Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kenapa Saya Menulis "Stalin"

16 Januari 2021   10:09 Diperbarui: 16 Januari 2021   10:16 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima puluh episode sudah saya menyajikan kisah Joseph Stalin di Kompasiana. Setiap hari. Alhamdulillah tak pernah bolos.

Rasanya sudah saatnya saya sedikit membuka 'dapur'-nya sebelum meneruskannya kembali. Alasan pertama, untuk sekadar berbagi pengalaman. Kedua, saya mendapatkan banyak pertanyaan, saran, kritik, dan sebagainya yang perlu direspons. 

Pertanyaan paling banyak mampir, baik secara langsung maupun melalui medsos tempat saya membagikannya adalah;

"Kenapa Stalin?"

Saya suka membaca buku biografi dan sejarah. Tahun 2011, saya membeli sebuah buku berjudul Stalin: Kisah-Kisah yang Tak Terungkap karya Simon Sebag Montefiore yang merupakan terjemahan dari Stalin: The Court of Red Tsar yang terbit tahun 2003. Buku terjemahannya itu cukup tebal, 800 halaman lebih. Mengisahkan Stalin ketika dia sudah berada di tampuk kekuasaan.

Sebagai sebuah buku hasil riset penulisnya, baik dokumen maupun lapangan, membaca buku itu sangat melelahkan. Ada begitu banyak peristiwa. Ada begitu banyak tokoh. Kisah yang melompat-lompat. Ada tokoh yang diceritakan berasal dari masa lalu, kadang juga kesaksian orang di masa mendatang. Sulit memahami runtutannya. Padahal, banyak kisah yang menarik di dalamnya. Termasuk masa kecilnya.

Bagian masa kecilnya inilah yang menarik perhatian saya. Stalin yang dibayangkan sebelumnya (setelah dia berkuasa) sangat berbeda dengan masa kecilnya. Sayangnya, bagian ini tak banyak diceritakan di buku ini.

Dari situlah saya mulai tertarik untuk menyusun ceritanya menjadi runtut berdasarkan waktu dan peristiwa. Disajikan dalam bentuk apa? Novel adalah bentuk yang saya pilih.

Menuliskannya dalam bentuk novel dalam pandangan saya akan memberi banyak keuntungan. Pertama dari sisi alur yang bisa dibuat lebih mengalir sehingga memudahkan pembaca memahami peristiwa dan latarnya. Tapi ternyata hal ini menjadi tantangan yang sangat berat buat saya yang menulisnya, karena harus 'membongkar' buku itu dan menyusun peristiwanya dalam sebuah lini masa.

Hal itu baru saya sadari ketika saya menyelesaikan satu episode. Mentok, karena masa kecilnya hanya diceritakan sangat sedikit di buku itu. Naskah itu mangkrak sejak tahun 2011, satu episode lewat sedikit.

Entah kenapa, ketika saya kembali terhubung dengan Kompasiana akhir bulan November lalu --bergabung Februari 2012, menulis sampai tahun 2016 lalu tiarap lama karena personal login---saya berani-beraninya menayangkan episode pertama (tanggal 27 November 2020). Awalnya, saya masukan di kanal 'novel' tapi beberapa saat kemudian dipindahkan oleh admin ke kanal 'humaniora' dengan label 'pilihan' yang disematkan. Ya sudah, biar saja.

Ternyata responnya lumayan. Saya jadi tertantang untuk meneruskannya. Hari itu juga saya mencari sumber-sumber lain, terutama untuk mengulik bagian masa kecilnya. Akses ke sebuah perpustakaan digital yang masih saya miliki membuahkan hasil, terkumpul lebih dari 10 buku biografi Stalin, termasuk yang paling saya perlukan. Lagi-lagi ditulis oleh Montefiore, judulnya The Young Stalin.

Meski sama-sama melompat-lompat, gambaran tentang Stalin muda menjadi lebih jelas. Dua buku lain yang cukup membantu penulisan masa kecilnya ini adalah Stalin: A Biografi karya Robert Service dan Stalin: Volume I: Paradoxes of Power 1878-1928. Berkat tiga buku ini, sosok masa kecil Stalin mulai terbayang.

Malam itu juga saya menuliskan episode keduanya, bahkan sampai ketiga. Tapi karena terlalu bersemangat, keesokan harinya saya posting lagi di Kompasiana. Lalu yang ketiga, keempat... saya menyesal sendiri. Kenapa pula saya posting tiap hari sementara prosesnya masih berjalan! Ya sudah, sekalian saja saya niatkan untuk menayangkannya tiap hari!

Balik lagi ke pertanyaan, kenapa Stalin? Jawabannya adalah, karena saya memiliki banyak sekali bahan. Jadi sama sekali bukan soal kekaguman atau mengidolakannya. Bahwa kehidupannya yang berliku, itulah yang membuat saya --sebagai penulis---jatuh hati (dengan kisahnya). Dalam arti, kisah hidupnya bener-bener menarik untuk diceritakan; penuh lika-liku, pergulatan emosi, pergeseran pandangan, kisah cinta yang kompleks, pertemanan, permusuhan, dan sebagainya, hingga pengaruhnya pada hidup kita sekarang, baik besar maupun kecil, langsung maupun tidak langsung.Jadi, suatu saat nanti, kalau bahannya sudah memadai, mungkin saya juga akan menulis tokoh-tokoh lain. 

"Kenapa Stalinnya menjadi berbeda? Apakah saya sedang berusaha membersihkan namanya?"

Tentu saja tidak. Buat apa saya membersihkan namanya? Kalaupun rasanya menjadi berbeda, saya bisa memberikan gambaran. Pertama, saya menuliskannya dalam bentuk novel dan menempatkan Stalin sebagai tokoh protagonis. Perlu diingat bahwa, tokoh protagonis tidak sama dengan tokoh baik. Hanya soal sudut pandang saja. Sebagai pembanding, banyak film Hollywood menempatkan sosok perampok (misalnya saja di film Italian Job) sebagai tokoh protagonis. Ketika dikejar-kejar polisi? Penonton ikut deg-degan takut tertangkap. Apa tidak terbalik? Ya begitulah kalau tokoh penjahatnya dibuat menjadi protagonis. Jadi bukan soal baik dan buruk (menurut norma).

Risikonya memang, menempatkan tokoh 'jahat' menjadi protagonis, akan membuatnya terlihat menjadi 'baik.' Tapi perlu diingat juga bahwa, tidak ada orang yang benar-benar jahat dan orang yang benar-benar suci tanpa dosa. Begitupun dengan Stalin di tangan saya yang kemudian terlihat (sejauh ini) menjadi 'baik' padahal saya juga sudah mulai menceritakan bagaimana 'dosa-dosanya' bahkan sebelum ia berkuasa.

Kedua, apa yang saya sajikan sampai saat ini, bukanlah Stalin yang kita kenal. Dalam arti, saya baru menceritakan fase awal dalam kehidupannya, dari anak-anak sampai remaja 17 tahunan. Fase dimana ia memang masih labil. Bahkan, nama 'Stalin' yang kita kenal pun belum pula disandangnya.

Stalin bukan nama aslinya. Ia punya banyak nama samaran dalam hidupnya. Lebih dari 30 nama. Dan nama 'Stalin' baru dipakainya tahun 1912 atau ketika dia berumur 34 tahun. Itupun tidak langsung dikenal. Sama juga kalau nanti --misalnya---saya menceritakan duet mautnya, Lenin. Lenin juga bukan nama asli atau pemberian orang tuanya. Itu nama samaran yang kemudian dipakainya, dan itu yang terkenal kemudian.

Ada seorang Kompasianer yang bertanya, "Kenapa Stalin yang seorang diktator jadi berubah citranya?" Ya itu tadi, kisah yang saya sampaikan sejauh ini, ya memang belum sampai ke situ. Mau jadi diktator bagaimana kalau kekuasaan pun belum dia pegang, masih anak sekolah, sekolah agama pula. Tapi di episode-episode akhir-akhir ini, sifat itu memang sudah mulai muncul.

Ada juga yang bertanya, "Kenapa Stalin-nya jadi lucu?" Nah ini dia. Kalau ini sebetulnya hanya soal gaya penceritaan saya saja. Saya memang sengaja menyajikannya dengan gaya slebor, bahasa campur aduk ala-ala anak 'kekinian.' Tujuannya? Ya biar seger aja. Saya membayangkan, kalau tokoh 'serius' seperti Stalin diceritakan dengan gaya serius pula. Lama-lama pembacanya akan spaneng. Jadi biarlah pembaca menyimak sesuatu yang serius dengan cara yang tidak harus serius. Mungkin ini pengaruh dari cara mengajar saja di kelas. Seserius apapun materinya, penyampaiannya tidak harus selalu serius. Kasihan mahasiswa, eh, pembacanya.

"Apakah saya mengarangnya sendiri?"

Jawabannya ya dan tidak. Saya beri alasan yang 'tidak' dulu. Semua yang saya ceritakan, latar waktu, tempat, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang ada, bukanlah karangan. Artinya, semuanya berdasarkan fakta. Setidaknya fakta dokumen, dari sumber-sumber buku yang beberapa diantaranya sudah saya sebutkan tadi, ditambah dengan dokumen-dokumen lain seperti memoar sahabat-sahabatnya, musuh-musuhnya, juga analisis-analisis lain dari ahli sejarah.

'Fakta-fakta' itu juga belum tentu kebenaran mutlak. Pada beberapa bagian, ada yang bertentangan, ada beberapa versi. Dan menurut saya itu wajar. Kalaupun saya memilih salah satunya, bukan berarti itu yang paling benar. Tapi saya memang 'dipaksa' untuk memilih untuk kepentingan rasionalisasi cerita. Beberapa fakta yang bertentangan itu misalnya, siapa ayah kandung Stalin yang sesungguhnya. Siapa yang bisa menjawab kebenarannya? Ya satu-satunya orang adalah ibunya sendiri. Stalin pun tak bisa memastikannya sampai akhir hidupnya.

Atau fakta lain yang lebih sederhana, tanggal lahirnya. Penelusuran Montefiore tentang tanggal kelahiran Stalin, berbeda dengan pengakuan Stalin sendiri. Mana yang benar? Wallahualam. Mungkin Montefiore benar karena dia melakukan riset yang sangat serius. Tapi Stalin --meski takkan ingat kapan ia dilahirkan---pasti punya alasan sendiri menyebut tanggal yang disebutkan dan ditulis secara resmi dalam catatan sejarah itu. Dan untuk ini, saya merujuk pada pengakuan Stalin, lepas dari benar atau tidaknya.

Lalu kenapa saya jawab 'iya' soal 'karangan' tadi. Karena saya 'menerjemahkan' buku biografi yang hanya berisi 'fakta' itu ke dalam bentuk novel. Saya merekonstruksi peristiwa dalam bentuk penceritaan, ada adegan, ada dialog, percakapan, dan sebagainya. Tentu saja dua hal itu adalah 'karangan' saya. Lihat saja novel atau film yang diangkat dari peristiwa nyata. Yang nyata adalah peristiwanya, novel atau filmnya tentu saja hanya 'karangan' atau hasil rekonstruksi. Beda dengan film dokumenter murni, karena ada juga film dokumenter hasil rekonstruksi yang biasa disebut dengan dokudrama.

Karena itulah, saya menyebutnya sebagai 'BIOSTORY' yang kalau diterjemahkan kira-kira berarti 'cerita kehidupan.' Bukan novel (fiksi murni) dan juga bukan biografi. Kenapa? Karena ada fase-fase tertentu yang memang harus saya isi dengan imajinasi saya sendiri, ketika fakta atau data tidak tersedia. Tapi jika dihilangkan, akan mengganggu jalannya penceritaan. Kalau soal istilah tadi, terserah lah. Itu gaya-gayaan saya saja untuk menyebutnya. Mau diterima dan dipakai umum ya silakan, nggak juga ya nggak apa-apa.

Pertanyaan terakhir yang akan dijawab sekarang adalah:

"Sampai kapan ceritanya, apa mau sampai akhir hidupnya?"

Nah untuk ini, jujur saya tidak tahu. Bagian paling menarik dari kisah hidup Stalin menurut saya justru sebelum dia berkuasa, karena tidak banyak orang yang tahu. Setelah berkuasa, sudah banyak dibahas dan diceritakan, baik dalam buku-buku sejarah maupun yang lainnya.

Dalam bayangan saya, yang paling dekat adalah sampai dia memproklamirkan diri sebagai 'STALIN.' Tapi harusnya saya memberi judul 'The Rise of Stalin" kalau begitu. Entahlah. Untuk sampai ke sana pun masih sangat jauh. Masih banyak peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sebelum itu. Termasuk juga peristiwa-peristiwa 'remeh' yang justru menjadi penting untuk menggambarkan sosoknya secara utuh. Misalnya saja buku-buku yang dia baca, bagian mana yang menarik perhatiannya, bagian mana yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan tindakannya. Atau juga tokoh-tokoh yang tidak selalu hadir dalam kehidupannya, tapi pada suatu ketika berperan penting dalam sebuah peristiwa besar.

Sejauh ini saja (50 episode), catatan statistik MS Word yang saya pake sudah menunjukkan 223 halaman A4 satu spasi, atau lebih dari 88 ribu kata. Ini sudah menjadi rekor dalam tulisan-tulisan saya, sementara dongengnya masih sangat jauh.

Tapi, ya saya nikmati saja prosesnya. Apakah saya bisa menayangkannya setiap hari tanpa jeda seperti selama ini atau tidak, itu juga bukan hal yang penting. Saya hanya sedang menantang diri saya sendiri untuk membuat sebuah tulisan yang tidak berupa fiksi murni, tapi juga bukan karya ilmiah. Ini adalah perkerjaan memadukan antara riset dengan imajinasi, sesuatu yang mengasyikan buat saya.

Imbalannya apa? Soal hasilnya nanti mau jadi apa, berapa episode, apa mau dibukukan atau tidak, itu urusan nanti. Dengan diberi ruang oleh Kompasiana (kadang diberi label 'pilihan' kadang tidak) itu juga sudah bagus. Karena di awal saya juga sempat berpikir, apakah menulis tokoh kontroversial seperti Stalin ini akan diloloskan oleh Kompasiana atau tidak. Buktinya, sejauh ini aman-aman saja. Toh saja juga melakukan self censorship, mana yang kira-kira layak dan tidak untuk diceritakan.

Imbalan lain yang juga lebih dari cukup adalah pembaca. Grafik pembacanya memang tidak tinggi seperti kalau saya menulis hal-hal yang ringan. Tapi cukup stabil. Episode-episode baru memang tak selalu banyak, tapi  angkanya terus naik dari hari ke hari. Episode 1 saja, awalnya hanya puluhan, tapi saat saya menulis ini, sudah bergerak melebihi angka 500 (menurut statistik yang tampil di Kompasiana). Apakah semuanya pembaca serius ada sekadar mampir, salah klik, atau apalah, itu juga bukan soal. Tapi beberapa mengakui kalau mengikutinya meski tak bisa membacanya tiap hari, masih nyicil di episode-episode awal.

Kepada para pembaca inilah saya harus berterimakasih. Dan tentu saja kepada Kompasiana yang sudah berbaik hati menyediakan saluran dan mengizinkannya untuk tetap tayang. Seperti kata ungkapan, que sera sera, apa yang akan terjadi, terjadilah. Saya hanya berusaha menyajikannya, pembaca tetap punya hak untuk menentukan apakah mau membacanya atau tidak.

Terakhir, kalau Anda memang membaca dan mengikutinya, anggaplah Anda sedang membaca sebuah novel, bukan buku sejarah. Saya hanya menyajikan cerita --yang meski berlatar sejarah-- tapi sama sekali tak bertujuan untuk mengubah sejarah itu sendiri. Biarlah sejarah saya sendiri yang berubah, pernah menulis sepanjang ini dalam hidup saya, dan masih ingin terus menuliskannya selama saya masih mampu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun