Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (76) Mengunjungi Tahanan
*****
Hari jumat, Soso mengunjungi kontrakan Lado Ketskhoveli. Pertama untuk bersiap 'menyambut' kedatangan cewek Rusia yang dikenalnya di Rustavi, Tatiana. Kalau cewek itu beneran datang ke Tiflis dan mencarinya di situ, setidaknya ia sudah bersiap. Kedua, urusan teman-temannya yang ditahan oleh polisi Gori. Soso merasa perlu berbagi cerita dengan sahabatnya itu. Siapa tahu Lado punya pandangan atau mungkin bisa membantu pembebasan teman-temannya.
Si Lado hampir saja bertemu dengan teman-teman Mesame Dasi-nya, tapi kedatangan Soso yang kemudian menceritakan nasib kawan-kawannya, ia mulai tertarik. Remaja yang setahun lebih tua dari Soso itu memang menaruh perhatian pada nasib buruh, sesuatu yang masih menjadi misteri bagi Soso, mengenai alasan di baliknya, terutama karena anak itu tak pernah sekalipun menjadi buruh, dan juga bukan berasal dari keluarga buruh.
"Kalau hanya sekadar membebaskan mereka, kurasa itu tak terlalu sulit..." kata si Lado. "Keluarkan saja beberapa rubel, selesai. Tapi aku melihat hal yang lebih besar dari itu..."
"Maksudmu?" tanya Soso.
"Itulah persoalan buruh yang sesungguhnya. Bayaran tak seberapa dibandingkan dengan pekerjaannya. Dianggap sebagai manusia kelas rendah, dan dalam situasi tertentu selalu menjadi pihak yang dikorbankan..." kata si Lado. "Mungkin ini bisa jadi titik sebuah gerakan besar untuk mengubah nasib mereka..."
Soso masih belum mengerti maksud si Lado.
"Kita harus mengabarkan penindasan ini kepada buruh-buruh lain. Kita harus membangkitkan nurani mereka yang lama tertidur. Kita harus membangkitkan semangat untuk menuntut hak-hak mereka, hak untuk diperlakukan secara adil..." lanjutnya.
"Kau buat tulisan mengenai kasus ini, nanti kubawa ke Kvali..." kata si Lado lagi.
"Aku, nulis lagi buat Kvali? Nggak salah tuh? Yang dulu aja ditolak mentah-mentah oleh si Nunu!" kata Soso yang masih jengkel dengan pimred suratkabar yang disebut si Lado barusan, Noe Zhordania.
"Itu karena dulu kau menyerangnya, menyerang Kvali dan juga menyerang si Nunu secara pribadi..." kata si Lado. "Kali ini, kau harus menyerang para borjuis itu, para pemilik modal berikut antek-anteknya yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan mereka sendiri tanpa memikirkan nasib orang lain. Bahkan nasib orang-orang yang sudah lama memberi mereka keuntungan!"
Soso diam, ia mulai memahami maksud si Lado.
"Tuliskan apa yang kau tahu tentang kejadian di pabrik itu..." kata si Lado lagi.
"Tapi kasusnya belum jelas Do... belum terbukti bahwa si Sergei Kustov, manajer pabrik itu yang menjadi otak pencurian di pabrik yang dikelolanya sendiri!" kata Soso.
"Itu tak penting kawan!" kata si Lado. "Jangan bicarakan dulu kasus dan tuduhannya jika itu memang belum kuat. Tapi soroti perlakuan tak adil pada buruh-buruh itu. Dituduh tanpa bukti, ditahan di kantor polisi tanpa kejelasan, dan juga bagaimana polisi itu lebih berpihak pada mereka yang kuat, tanpa mau berrepot-repot melakukan penyelidikan yang sungguh-sungguh!"
Soso mengangguk-angguk. "Terus apa lagi yang harus kusampaikan?"
"Pentingnya buruh untuk bersatu!"
"Oke, kira-kira Kvali mau memuatnya?"
Lado tersenyum, "Kalau si Nunu tak mau memuatnya, berarti apa yang dia omongkan selama ini hanya omongkosong belaka. Mau tak mau dia harus memuatnya!"
"Terus, jika sudah dimuat? Apa langkah berikutnya?"
"Aku akan mengumpulkan pentolan-pentolan serikat buruh di Tiflis ini untuk bergerak!" jawab si Lado.
"Sasarannya?"
"Polisi dulu!" jawabnya. "Kalau polisi bisa kita dorong untuk bergerak menyelidiki yang bener, itu akan jadi tamparan bagi para pemilik modal itu, bahwa mereka tidak bisa seenak udelnya mempermainkan buruh..."
"Tapi Sergei Kustov itu bukan pemilik, hanya manajer operasional..." kata Soso.
"Apa bedanya? Toh ia sama-sama Rusia! Biar orang-orang Rusia yang punya modal itu juga bisa memilih orang yang bener dalam mengelola pabriknya. Kan mereka juga yang rugi kalau bener si Kustov itu menyelewengkan jabatannya untuk kepentingannya sendiri!"
Soso mengangguk-angguk lagi. "Menarik. Akan kubuat tulisannya!"
"Tulis sekarang!" kata si Lado.
"Siap bos!"
