Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (69) Anak-anak Hilang
Perjalanan ke Rustavi bersama bapaknya kali ini tidak terlalu menggairahkan Soso seperti perjalanannya thun lalu bersama si Said. Dulu niatnya bener-bener liburan. Tapi kali ini lebih seperti urusan keluarga. Ia harus membayar utang bapaknya pada Pak Devdariani, bapaknya si Said yang dipakai biaya pengobatan kaki bapaknya.
Ada dendam pada orang-orang yang membuat Pak Beso terluka itu. Tapi ia tak tahu siapa orang-orang itu, walaupun pasti itu orang Rustavi Stali, perusahaan baja punya orang-orang Rusia itu. Masih bagus juga bapaknya kemudian dibebaskan oleh polisi, jadi urusannya tidak berkepanjangan.
Entahlah, kebenciannya pada Rusia makin memuncak akhir-akhir ini. Tapi ia tak tahu harus menumpahkannya pada siapa, apa, dan dengan cara apa. Segala sesuatu yang berkaitan dengan 'Rusia' entah itu negara ataupun orang, selalu menarik perhatiannya. Makanya kemarin ketika teman-temannya di pabrik sepatu Adelkhanov dituduh mencuri --seperti juga bapaknya---ia langsung merasa terpanggil untuk melibatkan dirinya.
*****
Baru berselang setahun saja ia mengunjungi Rustavi, Soso merasa kota itu semakin banyak perubahannya. Rasanya semakin banyak gedung, semakin banyak orang, dan kota itu terlihat semakin ramai. Ramai tapi nyaris tanpa jiwa.
Beberapa kota sudah dikunjunginya dua tahun belakangan ini, dan ia selalu menemukan masalah-masalah yang terlihat tenang tanpa riak, tapi berarus ganas di bawahnya. Tiflis, Rustavi, Batumi, bahkan Gori, kampung halamannya sendiri. Hanya di Poti saja suasanya yang agak berbeda. Poti, di tangan Niko Nikoladze, sangat terasa hidup, sangat 'Georgia' meski ia sendiri tak pernah bisa menggambarkan seperti apa sih 'Georgia' yang sesungguhnya itu, baik di masa lalu, maupun di masa depan.
Negaranya itu sudah tak pernah berbentuk utuh sejak lama. Georgia nyaris seperti sebuah mitos, antara ada dan tiada. Menyebut 'Georgia' itu sebetunya yang mana, Imereti, Kartli, Kakheti, Ajaria, Guria? Mana pula yang disebut dengan 'Georgia' utuh itu. Siapa pula orang 'Georgia' itu? Bukankah ia sendiri, termasuk bapaknya dan beberapa generasi sebelumnya juga tak pernah tahu bentuk 'Georgia' itu.
Yang ada hanyalah potongan-potongan, 'Georgia' Imereti, 'Georgia' Kartli-Kakheti, dan seterusnya yang pernah menjadi bagian dari Otoman lah, bagian dari Persia lah, dan ia sendiri lahir sebagai 'Georgia' Rusia.
Kalau saja ia mengikuti gagasan kemerdekaan Georgia 'versi' Pangeran Ilia Chavchadze misalnya, apakah orang Guria (termasuk Batumi di dalamnya) masih merasa perlu 'bergabung?' bukankah mereka sudah sangat lama, dan sudah sangat nyaman bergabung dengan Otoman.
Tanya saja misalnya Pak Hameed, orang asli Batumi, berbahasa Georgia, tapi beragama Islam. Apakah ia mau bergabung dengan 'Georgia' lain yang Kristen, Kristen Rusia pula. Jangan-jangan mereka lebih sudi bergabung dengan Otoman yang jelas-jelas seagama dengan mereka, meski berbeda bahasa sehari-hari.
Orang-orang Doukhobor seperti Pak Sorokoff yang juga bertahun-tahun hidup nyaman di wilayah Guria saat masih berada dalam penguasaan Otoman, mungkin lebih memilih tetap bergabung dengan Otoman yang Islam, daripada dengan Georgia apalagi Rusia yang meski sama-sama Kristen, tapi berbeda aliran.
Bagaimana pula dengan orang-orang di sebelah selatan Rustavi. Apa iya mereka mau bergabung dengan Georgia? Jangan-jangan mereka lebih suka bergabung dengan Armenia atau mungkin dengan Azerbaijan. Lalu bagaimana dengan orang Abkazia, Osettia, dan lain-lain.
Semakin lama, kata 'Georgia' itu semakin tak jelas. Kalau merujuk orang yang berbahasa itu, banyak orang Armenia yang sudah lama berbahasa Georgia. Kalau merujuk wilayah, banyak diantara mereka yang sudah tidak lagi merasa sebagai bagian Georgia. Merujuk etnis, makin tak jelas lagi.
Terlalu banyak saling-silang.
Menyebut Rusia sebagai 'musuh' juga sebetulnya ambigu. Rusia yang mana? Orang-orangnya? Kekaisarannya? Atau pada Tsar sebagai pucuk tertingginya?
Soso belum pernah punya teman orang Rusia. Geng SOTOY di kampungnya dulu, anak-anak Rusia, sudah lama jadi musuhnya juga dalam keseharian. Kebanyakan ia memang bertemu dan berurusan dengan orang-orang Rusia yang tidak menguntungkannya, bahkan selalu dalam posisi berlawanan. Ya di kampungnya lah, di pabrik sepatu lah, bahkan di seminari sekalipun.
Satu-satunya orang Rusia yang ia kenal dengan baik, dan cukup baik padanya hanya Romo Subutov, walikelasnya di tingkat pertama. Ia tidak terlihat seperti guru-guru Gereja Rusia 'antek-antek' Tsar seperti yang lain yang lebih terlihat sebagai pengabdi Tsar daripada pengabdi Tuhan. Ia benar-benar seperti perwakilan Tuhan yang sesungguhnya, benar-benar mengabdi untuk gereja dan Tuhan.
Mungkin juga Romo Serafim, rektor seminari yang sedang sakit dan tak aktif itu. lelaki tua itu benar-benar seperti gambarannya di masa kecil tentang para uskup, dari cara bertutur dan bertindaknya. Sayangnya, Soso tak terlalu akrab dengannya. Romo Serafim itu juga seperti berada dalam persimpangan, antara menjadi pengabdi Tuhan dengan mengikuti arahan Tsar. Sosoknya menjadi kabur.
"Mungkin aku harus mengenal orang Rusia lebih dekat agar tahu apa yang sesungguhnya mereka pikirkan, baik tentang Tsar maupun tentang negeri-negeri yang dikuasainya..." pikir Soso. Tapi siapa orang Rusia yang tidak sejalan dengan Tsar selain orang-orang terbuang seperti kelompok Doukhobor itu? Orang-orang seperti mereka juga sangat apolitis, tak mau repot mikirin dunia, selama mereka bisa menjalankan kepercayaannya.
Adakah orang-orang Rusia yang memusuhi 'Rusia' itu sendiri? Ia tak tahu.
*****
Soso dan Pak Beso tiba di Rustavi menjelang sore.
"Apa kita langsung ke rumahnya Pak Devdariani?" tanya Pak Beso.
"Mungkin dia belum pulang, Pak..." jawab Soso. "Kita ke pabriknya saja, tunggu dia di sana..." lanjutnya. Jujur saja, Soso malas untuk langsung ke rumahnya Pak Devdariani, karena ia harus bertemu dengan si Said. Rada gengsi juga kalau kedatangannya itu untuk membayar utang bapaknya, meski mungkin si Said juga sudah tahu, dan juga tak peduli.
"Ya sudah..." kata Pak Beso. Ia lalu menunjukkan arah ke Rustavi Stali, tempat Pak Devdariani bekerja pada kusir kereta yang disewanya.
Setelah tiba di sana, Soso membayar sewa kereta dan mempersilakan kusirnya meninggalkan mereka. Ia memberi tambahan tiga puluh kopeck pada kusir itu. Si Kusir tampak senang dan berterimakasih pada Soso.
Tapi jam pulang kerja tampaknya masih sangat lama. "Kemana dulu kita Pak?" tanya Soso.
"Ada warung makan langganan para buruh..." jawab Pak Beso. "Dulu aku sering makan dan berutang di sana. Kita tunggu di sana saja..."
"Bapak masih punya utang di sana?" tanya Soso.
Pak Beso tersipu. "Ada, mungkin masih ada utangku dua rubelan..."
Soso merogoh sakunya, tapi Pak Beso melarang.
"Untuk ini, biar aku saja yang bayar. Aku punya kalau untuk itu. Dari dulu juga sudah berniat untuk membayarnya..." katanya.
"Ya sudah, bapak saja yang ke sana, saya pengen jalan-jalan dulu Pak. Nanti nyusul ke sana..." kata Soso.
"Terserah kamu lah. Pokoknya kau jalan ke belakang gedung itu, nanti di sana ada warung. Tak bakalan salah..." kata Pak Beso.
Mereka berpisah.
*****
Soso memilih untuk berjalan kaki menuju pusat kota Rustavi. Pada kunjungan pertamanya ke kota itu, ia sama sekali tak menikmati kota itu, lebih banyak berada di pinggiran, karena rumah si Said juga berada di pinggiran kota.
Rustavi memang tak sebesar dan seramai Tiflis. Tapi cukup menarik, banyak gedung-gedung bagus yang tampaknya baru dibangun, juga pertokoan yang cukup ramai, meski juga tak seramai Golovinsky di Tiflis.
Soso berjalan gagah dan percaya diri. Ini bukan Tiflis, pikirnya. Dia tak sedang memakai seragam putih yang menunjukkan kalau ia anak seminari. Ia memakai cokha abu-abunya yang masih cukup bagus karena jarang dipakai. Ia memakai topi fedora yang dulu dibelikan Mak Keke saat akan ke Tiflis dan tak pernah dipakai lagi setelah itu. Dan, kini ia juga mengenakan sepatu boots kulit indah buatan bapaknya, bukan sepatu biasa.
Dengan bekas bopeng cacar di wajahnya yang semakin menghilang, jambang dan kumisnya yang sudah mulai tumbuh, badannya yang semakin berisi, di usianya yang ke delapan belas, sosok Soso sudah jauh dari masa kecilnya yang kucel dan dekil. Apalagi dengan pakaiannya, topi, dan sepatunya itu. Ia cukup tampan sebetulnya.
Beberapa gadis muda yang berpapasan dengannya, tak dapat mengelak dari godaan itu, melirik dan bahkan ada yang sengaja mencuri pandang ke arahnya. Soso menyadarinya, tapi ia sengaja jaim, dan makin berlagak sok keren dengan jalan yang digagah-gagahkan seolah ingin menunjukkan sepatu barunya.
Sampai akhirnya, Soso sendiri yang harus terpesona oleh seorang gadis berambut pirang. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mendekatinya. Celakanya, tak seperti gadis-gadis lain yang meliriknya, gadis yang berdiri di trotoar menghadap ke jalan itu hanya melirik sekilas lalu mengabaikannya, dan matanya sibuk menengok kiri dan kanan, entah itu menunggu jemputan atau apa.
Tapi baru saja mendekat dari arah samping, gadis itu melirik dan mendelik ke arah Soso. "Apa kamu liat-liat?" tanyanya dalam bahasa Rusia.
Soso tersenyum, lalu berdehem dan menyetel logat Rusia yang dipelajari dari guru-gurunya, "Mungkin ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya dengan bahasa Rusia dan logat pulungan, entah meniru logat Rusia sebelah mana.
"Rusia?" tanyanya.
Soso mengangguk, ia merasa tipuannya berhasil. Ia lalu menyodorkan tangannya. Gadis itu tampak ragu, tapi akhirnya menerima uluran tangan Soso. "Koba Ivanovich!" Soso menyebutkan nama sekenanya.
"Tatiana Robishkaya!" gadis itu menyebutkan namanya dengan sedikit ragu.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona Tatiana?" tanya Soso sambil berusaha tetap memaksakan logatnya.
"Aku sedang menunggu kereta yang akan menjemputku..."
Tiba-tiba mata Soso tertuju pada sebuah kereta yang sedang berhenti tak jauh dari situ, kereta yang tadi mengantarnya dari Tiflis. Mungkin kusirnya sedang beristirahat. Soso langsung bersiul, kusir itu melirik, dan mengenali Soso. Soso melambaikan tangannya, dan si kusir langsung membawa keretanya mendekat.
"Biar saya antar Nona dengan kereta saya..." kata Soso.
"Tapi..." gadis itu tampak ragu.
Kusir kereta turun dan mendekati Soso, "Ada apa Tuan? Apa sudah mau kembali ke Tiflis?" tanyanya.
Soso menggeleng, "Saya perlu mengantar Nona ini dulu..."
"Oh, baik, silakan..." jawab kusir itu.
Soso menggerakkan tangan kanannya sambil menatap gadis itu, "Tak perlu ragu, Nona, silakan..."
Gadis itu melangkah, Soso membantunya naik ke atas kereta, lalu ia pun duduk di sampingnya. "Silakan tunjukkan jalannya Nona..."
"Lurus saja dulu..." katanya.
Dalam hati Soso tertawa sendiri, "Aku lagi ngapain ya, kok malah iseng kayak gini!" tapi entahlah ia merasa terhibur sendiri. Bukan soal cewek cantik di sebelahnya, tapi ia memuji kemampuannya sendiri menyamar sebagai orang Rusia dengan cukup meyakinkan! Jangan-jangan, cewek itu juga percaya kalau ia orang kaya dan punya kereta sendiri! "Ah, liat saja nanti!" pikir Soso.
*****
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H