Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (65) Bandit Pasar Armenia

31 Januari 2021   20:34 Diperbarui: 1 Februari 2021   19:21 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (64) Tentang Niko Nikoladze

*****

Ada kabar yang terdengar soal Pak Beso, bapaknya Soso. Datangnya dari si Peta. Tempo hari anak itu jalan-jalan ke Bazaar Armenia, dan ia dengan sangat yakin melihat Pak Beso ada di pasar itu.

"Aku memang sudah lama tak melihatnya, tapi aku masih mengenalinya meski wajahnya penuh dengan cambang dan janggut..." kata si Peta.

"Kau sapa?" tanya Soso.

Peta menggeleng, "Aku hampir mendekatinya, tapi tiba-tiba ada rombongan polisi mengejar maling, aku minggir, orang itu sudah hilang. Kucoba mencarinya tak ketemu. Lagian itu pas aku mau pulang, jadi aku nggak punya waktu lagi..."

"Di dekat apa kau lihat?" tanya Soso lagi.

"Waktu itu aku lewat dekat penjual kacang-kacangan..." jawabnya.

Soso jelas penasaran. Apa iya bapaknya itu berkeliaran lagi di Tiflis? Bukankah sudah ia suruh pergi ke Rustavi untuk mengadu nasib menjadi buruh pabrik baja? Atau jangan-jangan si Peta salah lihat. Tapi itu juga agak meragukan. Si Peta mengenal bapaknya, meski saat masih kecil dulu.

Untuk menghilangkan rasa penasarannya itu, Soso berangkat menuju Bazaar Armenia, tempat yang jarang dikunjunginya. Ya, selama di Tiflis, meski tak terlalu jauh, dia jarang pergi ke sana. Tak terlalu banyak urusan di sana, lagipula ia lebih suka menghabiskan waktunya di toko buku, daripada berkeliaran di tempat-tempat seperti itu. Kalaupun ia perlu berbelanja, ia lebih suka berbelanja di Bazaar Persia.

Pasar itu sangat ramai. Orang-orang yang berbicara dalam bahasa hayeren[1] terdengar di mana-mana. Sejak Tiflis dikuasai Rusia, memang banyak sekali orang Armenia yang pindah ke kota itu,[2] terutama mereka yang menganut agama Kristen. Di Tiflis, nasib mereka sedikit lebih baik daripada orang-orang Georgia asli. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang yang sudah hampir mencapai taraf saudagar. Sisanya adalah buruh pabrik dan pekerja kasar lainnya.

Soso celingak-celinguk, antara berharap bisa menemukan Pak Beso dengan ketidakyakinanya sendiri. Kalau ia bertemu ya bagus, berarti ia bisa menanyainya langsung, kenapa bapaknya itu kembali ke Tiflis. Sementara kalau tidak, ia berharap bapaknya benar-benar berada di Rustavi, mencari nafkah dengan baik-baik di sana.

Tiba-tiba dari arah depan, seorang anak yang tingginya sedagu Soso berlari dengan cepat lalu menabraknya. Soso terhuyung lalu jatuh ke samping kiri. Celakanya, di situ terdapat penjual kacang-kacangan yang menggelar dagangannya di atas nampan. Satu nampan berisi kacang pistas[3] langsung terguling bersama dengan tubuh Soso. Kacang-kacang berwarna kuning itu langsung berhamburan.

Seorang lelaki yang menunggui barang itu langsung berlari ke arah Soso, membantunya berdiri sambil mengoceh dengan bahasa hayeren. Jelaslah Soso tak mengerti. Beberapa saat kemudian, lelaki itu mungkin menyadarinya, begitu melihat seragam putih yang dipakai Soso. Ia pun kemudian menggunakan bahasa Rusia yang terpatah-patah.

"Beresi barangku, atau kutuntut kau ganti rugi, atau kulaporkan kau ke sekolahmu!" katanya.

Soso terpaksa memberesi kacang-kacang yang berhamburan itu dengan tangannya. Untung saja kacang itu mentah dan kering, tanah di bawahnya juga padat dan kering, jadi ia tak terlalu kesulitan meski di akhir ia harus memungutinya satu-persatu.

"Periksa dompet atau barang bawaanmu!" kata lelaki itu saat Soso masih memulungi kacang-kacang yang masih tersisa.

Meski bingung, Soso merogoh saku dalam pakaiannya. Rasanya ia menyimpan uang entah berapa di situ, dan ternyata masih ada. "Masih ada, Pak, kenapa?" tanya Soso.

"Anak yang tadi menabrakmu itu adalah anggota komplotan copet. Biasanya ia sengaja menabrak korbannya lalu mengambil barangnya...." jawab lelaki itu.

"Rasanya tak ada yang hilang, Pak..." kata Soso lagi.

"Uangmu lengkap?" lelaki itu bertanya lagi.

Soso mengangguk, meski tak terlalu yakin, soalnya ia juga tak tahu berapa uang yang dikantonginya, tapi setidaknya memang ada beberapa keeping uang yang tersisa di kantong pakaian dalamnya.

"Berarti kau bukan korban, hanya apes saja..." kata penjual kacang itu, "Mungkin dia sedang kabur setelah ketahuan mencopet atau mencuri sesuatu..."

Soso berdiri, "Rasanya sudah beres, Pak..." katanya.

"Kalau pembeli tahu kacang-kacang ini habis terburai ke tanah, pasti harganya akan turun..." kata lelaki itu lagi, "Belilah barang semangkuk!"

Soso garuk-garuk kepala, "Bapak tahu kan kalau saya anak sekolahan? Buat apa kacang-kacang ini, taka da keluarga saya di sini, tak bisa memasak pula..."

"Satu mangkuk saja!" lelaki itu agak membentak.

Soso rada-rada jengkel juga, tapi ia nggak mau rebut berkepanjangan, "Berapa?" tanyanya.

"Satu kopeck..."

Soso mengeluarkan uang satu kopek, meski ia tahu itu sangat mahal. Tapi sudahlah. Sebagai gantinya, ia mendapatkan semangkuk kacang mentah yang dibungkus daun kering. Ia pun berlalu sambil membawa bungkusan kacang itu, ia sendiri tak tahu buat apa kacang itu. Kalau saja sempat, bisa saja ia membawanya ke rumah Mak Imel, tapi itu cukup jauh, ia tak punya cukup waktu.

*****

Selain waktunya habis buat mulungi kacang, sudah berkeliling pun Soso tak menemukan sosok Pak Beso, yang sepintas mirip sih banyak. Waktu istirahat pun sudah nyaris habis. Soso memutuskan untuk kembali ke sekolah, dan mencobanya lagi besok, siapa tahu lebih beruntung.

Saat akan keluar dari lingkungan pasar, di ujung lorong, ia melihat anak lelaki yang tadi menabraknya sedang asyik makan roti. Diam-diam Soso mendekatinya, lalu memegangi pundaknya. Anak itu tampak kaget.

"Aku tidak mencuri uangmu!" katanya, begitu mengenali Soso, dalam bahasa Georgia yang lancar.

"Aku tahu, tapi kau habis mencuri uang orang lain kan!" kata Soso sambil memperkuat cengkraman tangannya. Jelek-jelek, dia pernah latihan gulat, jadi ada lah sedikit tenaganya.

"Siapa bilang?" tanya anak itu dengan mata mendelik.

"Aku tahu, aku melihatnya!" kata Soso, berbohong.

"Terus maumu apa? Mau melaporkanku pada polisi atau mau meminta jatah?" tanyanya dengan sedikit menantang.

Soso tertawa, lalu menggelengkan kepalanya.

"Aku mau kau membantuku..." kata Soso. "Siapa namamu?"

Anak itu menggeleng, "Aku tak mau menyebutkan namaku..."

"Bagaimana aku bisa memberimu upah kalau aku tidak tahu namamu... kata Soso lagi.

"Bantuan apa? Apa upahnya?" tanya anak itu.

"Sebutkan dulu namamu!"

"Ararat Sarafian..." jawab anak itu akhirnya.

Anak Armenia rupanya, pikir Soso. "Oke. Begini. Aku tahu kau hari-hari berada di pasar ini. Aku perlu bantuanmu mencari orang..." Soso lalu menceritakan ciri-ciri Pak Beso, termasuk namanya. "Kalau kau bisa menemukannya, kau bisa mengabariku. Pergi ke seminari itu jam istirahat, cari aku, namaku Koba Djugashvili. Kalau benar itu adalah orang yang kucari, aku akan memberimu 50 kopeck..."

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu punya uang segitu kalau bapakmu saja miskin?" tanya anak itu.

"Aku memang tak punya banyak uang, tapi aku akan memegang janjiku. Kau lihat seragamku kan?"

"Kenapa memang dengan seragammu?"

"Aku sekolah di seminari, aku takkan berbohong..." kata Soso.

Anak itu tertawa terbahak-bahak, "Kaukira aku akan percaya dengan seragammu kamu akan jujur? Bahkan yang sudah jadi pendeta saja masih banyak yang berbohong!"

"Terus?"

"Beri aku uang muka!" katanya.

Soso langsung memindahkan bungkusan kacang itu ke tangan si Ararat. "Nih uang mukanya!"

"Apaan nih?"

"Kacang. Itu harganya satu kopeck!"

Anak itu tertawa lagi, "Kaukira aku percaya juga kalau kacang ini harganya satu kopeck?"

"Aku membayarnya segitu, karena aku menumpahkannya, gara-gara kautubruk itu!"

"Duit saja!" katanya.

Soso menggeleng.

"Kau tak rugi sama sekali. Berkeliaran di sini kan pekerjaanmu, jadi apa susahnya? Kalau sampai nanti kau menemukannya dan aku tak memberimu uang yang kujanjikan, kau laporkan saja pada guru-guruku!" kata Soso.

"Ya sudah..." katanya. "Siapa namamu tadi?"

"Koba Djugashvili..." jawab Soso. "Kau ingat ciri-ciri orang yang kucari itu?"

Anak itu mengangguk.

"Besok kalau ada kesempatan, aku akan ke sini lagi mencarimu..."

"Nggak usah repot-repot. Aku memang maling, tapi aku juga bisa menepati janjiku! Aku akan mencarimu kalau ada informasi!" katanya.

"Ya sudah kalau begitu... jangan lama-lama, semakin cepat semakin baik!"

"Siapkan saja duitnya!" kata anak itu.

Soso pun segera meninggalkannya dan kembali ke sekolah.

Malam harinya, ia baru sadar kalau uang sisa yang ada di kantong pakaian dalamnya tak tersisa sekepingpun.

"Sialan!" bathin Soso.

*****

BERSAMBUNG: (66) Setan Kumat

Catatan:

[1] Bahasa Armenia

[2] Sekitar tahun 1896-an, dari sekitar 150 ribu orang penduduk Tiflis, 36 persen di antaranya adalah orang Armenia, mengalahkan jumlah orang Georgia asli yang hanya sekiat 28 persen saja.

[3] Kacang Pistachio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun