Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kenapa Saya Menulis "Stalin"

16 Januari 2021   10:09 Diperbarui: 16 Januari 2021   10:16 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski sama-sama melompat-lompat, gambaran tentang Stalin muda menjadi lebih jelas. Dua buku lain yang cukup membantu penulisan masa kecilnya ini adalah Stalin: A Biografi karya Robert Service dan Stalin: Volume I: Paradoxes of Power 1878-1928. Berkat tiga buku ini, sosok masa kecil Stalin mulai terbayang.

Malam itu juga saya menuliskan episode keduanya, bahkan sampai ketiga. Tapi karena terlalu bersemangat, keesokan harinya saya posting lagi di Kompasiana. Lalu yang ketiga, keempat... saya menyesal sendiri. Kenapa pula saya posting tiap hari sementara prosesnya masih berjalan! Ya sudah, sekalian saja saya niatkan untuk menayangkannya tiap hari!

Balik lagi ke pertanyaan, kenapa Stalin? Jawabannya adalah, karena saya memiliki banyak sekali bahan. Jadi sama sekali bukan soal kekaguman atau mengidolakannya. Bahwa kehidupannya yang berliku, itulah yang membuat saya --sebagai penulis---jatuh hati (dengan kisahnya). Dalam arti, kisah hidupnya bener-bener menarik untuk diceritakan; penuh lika-liku, pergulatan emosi, pergeseran pandangan, kisah cinta yang kompleks, pertemanan, permusuhan, dan sebagainya, hingga pengaruhnya pada hidup kita sekarang, baik besar maupun kecil, langsung maupun tidak langsung.Jadi, suatu saat nanti, kalau bahannya sudah memadai, mungkin saya juga akan menulis tokoh-tokoh lain. 

"Kenapa Stalinnya menjadi berbeda? Apakah saya sedang berusaha membersihkan namanya?"

Tentu saja tidak. Buat apa saya membersihkan namanya? Kalaupun rasanya menjadi berbeda, saya bisa memberikan gambaran. Pertama, saya menuliskannya dalam bentuk novel dan menempatkan Stalin sebagai tokoh protagonis. Perlu diingat bahwa, tokoh protagonis tidak sama dengan tokoh baik. Hanya soal sudut pandang saja. Sebagai pembanding, banyak film Hollywood menempatkan sosok perampok (misalnya saja di film Italian Job) sebagai tokoh protagonis. Ketika dikejar-kejar polisi? Penonton ikut deg-degan takut tertangkap. Apa tidak terbalik? Ya begitulah kalau tokoh penjahatnya dibuat menjadi protagonis. Jadi bukan soal baik dan buruk (menurut norma).

Risikonya memang, menempatkan tokoh 'jahat' menjadi protagonis, akan membuatnya terlihat menjadi 'baik.' Tapi perlu diingat juga bahwa, tidak ada orang yang benar-benar jahat dan orang yang benar-benar suci tanpa dosa. Begitupun dengan Stalin di tangan saya yang kemudian terlihat (sejauh ini) menjadi 'baik' padahal saya juga sudah mulai menceritakan bagaimana 'dosa-dosanya' bahkan sebelum ia berkuasa.

Kedua, apa yang saya sajikan sampai saat ini, bukanlah Stalin yang kita kenal. Dalam arti, saya baru menceritakan fase awal dalam kehidupannya, dari anak-anak sampai remaja 17 tahunan. Fase dimana ia memang masih labil. Bahkan, nama 'Stalin' yang kita kenal pun belum pula disandangnya.

Stalin bukan nama aslinya. Ia punya banyak nama samaran dalam hidupnya. Lebih dari 30 nama. Dan nama 'Stalin' baru dipakainya tahun 1912 atau ketika dia berumur 34 tahun. Itupun tidak langsung dikenal. Sama juga kalau nanti --misalnya---saya menceritakan duet mautnya, Lenin. Lenin juga bukan nama asli atau pemberian orang tuanya. Itu nama samaran yang kemudian dipakainya, dan itu yang terkenal kemudian.

Ada seorang Kompasianer yang bertanya, "Kenapa Stalin yang seorang diktator jadi berubah citranya?" Ya itu tadi, kisah yang saya sampaikan sejauh ini, ya memang belum sampai ke situ. Mau jadi diktator bagaimana kalau kekuasaan pun belum dia pegang, masih anak sekolah, sekolah agama pula. Tapi di episode-episode akhir-akhir ini, sifat itu memang sudah mulai muncul.

Ada juga yang bertanya, "Kenapa Stalin-nya jadi lucu?" Nah ini dia. Kalau ini sebetulnya hanya soal gaya penceritaan saya saja. Saya memang sengaja menyajikannya dengan gaya slebor, bahasa campur aduk ala-ala anak 'kekinian.' Tujuannya? Ya biar seger aja. Saya membayangkan, kalau tokoh 'serius' seperti Stalin diceritakan dengan gaya serius pula. Lama-lama pembacanya akan spaneng. Jadi biarlah pembaca menyimak sesuatu yang serius dengan cara yang tidak harus serius. Mungkin ini pengaruh dari cara mengajar saja di kelas. Seserius apapun materinya, penyampaiannya tidak harus selalu serius. Kasihan mahasiswa, eh, pembacanya.

"Apakah saya mengarangnya sendiri?"

Jawabannya ya dan tidak. Saya beri alasan yang 'tidak' dulu. Semua yang saya ceritakan, latar waktu, tempat, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang ada, bukanlah karangan. Artinya, semuanya berdasarkan fakta. Setidaknya fakta dokumen, dari sumber-sumber buku yang beberapa diantaranya sudah saya sebutkan tadi, ditambah dengan dokumen-dokumen lain seperti memoar sahabat-sahabatnya, musuh-musuhnya, juga analisis-analisis lain dari ahli sejarah.

'Fakta-fakta' itu juga belum tentu kebenaran mutlak. Pada beberapa bagian, ada yang bertentangan, ada beberapa versi. Dan menurut saya itu wajar. Kalaupun saya memilih salah satunya, bukan berarti itu yang paling benar. Tapi saya memang 'dipaksa' untuk memilih untuk kepentingan rasionalisasi cerita. Beberapa fakta yang bertentangan itu misalnya, siapa ayah kandung Stalin yang sesungguhnya. Siapa yang bisa menjawab kebenarannya? Ya satu-satunya orang adalah ibunya sendiri. Stalin pun tak bisa memastikannya sampai akhir hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun