Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kapan Klub-klub Skotlandia Berkibar Lagi di Eropa?

12 Februari 2021   14:53 Diperbarui: 13 Februari 2021   10:33 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Celtic dan Rangers (Diolah dari celticfc.com dan Rangers.co.uk)

Sudah sangat lama klub-klub Skotlandia tak membuat sensasi di kancah Eropa. Klub terakhir yang melakukannya adalah Celtic. Kapan? Tahun 1966-1967 saat mereka menjuarai European Cup yang kemudian bertransformasi menjadi UEFA Champions League saat ini.

Pencapaian Celtic waktu itu bukan hanya sensasional dan fenomenal untuk klub dan negaranya saja, tapi juga untuk negara-negara Britania. Celtic jadi klub pertama Britania Raya yang meraihnya. 

Liverpool yang kemudian menjadi klub paling banyak meraih trofi paling bergengsi di Eropa itu baru bisa mendapatkannya tahun 1976-77, alias satu dekade kemudian.

Tahun itu, klub yang bermarkas di kota Glasgow itu memang fenomenal. Orang selalu bicara treble (tiga trofi satu musim), tapi Celtic tak tanggung-tanggung, lima trofi dari lima kompetisi mereka sapu bersih alias quintuple. 

Pertama adalah Scotish First Division --cikal bakal Scottish Premiership saat ini, lalu Scotish League Cup, Scottish Cup, Glasglow Cup, dan tentu saja yang paling fenomenal European Cup.

Di tingkat Eropa, mereka memulainya dari babak bracket. Putaran pertama mereka mengalahkan Zurich FC dari Swiss dengan skor akhir agregat 5-0 (2-0 dan 3-0) dalam dua pertandingan. 

Masuk putaran kedua, mereka berhadapan dengan Nantes (Prancis) dan menang dengan agregat 6-2 (3-1, 3-1). Lawan berikutnya, Vojvodina (Yugoslavia) dikalahkan dengan agregat 2-1. 

Setelah itu, di semifinal, mereka mengalahkan lagi Dukla Prgaue (Cekoslovakia) dengan agregat 3-1 (3-1, 0-0). Dan di partai puncak yang diselenggarakan di Lisbon (Portugal) dengan hanya satu kali tanding, mereka berhadapan dengan raksasa Italia; Internazionale Milan.

Satu gol penalti yang dilesakkan Alessandro Mazzola di menit ke-7 ke gawang Celtic yang dikawal Ronnie Simpson, tak meluluhkan semangat tim asuhan Jock Stein itu. Babak kedua, mereka terus berusaha menyerang, dan akhirnya Thomas Gemmell membuat skor imbang di menit 62. 

Ketika laga memasuki menit 85, saat banyak orang mengira akan berakhir imbang dan berlanjut ke babak tambahan, Stevie Chalmers membobol gawang Inter yang dikawal Giuliano Sarti.

Hasil itu benar-benar diluar dugaan banyak orang. Pertama, karena Celtic bukanlah klub yang diunggulkan, dan mereka masuk final karena 'beruntung' menghadapi lawan-lawan "enteng". 

Lawan-lawan "enteng" itulah yang menyingkirkan lawan berat. Vojvodina menyingkirkan Atletico Madrid. Dukla Prague menyingkirkan Ajax setelah Ajax menyingkirkan Liverpool sebelumnya.

Sementara Inter datang dengan status dua kali juara Eropa, berturut-turut tahun 1963-64 dan 64-65. Sebelum laga final, mereka sudah menumbangkan banyak raksasa lainnya, salah satunya adalah Real Madrid.

Laga final yang disaksikan 45 ribu penonton itu juga layaknya Piala Dunia, antara Skotlandia dan Italia. Maklum, 100 persen starting XI Celtic semuanya asli Skotlandia, dan hampir 100 persen Inter juga Italia, hanya "kesusupan" Luis Suarez (Bukan Suarez-nya Atletico sekarang ya), yang berkebangsaan Spanyol. Itupun tak main penuh. Jadi kalau itu "Piala Dunia" siapa yang berani menjagokan Skotlandia?

Celtic nyaris mengulanginya musim 1969-1970. Kali ini di San Siro, Milan. Thomas Gemmell lagi-lagi mencetak gol di menit 31. Sayangnya, lawan mereka kali ini, Feyenoord (Belanda) segera membalas dua gol dari David Israel (menit 31) dan Bengt Ove Kindvall di babak tambahan (menit 117).

Tapi itu sudah sangat lama. Sudah tak pernah disebut-sebut lagi. Hanya digunakan para pendukung Celtic untuk mengejek rival abadinya Rangers FC. 

Di depan penggemar Rangers, mereka boleh berbangga, karena prestasi itu, karena di liga domestik mereka masih kalah (Celtic 51 kali juara, Rangers 54 kali).

Di kancah Eropa, musuh bebuyutan Celtic itu hanya berhasil meraih European Cup Winner tahun 1972, yang masih kalah gengsinya. Kalau itu, Aberdeen, klub Skotlandia lainnya juga pernah meraihnya sekali, jadi nggak terlalu keren lah. 

Apalagi kemenangan Rangers tahun 1972 atas Dynamo Moscow di Nou Camp Barcelona itu diwarnai kerusuhan supporter yang menyebabkan Rangers harus dihukum.

Ketika klub-klub Britania lainnya semakin berkibar di kancah Eropa (terutama dari Inggris), klub-klub Skotlandia makin tertinggal jauh. Memang tak adil membandingkannya, karena dari sisi liga juga sangat berbeda. Itu pulalah yang menyebabkan peluang tim-tim Skotlandia berkibar di Eropa makin menciut.

Jangankan di Champions League yang makin sesak dengan klub-klub yang makin mapan seantero Eropa (asal negaranya pun makin beragam), di kasta keduanya pun (UEFA Europa League) mereka masih sulit bersaing. 

Prestasi terbaik klub-klub Skotlandia di ajang itu hanya sebagai runner up saja, sekali Celtic tahun 2003, dan sekali Rangers tahun 2008.

Sistem perankingan liga dan klub makin membuat mereka sulit bergerak. Di Champions League, jatah langsung masuk ke babak grup saja tak punya. Juara Scottish Premiership hanya masuk di putaran kedua (sebelum babak grup). Di situ saja, peluang mereka untuk tersingkir sangat besar.

Hanya di Europa League saja peluang itu masih cukup besar. Itupun sangat sulit, apalagi ketika masuk lungsuran tim-tim dari Champions League (peringkat ketiga grup) yang kadang berisi nama-nama besar yang menyulitkan.

Persoalan besarnya adalah di liga domestik. Harus diakui bahwa Scottish Premiership bukanlah liga yang menarik pemain-pemain bintang. Kalaupun kemudian ada bakat besar, biasanya hanya calon bintang yang masih setengah jadi. 

Katakanlah misalnya yang terbaru, Virgil Van Dijk, yang disebut-sebut sebagai bek tengah terbaik di dunia saat ini, pernah merumput bersama Celtic. Itupun langsung dicomot Southampton sebelum akhirnya berlabuh dan bersinar bersama Liverpool.

Scottish Premiership hanya menjadi semacam liga pembibitan pemain, juga batu loncatan bagi pemain-pemain potensial layaknya Andrew Robertson yang memulai karirnya di Akademi Celtic, lalu bermain di Queen's Park dan Dundee United sebelum hijrah ke Hull City dan cemerlang bersama Liverpool. 

Kalaupun ada bintang, tak lebih dari bintang-bintang "tanggung" atau yang sudah meredup dan sudah di ujung karir seperti Jermain Defoe (38 tahun) yang masih bermain di Rangers saat ini.

Musim ini, tak ada lagi kisah klub Skotlandia yang akan mengejutkan Eropa. Di Liga Champions, wakil mereka, Celtic gugur di putaran kedua, kalah dari klub antah berantah Ferencravos (Hungaria). Terbuang ke Europa League, kandas di babak grup setelah menjadi juru kunci bersama AC Milan, Lille, dan Sparta Prague.

Satu-satunya harapan, ada di tangan Rangers yang berlaga di Europa League. Tim asuhan Steven Gerrard ini menjadi juara Grup D, di atas Benefica. 

Kalaupun mereka bisa menggusur Antwerp (Belgia) tanggal 18 dan 25 Februari nanti, itu juga bukan jaminan sukses. Ada nama-nama besar menanti, Tottenham Hotspurs, Manchester United, Arsenal, AC Milan, Napoli, Ajax, Olympiacos, PSV dan lainnya yang siap menghadang jalan mereka.

Dengan posisi di Scottish Premiership yang menguntungkan saat ini, Rangers berpeluang untuk masuk Liga Champions musim depan, tentu bukan di babak grup. 

Tapi rasanya, peluang Gerrard mengangkat trofi Liga Champions seperti saat jadi pemain Liverpool tahun 2005 masih sangat jauh, kalau bukan dibilang mustahil. 

Menggusur dominasi Celtic selama sepuluh tahun terakhir di liga domestik saja sudah cukup fenomenal untuk timnya. Sementara untuk Eropa, tim asuhannya masih belum bisa diandalkan.

Tapi, siapa tahu Gerrard masih punya sisa-sisa 'Keajaiban Istanbul' yang bisa ditularkan kepada anak-anak asuhnya. Kita lihat saja nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun