Saat pikirannya mulai buntu dan beberapa lembar kertas sudah dihabiskan untuk tulisan yang dianggapnya gagal, Soso teringat kedai kopi Jerman yang berada di seberang rumah kontrakan itu. Ia pun pergi ke sana untuk memesan secangkir kopi. Tembakau dan cangklongnya sendiri sudah tersedia, ditinggali si Lado. Sedari tadi juga Soso sudah mengisapnya.
Menulis sambil menyeruput kopi dan mengisap tembakau ternyata membuat pikirannya makin enteng. Akhirnya, menjelang tengah malam, tulisannya pun jadi. Ia masih belum merasa sreg seratus persen, tapi itu sudah cukup mewakili apa yang disarankan si Lado dan apa yang dipikirkannya.
Soso menyimpan tulisannya. Ia harus tidur bener malam itu, besok, kalau Tatiana bener-bener datang, ia harus terlihat segar, dan juga harus menyiapkan rumah itu agar tak terlalu mirip sarang penyamun. Paling tidak, ya nggak malu-maluin lah.
*****
Lagi-lagi Soso bangun kesiangan. Semalam, meski niatnya pengen tidur setelah menyelesaikan tulisannya, ia ternyata tak bisa langsung terlelap. Mungkin efek kopi itu cukup kuat menjauhkan kantuknya.
"Tulisan ini baru nendang!" kata si Lado yang sudah ada di rumah saat Soso bangun. Rupanya ia sudah membaca tulisan Soso yang memang digeletakkan di atas meja begitu saja.
"Ada yang kurang nggak?" tanya Soso.
"Sudah lah, nggak usah terlalu mikir mau sempurna. Yang penting gagasannya..." jawab si Lado. "Toh nanti juga paling diedit lagi oleh si Nunu..."
"Kau ketemu dia semalam?"
Lado mengangguk, "Sudah siap. Dia setuju untuk memuatnya, asal jelas saja arah tulisanmu itu! Dan kurasa ini sudah sangat jelas!"
"Aku tak menuliskan namaku di situ. Apa kau pikir perlu mencantumkan namaku?" tanya Soso.