Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (61) Kuliah Singkat Kapitalisme Kolektif

27 Januari 2021   18:13 Diperbarui: 28 Januari 2021   20:54 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (60) Tamu Dadakan Walikota Poti

*****

Setelah makan siang yang luar biasa --bagi Soso, karena menunya memang istimewa dan yang menjamunya tak kalah istimewanya juga, Tuan Nikoladze mengajaknya berkeliling balai kota.

Bayangkan saja kalau Emaknya, atau teman-teman sekampungnya tahu ia dijamu makan siang oleh seorang walikota. Pastilah geger mereka. Soso pun berterimakasih pada Pak Hameed yang secara tidak langsung membawanya pada nasib mujur itu.

"Kau lihat, di seberang kanal itu, nanti akan kubangun sebuah katedral yang indah..." Tuan Nikoladze menunjuk ke sebuah tanah kosong. "Kau pernah melihat Hagia Sophia?"

Soso menggeleng, "Hanya pernah mendengarnya Tuan, tapi tak tahu seperti apa..." jawabnya.

"Ya semoga kau punya kesempatan berkunjung ke Istanbul nanti. Kalaupun belum sempat, semoga kau bisa melihat katedral di situ itu nantinya. Aku menginginkan bentuknya seperti itu. Indah dan megah..." lanjut Tuan Nikoladze.

"Darimana uang untuk membangunnya, Tuan?" tanya Soso.

"Ada lah itu, sedang kuusahakan.." jawabnya. "Yang jelas, aku tak ingin Poti seperti Tiflis...."

"Maksudnya, Tuan?"

"Tiflis itu seperti Pelacur Tua, haha..." katanya sambil tertawa, "Jalannya lebar dan beraspal, tamannya indah, gedung teater megah, tapi hanya riasan semata. Sementara pasar adalah giginya yang menghitam, dan tubuhnya penuh luka, kuburan dan ladang yang hancur karena perang.[1] Masyarakatnya kehilangan jiwa, dijamah oleh orang-orang Rusia, bahkan Armenia..."

Soso melongo. Ia makin takjub dengan pemikiran lelaki yang berdiri di sampingnya itu. Tapi masih dengan sebuah pertanyaan besar. Kenapa orang yang terlihat begitu anti-Rusia itu bisa menjadi 'orang kepercayaan' Rusia di Poti!

"Bagaimana Tuan bisa mengenal Pangeran Ilia Chavchadze?" tanya Soso.

"Orang-orang Georgia yang terpelajar pasti mengenalnya. Tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran-pemikirannya banyak mengilhami gerakan nasionalisme baru Georgia. Termasuk aku...." jawabnya. "Soal nasionalisme, aku sejalan dengan pemikirannya. Tapi banyak pula hal-hal yang tidak sejalan dengannya..."

"Orang-orang menyebut mereka yang sejalan dengan pemikiran Pangeran Ilia sebagai Piverli Dasi.[2] Bahwa pertanian dan kedaulatan pangan warga Georgia itu penting. Tapi di masa depan, Georgia tak bisa hanya mengandalkan lagi dari urusan pertanian. Dunia ini berkembang dengan pesat. Pemikiran-pemikiran baru seperti kapitalisme berikut industrialisasi dan sebagainya, perlu juga dipikirkan. Tapi bukan dengan menjadi korban, melainkan menjadi pemain. Kapitalisme di Georgia saat ini hanya menguntungkan para pemodal Rusia, sementara tak ada orang Georgia yang menjadi pemodal. Itu yang harus dipikirkan!" lanjutnya.

"Saya membaca buku Marx tentang kapitalisme...." kata Soso.

"Oh ya? Apa pendapatmu?" tanya Tuan Nikoladze.

"Seingat saya dia mengkritik kapitalisme itu sebagai sebuah sistem yang melahirkan kelas-kelas baru dalam masyarakat..." jawab Soso.

"Ya..." kata Tuan Nikoladze. "Tapi kapitalisme nyaris tak bisa dihindari lagi. Karena itu, bukan kapitalismenya yang harus dihindari, tapi penguasaan modalnya..."

Soso mengikuti langkah kaki lelaki itu. Sebuah perbincangan yang menarik baginya. Mendengarkan pemikiran orang-orang yang sudah berbuat, tak hanya menggulirkan wacana. Meski mungkin tetap saja ada celah untuk didiskusikan.

"Karena itu, ketika kapitalisme tak bisa dilawan, kita harus berkompromi dengannya. Aku dan beberapa kawan seperti Giorgi Tsereteli, Petre Umikashvili, Sergei Meskhi,[3] berpikir bahwa, kapitalisme itu harus diadopsi di Georgia, dengan beberapa penyesuaian..." kata Tuan Nikoladze lagi.

"Penyesuaiannya misalnya dengan keterlibatan negara. Negara memberi modal kepada kelompok masyarakat tertentu untuk membuka usaha...katakanlah itu sebuah asosiasi..." lanjutnya.

"Apakah mungkin Rusia mau memberi modal kepada orang-orang Georgia?" tanya Soso.

"Nah itu. Karena itulah kemerdekaan Georgia menjadi sangat penting!" jawab Tuan Nikoladze.

"Berarti kita tidak bisa menerapkan kapitalisme itu sekarang dong, Tuan..." kata Soso lagi.

"Bisa. Tak perlu menunggu merdeka dulu. Apalagi usaha memerdekakan diri juga perlu biaya..." jawab Tuan Nikoladze. "Caranya dengan gerakan pengumpulan modal secara kolektif. Yang ini sangat mungkin, Rusia takkan bisa menghalangi soal itu. Tinggal kitanya saja, mau mulai bergerak atau tidak!"

Soso terpesona, sebuah pemikiran yang menarik menurutnya. "Apakah itu sudah dimulai, atau sudah ada yang memulai Tuan?" tanyanya.

Tuan Nikoladze mengangguk. "Aku sudah memulainya. Pelabuhan Poti itu nantinya akan digarap oleh orang-orang Poti sendiri. Akan kularang modal dari luar untuk mengelolanya..."

"Apa Tsar tidak keberatan?" tanya Soso lagi.

"Itulah pentingnya diplomasi..." jawab Tuan Nikoladaze. "Kalau frontal, jelas takkan bisa disetujui. Pelan-pelan saja dulu, selama kita tidak mengganggu dulu kepentingan mereka..."

Soso mengangguk-angguk.

"Yang aku sayangkan, sekarang di Tiflis, ada sekelompok anak muda yang menyebut diri mereka sebagai Mesame Dasi..." kata Tuan Nikoladaze lagi.

Soso langsung teringat pada si Lado, Silva, dan Noe Zhordania yang menjadi pendiri dan pentolan kelompok itu. "Memangnya kenapa, Tuan?"

"Semangat nasionalismenya boleh lah dipuji.. tapi cara mereka terlalu radikal. Menggusur kapitalisme dengan melawan para kapitalis Rusia itu takkan menghasilkan apa-apa selain keributan..." jawab Tuan Nikoladze, "Kasihan nanti buruhnya kalau terus-terusan diajak mogok dan melawan..."

Soso terdiam, bagian itu ia sangat setuju. Toh ia juga sudah pernah menyampaikannya pada si Lado, termasuk menulis sebuah artikel yang kemudian ditolak dimuat di Kvali oleh si Nunu.

"Senang berbincang denganmu, Koba. Sayangnya aku harus pulang. Ada hal lain yang harus dikerjakan..." Tuan Nikoladze menghentikan langkahnya di depan pintu belakang bangunan utama. "Lanjutkan apapun perjuanganmu untuk negerimu. Pemikiran atau cara hanyalah usaha, bisa bertentangan dan berbeda-beda. Selama tujuannya sama, untuk masa depan Georgia, tak ada salah. Semua orang sedang mencoba. Kalau kau menjadi penyair, teruskan membagi semangat itu lewat karyamu..."

"Justru saya yang terhormat dengan semua ini Tuan. Terimakasih untuk jamuan dan ilmunya, sangat bermanfaat bagi saya..." jawab Soso.

"Malam ini kau tenang saja, nanti Pak Didi yang akan mengurusmu, termasuk soal kepulanganmu besok..." kata Tuan Nikoladze lagi. "Oh ya, jika kau kembali ke Tiflis nanti da nada kesempatan berjumpa lagi dengan Pangeran Ilia, sampaikan salamku pada beliau..."

"Baik Tuan, begitu kembali ke Tiflis nanti, saya akan berusaha untuk langsung menemui beliau..." kata Soso.

Tuan Nikoladze menepuk-nepuk pundak Soso. "Ya sudah ya... aku pergi dulu!"

Soso mengangguk.

Lelaki itu meninggalkannya, beberapa langkah kemudian, dia berbalik lagi, "Teruslah membaca, biar cakrawala berpikirmu makin terbuka!"

Soso mengangguk lagi.

*****

Sepeninggal Walikota Poti itu, Soso langsung dihampiri Pak Didi, orang yang tadi mengizinkannya bermalam di situ. Ia memanggil Soso untuk mendekat. Wajahnya tampak berseri-seri.

"Kau beruntung sekali Koba..." katanya, "Malam ini kamu tak perlu menginap di pantri, tapi di hotel dekat stasiun. Semuanya sudah diurus oleh kepala bagian rumahtangga atas perintah Pak Walikota..."

Soso melongo, "Yang bener, Pak?"

Pak Didi mengangguk, "Aku ditugaskan untuk menemanimu, mengurus tiketmu sampai ke Gori, dan mengantarmu sampai stasiun besok. Nanti malam aku tidur di hotel bersamamu untuk menyiapkan makan malam dan lainnya...."

"Serius Pak?"

"Iya lah... secara tidak langsung, kau dianggap sebagai tamu kota..." jawabnya.

Soso cengar-cengir, "Wah, terimakasih banyak lho Pak, saya malah jadi merepotkan, padahal saya dikasih tidur di pantri atau di luar pun taka pa-apa..." katanya.

"Aku yang harus berterimakasih padamu..." katanya. "Gara-gara kamu, aku jadi kebagian rezeki juga, bisa nginep di hotel dan makan malam gratis..."

Soso tertawa.

*****

Hari itu, Soso menunggu Pak Didi selesai kerja. Pak Didi lalu mengantarnya ke hotel dekat stasiun yang akan jadi tempat nginep Soso malam itu. Pak Didi sendiri pamitan untuk pulang ke rumahnya dulu, katanya untuk minta izin pada istrinya.

Malamnya, karena dibiayai, Soso dan Pak Didi bisa makan enak, sempet jalan-jalan pula dengan kereta kuda melihat-lihat suasana kota Poti di malam hari yang seolah tak mati, terutama di sekitar pelabuhan itu.

Pak Didi memuji-muji majikannya itu. Tapi memang harus diakui, meski baru pertama kali ke Poti, kota itu tampak berbeda dari kota-kota lain yang pernah disinggahinya. Apalagi jika dibandingkan dengan Gori, jauh banget lah.

"Ah, mimpi apa aku semalem..." pikir Soso, merenungi 'nasibnya' itu. Ia menyusuri kilas balik perjalanannya ke Batumi, dari pertemuannya dengan keluarga Pak Sorokoff, Pak Hameed kusir delman baik hati dan keponakannya si Mahmoud, pertemuan 'gila' dengan Natasha, perjalanan di Laut Hitam, sampai akhirnya bertemu dan dijamu oleh seorang walikota!

Ada begitu banyak orang-orang baik di luar sana, dari yang tak dikenalnya, bahkan yang tak seiman sekalipun. Banyak pula orang-orang malang yang menderita. Konflik yang seolah tak ada sesungguhnya nyata di depan kepala, hingga orang-orang yang masih peduli dengan masa depan negerinya itu.

Sungguh sebuah petualangan yang mengesankan baginya. Ia telah belajar banyak tentang kehidupan di luar tembok seminari dan buku-buku...

*****

BERSAMBUNG: (62) Kembali ke Rumah

Catatan:

[1] Ungkapannya ini pernah ditulis Nikoladze dalam sebuah tulisan berjudul "Sebuah Pemikiran dari Atas Gunung Likhi" tahun 1871.

[2] 'Kelompok Pertama' kelompok pemikir generasi tua yang cenderung berdamai dengan Rusia, dan hanya memikirkan soal gerakan agraria.

[3] Kelompok pemikir ini kemudian dikenal dengan Meore Dasi, 'Kelompok Kedua,' yang didirikan oleh Giorgi Tsereteli tahun 1869, dimana Niko Nikoladze menjadi salah satu tokoh penting di kelompok itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun