Dan benar saja, ketika salib di menara gereja sekolahnya dulu terlihat, atap bangunan itu tak terlihat ditutupi salju tebal. Lega rasanya saat ia turun dari kereta itu. Ia menengok sekolah masa kecilnya, berjalan melewatinya, lalu tak lama kemudian dia sampai di depan rumahnya. Sepi. Seperti kandang sapi yang sudah lama tak dipakai.
Soso baru sadar. Ibunya tak lagi tinggal di situ, tapi di rumahnya Pak Koba, suami barunya, ayah tirinya sekarang. Meski begitu, ia tetap membuka pintu rumahnya itu, seperti biasa, tak terkunci. Bukan saja karena tak ada maling, tapi mungkin maling juga tahu, tak ada barang berharga yang bisa diambil dari tempat itu.
Karena hari sudah gelap, Soso segera mencari pematik api dan menyalakan lampu minyak. Rumah kecil itu benar-benar seperti gudang di ladang pertanian. Banyak perabotan yang bergeletakan tak terurus. Sarang laba-laba berjuntai di mana-mana. Di pojokan tempat biasanya Mak Keke duduk menjahit, tanduk rusa yang tadi diingatnya terlihat mencuat, bagian bawahnya penuh dengan gantungan pakaian dan kain-kain tak jelas.
Soso menyingkirkan buntelan-buntelan kain yang menumpuk di tempat tidurnya. Membentangkan kain di atas kasur jeraminya, lalu membaringkan tubuh lelahnya. Pandangan matanya kemana-mana, menyusuri setiap benda berikut segala kenangan yang bisa diingatnya.
Perutnya sudah terasa lapar. Ia tahu, tak akan menemukan makanan di situ. Tapi ia malas kalau harus menyusul Mak Keke ke rumah Pak Koba saat itu.
Tiba-tiba pintu rumahnya berderit dan didorong dari luar. Soso kaget karena ia tak menduga aka nada orang yang datang.
"Siapa di dalam?" terdengar suara seorang perempuan.
"Mak!" kata Soso begitu mengenali suara itu.
Dan benar saja, suara itu tak lain dari Mak Keke, ibunya. Soso langsung bangkit dan berlari mendekatinya.
Mak Keke tentu saja kaget bercampur senang melihat anak semata wayangnya itu. "Kenapa kau ada di sini So, sejak kapan?" tanya Mak Keke yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Baru saja Mak, baru aja baringan..." jawab Soso.