Tuan Nikoladze menyodorkan sebuah amplop bersegel, "Sampaikan surat ini kepada Pangeran Ilia setibanya kamu di Tiflis!"

"Baik Tuan!"

Setelah itu, Soso pamitan pada Pak Didi. Lelaki baik hati yang telah menampungnya, meski ia sendiri kemudian lebih banyak tinggal di rumah Natela. Ia menyerahkan uang 50 rubel dari yang diterimanya. Tapi Pak Didi menolak, katanya, ia sudah mendapat uang pengganti dari balai kota. Soso tak bisa memaksanya, selain mengucapkan terimakasih kepadanya, juga kepada istrinya.

Dan terakhir, tentu saja ia berpamitan pada Natela.

"Pulanglah, teruskan langkah hidupmu..." katanya. "Nggak perlu mengingat-ingat aku, tak perlu memikirkanku. Apa yang terjadi di antara kita selama ini, tak perlu dikenang-kenang atau dibuat berat hati. Mengenalmu sudah merupakan kebahagiaan bagiku, takkan kuminta lebih dari itu!"

"Tapi kalau aku kangen gimana?" tanya Soso.

"Ya datang saja ke sini, gampang kan!" Natela tersenyum.

"Tak ada apa-apa di antara kita?"

Natela menggelengkan kepalanya, "Tak ada. Biar aku saja yang menyimpan kenangannya, kamu nggak usah!"

"Ya mana mungkin bisa begitu!" kata Soso.

"Harus bisa! Aku nggak mau jadi penghalang langkahmu..."

Soso memeluknya, "Terimakasih atas segalanya! Biar bagaimanapun, kau pernah hadir dalam hidupku, tak mungkin aku bisa melupakanmu begitu saja!"

*****

Kereta api itu, yang sudah kesekian kalinya ditumpangi Soso, membawanya meninggalkan Poti, sebuah kota kecil yang entah kenapa begitu membekas di dalam hatinya. Kota itu telah memberinya begitu banyak pelajaran, langsung maupun tidak langsung, yang terpikirkan maupun yang tidak disadarinya.

Saat kereta itu mendekati stasiun Gori, Soso teringat pada Mak Keke, ibunya. Mendadak ia begitu merindukannya. Ia ragu, apakah ia akan turun di Gori dan menemui ibunya itu barang sekejap lalu pulang keesokan harinya, atau melanjutkan perjalanannya langsung ke Tiflis. Ia tahu, sekolah sudah dimulai. Ia sudah terlambat. Menambah satu hari keterlambatannya tak akan berbeda, ia tetap akan menghadapi hukuman.

Tapi bukan itu yang membuat Soso ragu untuk mampir di Gori. Ia merasa percuma menemui ibunya kalau harus menemuinya di tempat tinggalnya yang baru, di rumah Pak Koba. Padahal bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin kembali pada ibunya yang 'dulu' yang masih sendiri dan tinggal di rumah bututnya itu.

Keinginan itu sepertinya kejam, seolah Soso tak rela Mak Keke sekarang hidup lebih baik, dan mungkin lebih bahagia. Bukan itu, ia membayangkan suasana dulu, saat masih tinggal berdua di rumah lama peninggalan Pak Beso. Karena menyebut rumah, baginya hanya itu yang terbayang dalam ingatannya, bukan yang lain. Dan itu takkan didapatkannya saat ini. Ia bisa saja menemui Mak Keke, ia bisa saja tidur di rumahnya itu, ia bisa juga tidur di rumah itu bersama Mak Keke lagi.

Tapi semuanya tak lagi sama. Ia tak bisa memutar waktu ke belakang, dimana kepahitan hidup ternyata bisa begitu membekas, tapi malah begitu manis dikenang dan dirindukan untuk kembali meski sesaat!

Kereta berhenti di stasiun Gori yang terletak dekat sekolah masa kecilnya itu. Soso tak beranjak. Justru ketika kereta hendak bersiap untuk melanjutkan perjalanannya, Soso malah memutuskan untuk melompat keluar.

"Aku harus pulang, biar hanya sekejap!"

*****

Seperti sebuah dj vu, Soso mengulangi kejadian sekitar enam bulan lalu, pulang ke rumahnya, masuk bersih-bersih, dan tiduran di ranjang bututnya. Enam bulan lalu, ia juga kembali ke situ setelah menempuh perjalanan dari Poti yang sebelumnya dimulai dengan perjalanan ke Batumi. Bedanya, dulu ia pulang ketika Batumi, Poti, bahkan Gori sedang diselimuti salju, sementara kali ini cuaca begitu cerah meski sudah sore.

Seperti enam bulan lalu pula, ia ragu, apakah ia akan menemui Mak Keke saat itu, atau menunggu suasana hatinya lebih tenang. Dulu, tanpa diduga, firasat kuat seorang ibu seperti Mak Keke membuatnya mendadak mampir menengok tempat tinggal lamanya dan menemukan anak semata wayangnya di situ.

Tapi kali ini tidak. Hingga malam hari pun, Mak Keke tak muncul. Ya mungkin memang bukan salahnya. Ia mungkin sibuk di sana, mengurusi suami barunya, dan mungkin juga dua anak sambungnya, Yuri dan Bonia.

Soso mulai bimbang. Ia tak bisa berlama-lama seperti dulu. Besok ia harus melanjutkan lagi perjalanan ke Tiflis. Sudah terlalu banyak hari yang dilaluinya dengan membolos. Kalau ia tak menemui Mak Keke saat ini, akan terlalu mepet besok, dan pasti ibunya akan sangat kecewa. Belum lagi, perutnya mulai keroncongan.

Setelah badannya cukup segar dibawa rebahan, ia bangkit. Ia harus menemui ibunya saat itu juga, tak bisa ditunda. Yang jelas, ia tak ingin menginap di rumah Pak Koba. Ia ingin tidur di rumahnya sendiri, rumah masa kecilnya.

Di luar, ia bertemu dengan Pak Jojo, tetangganya yang tampak kaget bertemu dengannya. "Pangling bener aku liat kamu So, sudah gede dan tambah ganteng aja kamu!" katanya.

Soso hanya tersenyum, "Iya Pak, sudah lama nggak ketemu ya..."

"Baru datang?"

Soso mengangguk, "Baru aja, rebahan sebentar di rumah, sekarang mau ketemu ibu..." jawabnya.

"Berarti belum ketemu ibumu?"

Soso menggeleng, "Ini saya baru mau ke sana!"

"Setahuku, ibumu sekarang tak ada di sana, kemarin dia pergi Didi-Lilo, adiknya, pamanmu, Sandala, meninggal dunia, katanya dibunuh oleh polisi..." kata Pak Jojo.

Soso melongo, "Paman saya? Meninggal?" ia berusaha mengingat-ingat. Apakah ia memiliki seorang paman dari ibunya? Semakin menggali ke dalam ingatannya, semakin ia tak bisa menemukannya. Bahkan ia tak pernah ingat kalau ibunya pernah bercerita tentang seorang paman atau keluarganya yang lain!

"Mungkin kamu tak ingat, dulu, waktu kamu masih kecil, paman dan bibimu masih sering berkunjung ke sini, menggendongmu, memainkan suling duduki[1] sampai kamu tertidur..." kata Pak Jojo lagi. 

"Dimana itu Didi-Lilo, Pak?"

"Aku tak tahu persis, tapi seingatku sebelah utara Tiflis, seberapa jauh dan di sebelah mana, aku juga tak tahu!" jawabnya. "Mungkin Pak Beso, ayahmu, tahu itu!"

Soso makin bingung, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya saat itu. "Bapak yakin kalau ibu saya pergi ke sana?"

Pak Jojo mengangguk, "Kalau itu aku yakin, semua orang di sini juga pada tahu. Tanya saja sama Pak Koba, kayaknya sih dia tidak ikut ke sana!"

Tapi Soso bener-bener males ketemu dengan Pak Koba, terutama ia tak mau lagi berurusan dengan si Bonia yang selalu saja mengajaknya 'sesat' yang sulit dihindarkannya.

"Saya balik ke Tiflis saja lah Pak, di sana ada orang yang bisa saya tanyai!" kata Soso.

"Tapi kan kamu nggak bisa berangkat sekarang!"

"Iya, besok baru saya bisa ke sana, naik kereta api," jawab Soso.

"Kamu nggak mau ketemu Pak Koba ya?" Pak Jojo menatapnya.

Soso tersenyum pahit. "Iya Pak..."

"Ya sudah, aku mengerti," imbuh Pak Jojo. "Mampir ke rumahku saja dulu, ngobrol, sambil makan malam seadanya!"

Kalau untuk itu, Soso tak bisa menolak lagi. Setidaknya, ia punya sedikit waktu untuk menenangkan pikirannya sambil menimbang-nimbang langkah yang bisa diambilnya.

*****

BERSAMBUNG: (99) Galau di Kampung Sendiri

Catatan:

[1] Seruling khas Georgia yang asal-usulnya berasal dari Azerbaijan, terbuat dari kayu mulberi atau walnut. Di Azerbaijan disebut dengan Balaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun