Tanya saja misalnya Pak Hameed, orang asli Batumi, berbahasa Georgia, tapi beragama Islam. Apakah ia mau bergabung dengan 'Georgia' lain yang Kristen, Kristen Rusia pula. Jangan-jangan mereka lebih sudi bergabung dengan Otoman yang jelas-jelas seagama dengan mereka, meski berbeda bahasa sehari-hari.
Orang-orang Doukhobor seperti Pak Sorokoff yang juga bertahun-tahun hidup nyaman di wilayah Guria saat masih berada dalam penguasaan Otoman, mungkin lebih memilih tetap bergabung dengan Otoman yang Islam, daripada dengan Georgia apalagi Rusia yang meski sama-sama Kristen, tapi berbeda aliran.
Bagaimana pula dengan orang-orang di sebelah selatan Rustavi. Apa iya mereka mau bergabung dengan Georgia? Jangan-jangan mereka lebih suka bergabung dengan Armenia atau mungkin dengan Azerbaijan. Lalu bagaimana dengan orang Abkazia, Osettia, dan lain-lain.
Semakin lama, kata 'Georgia' itu semakin tak jelas. Kalau merujuk orang yang berbahasa itu, banyak orang Armenia yang sudah lama berbahasa Georgia. Kalau merujuk wilayah, banyak diantara mereka yang sudah tidak lagi merasa sebagai bagian Georgia. Merujuk etnis, makin tak jelas lagi.
Terlalu banyak saling-silang.
Menyebut Rusia sebagai 'musuh' juga sebetulnya ambigu. Rusia yang mana? Orang-orangnya? Kekaisarannya? Atau pada Tsar sebagai pucuk tertingginya?
Soso belum pernah punya teman orang Rusia. Geng SOTOY di kampungnya dulu, anak-anak Rusia, sudah lama jadi musuhnya juga dalam keseharian. Kebanyakan ia memang bertemu dan berurusan dengan orang-orang Rusia yang tidak menguntungkannya, bahkan selalu dalam posisi berlawanan. Ya di kampungnya lah, di pabrik sepatu lah, bahkan di seminari sekalipun.
Satu-satunya orang Rusia yang ia kenal dengan baik, dan cukup baik padanya hanya Romo Subutov, walikelasnya di tingkat pertama. Ia tidak terlihat seperti guru-guru Gereja Rusia 'antek-antek' Tsar seperti yang lain yang lebih terlihat sebagai pengabdi Tsar daripada pengabdi Tuhan. Ia benar-benar seperti perwakilan Tuhan yang sesungguhnya, benar-benar mengabdi untuk gereja dan Tuhan.
Mungkin juga Romo Serafim, rektor seminari yang sedang sakit dan tak aktif itu. lelaki tua itu benar-benar seperti gambarannya di masa kecil tentang para uskup, dari cara bertutur dan bertindaknya. Sayangnya, Soso tak terlalu akrab dengannya. Romo Serafim itu juga seperti berada dalam persimpangan, antara menjadi pengabdi Tuhan dengan mengikuti arahan Tsar. Sosoknya menjadi kabur.
"Mungkin aku harus mengenal orang Rusia lebih dekat agar tahu apa yang sesungguhnya mereka pikirkan, baik tentang Tsar maupun tentang negeri-negeri yang dikuasainya..." pikir Soso. Tapi siapa orang Rusia yang tidak sejalan dengan Tsar selain orang-orang terbuang seperti kelompok Doukhobor itu? Orang-orang seperti mereka juga sangat apolitis, tak mau repot mikirin dunia, selama mereka bisa menjalankan kepercayaannya.
Adakah orang-orang Rusia yang memusuhi 'Rusia' itu sendiri? Ia tak tahu.