*****
Malam itu Soso bener-bener mencurahkan pikirannya pada sebuah tulisan. Tulisan yang disarankan oleh si Lado. Otaknya berpikir keras untuk merangkai ide dan gagasan-gagasan yang bercampur-baur dalam kepalanya. Sekali lagi, ia harus mengakui bahwa kemampuannya menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan, masih tertinggal jauh dengan kemampuannya menyampaikan secara lisan. Dalam tulisan, ia belum bisa mengalir, masih terbata-bata memilah ide yang harus disampaikan, dikesampingkan, atau bahkan dibuang jauh-jauh.
Soso ditinggal sendirian di rumah itu. si Lado-nya sendiri pergi sesuai dengan rencana sebelumnya. "Akan aku sampaikan pada teman-teman soal ini So. Tapi kau sendiri harus menyelesaikan tulisannya!" kata si Lado.
Saat pikirannya mulai buntu dan beberapa lembar kertas sudah dihabiskan untuk tulisan yang dianggapnya gagal, Soso teringat kedai kopi Jerman yang berada di seberang rumah kontrakan itu. Ia pun pergi ke sana untuk memesan secangkir kopi. Tembakau dan cangklongnya sendiri sudah tersedia, ditinggali si Lado. Sedari tadi juga Soso sudah mengisapnya.
Menulis sambil menyeruput kopi dan mengisap tembakau ternyata membuat pikirannya makin enteng. Akhirnya, menjelang tengah malam, tulisannya pun jadi. Ia masih belum merasa sreg seratus persen, tapi itu sudah cukup mewakili apa yang disarankan si Lado dan apa yang dipikirkannya.
Soso menyimpan tulisannya. Ia harus tidur bener malam itu, besok, kalau Tatiana bener-bener datang, ia harus terlihat segar, dan juga harus menyiapkan rumah itu agar tak terlalu mirip sarang penyamun. Paling tidak, ya nggak malu-maluin lah.
*****
Lagi-lagi Soso bangun kesiangan. Semalam, meski niatnya pengen tidur setelah menyelesaikan tulisannya, ia ternyata tak bisa langsung terlelap. Mungkin efek kopi itu cukup kuat menjauhkan kantuknya.
"Tulisan ini baru nendang!" kata si Lado yang sudah ada di rumah saat Soso bangun. Rupanya ia sudah membaca tulisan Soso yang memang digeletakkan di atas meja begitu saja.
"Ada yang kurang nggak?" tanya Soso.
"Sudah lah, nggak usah terlalu mikir mau sempurna. Yang penting gagasannya..." jawab si Lado. "Toh nanti juga paling diedit lagi oleh si Nunu..."
"Kau ketemu dia semalam?"
Lado mengangguk, "Sudah siap. Dia setuju untuk memuatnya, asal jelas saja arah tulisanmu itu! Dan kurasa ini sudah sangat jelas!"
"Aku tak menuliskan namaku di situ. Apa kau pikir perlu mencantumkan namaku?" tanya Soso.
"Mau pakai nama Soselo lagi?" tanya si Lado sambil menyeringai, "Terlalu romantis tau, nggak kayak nama pejuang revolusi. Hanya cocok buat nama penulis puisi cinta!"
Soso nyengir, "Jangan lah. Tapi kan aku juga belum bisa memakai nama asliku, nanti malah urusannya panjang kalau orang seminari tahu!"
"Kau pake saja nama bekenmu itu, Koba Djugashvili!" kata si Lado.
Soso menggeleng, "Di seminari juga aku sudah dikenal dengan nama itu. Sama saja kalau masih bawa-bawa nama bapakku!"
"Kenapa nggak Koba Ivanovich? Nama samaran yang kau pake buat merayu cewek itu? Lumayan kan. Ada Rusia-Rusia-nya, jadi seolah penulis ini orang Rusia yang peduli dengan nasib buruh!"
Soso tersenyum, "Wah, boleh juga tuh!" Ia pun mengambil lagi tulisannya, lalu membubuhkan nama di situ, Koba Ivanovich. Koba, nama pahlawan kesukaannya yang mulai dipopulerkannya sendiri masih ada, dan nama pulungan yang entah darimana idenya itu 'Ivanovich' juga cukup keren.
"Bagaimana dengan cewek Rusia itu, jadi datang nggak?" tanya si Lado kemudian.
Soso menggeleng, "Entahlah, datang nggak datang juga nggak terlalu penting bagiku..." jawabnya jujur. "Kenapa memangnya?"
"Ya kutinggalkan lah kau di sini agar leluasa..." kata si Lado. "Aku akan membawa tulisanmu ini pada si Nunu, dan mungkin malam ini aku akan menginap di markas Mesame Dasi!"
Soso nyengir, "Aku jadi nggak enak Do!"
"Nyantai aja Bro, nikmati masa mudamu selagi bisa!" jawabnya.
*****
Si Lado meninggalkannya lagi sendirian. Karena kurang kerjaan, Soso mulai memberesi rumah itu, barang-barang yang berserakan, buku-buku, baju-baju si Lado ia rapikan. Lumayan juga hasilnya, rumah itu tak lagi mirip sarang penyamun, sudah lebih layak disebut sebagai rumah, meski kontrakan saja.
Soal mau diakui sebagai apa rumah itu pada Tatiana nanti, itu urusan belakangan. Bohongnya nggak perlu direncanakan, mengalir saja, pikir Soso. Kalaupun nanti malah ketahuan, ya sudah, liat saja nanti.
Tapi kok ia deg-degan juga ya menunggu kedatangan gadis itu!
*****
BERSAMBUNG: (78) Sepucuk Surat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H