Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (45) Menabur Benih
*****
Diskusi sastra yang mendatangkan Pangeran Ilia Chavchavadze dari Iveria berlangsung hanya lima hari dari ide awal dicetuskan. Pangeran baik hati dan tidak sombong itu menyambut baik gagasan Soso. Ia bahkan menawarkan tempat, di kantor Iveria. Tapi Soso menolaknya. Alasannya, terlalu jauh dari sekolah. Padahal, ia memang punya tujuan lain untuk meramaikan toko bukunya Pak Yedid itu.
Untungnya juga si Vaso berhasil mengumpulkan cukup pasukan. Total ada 18 anak yang ikut, semuanya anak-anak angkatan pertama. Diskusinya berjalan seru, Pangeran Ilia tak Cuma 'ceramah' karena banyak anak-anak yang bertanya.
"Melihat anak-anak Georgia tertarik dengan sastranya sendiri seperti ini, rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan di masa depan...." kata Pangeran Ilia saat Soso mengantarnya ke kereta kuda yang akan membawanya kembali ke Iveria setelah diskusi usai. "Terimakasih, So.. jangan ragu mengajakku diskusi lagi lain kali. Bila perlu, nanti kupanggilkan sastrawan-sastrawan lain yang kukenal untuk bicara..."
Soso mengangguk, "Terimakasih Pangeran..."
Sepeninggal Pangeran Ilia, Soso kembali menemui anak-anak peserta diskusi yang masih berkumpul.
"Apa yang bisa kita diskusikan lagi nanti?" tanyanya.
"Mungkin saatnya melirik sastra yang lain, buat perbandingan!" kata si Vaso yang memang paling bersemangat.
"Oke, kalau begitu..." kata Soso. "Bagaimana kalau sastra Rusia? Kalian kan tak akan terlalu sulit memahami bahasanya!"
"Siap..." kata si Vaso lagi.
"Ya sudah..." kata Soso. "Masih ada kurang lebih setengah jam sebelum jam istirahat habis. Di sini tersedia banyak sekali sastra Rusia. Jangan puisi lagi lah. Langsung aja novel biar diskusinya lebih seru!"
"Tapi bagaimana membacanya kalau novel, waktu kita kan tidak banyak..." tanya seorang anak.
"Membaca sebuah novel di sela-sela jam belajar, atau waktu istirahat, tak akan membuat kalian bodoh atau tertinggal..." kata Soso. "Aku saja tahun kemarin banyak membaca novel dan buku-buku lain. Tak ada masalah tuh, nilaiku baik-baik saja. Semester pertama nomor delapan seangkatan..." ia mulai menyombong.
"Yang susah itu bawa bukunya Kak, sekarang kan makin ketat..." kata satu anak yang lain.
"Begini saja..." kata Soso lagi. "Kalian pilih bukunya. Beli, atau pinjam dulu kalau nggak punya atau nggak bawa duit. Kumpulkan. Aku nanti yang akan membawanya ke dalam asrama. Jam sarapan pagi, aku akan membagikan buku-buku itu kepada kalian. Yang bukunya beli, boleh dikasih nama. Tapi yang pinjam, ingat-ingat saja, dan jaga jangan sampai rusak. Kalau rusak ya harus diganti..."
"Diskusinya nggak buru-buru kan?" tanya seorang anak yang lain.
Soso menggeleng, "Minggu depan lah. Aku tahu kalian perlu waktu untuk membacanya...."
Anak-anak itu mulai melihat-lihat koleksi buku di toko Pak Yedid. Beberapa ada yang bertanya, apakah Soso sudah membaca buku itu atau belum, apakah buku itu direkomendasikan Soso atau tidak. Mereka lalu menumpuknya.
Lumayan, kata Pak Yedid, ada tujuh orang yang membelinya. Dua berjanji akan membayarnya nanti, sisanya meminjam dulu. Tapi jumlahnya hanya tujuh belas. Satu anak tidak membeli dan tidak juga meminjam. Entah siapa. Soso tak terlalu peduli.
Anak-anak itu bubar, kembali ke sekolah.
Malam harinya, Soso yang memang kebagian jatah rembes, keluar dari asrama dan mengambil buku-buku itu. Dan seperti yang dijanjikannya, pada waktu sarapan pagi, ia membagikan buku-buku itu yang langsung disembunyikan anak-anak itu di balik pakaiannya dan dibawa ke kamar masing-masing.
"Ada satu yang tidak mengambil buku, kau tahu siapa?" tanya Soso pada si Vaso yang menemaninya sarapan sampai habis.
"Dada Valakisidze..." jawab si Vaso. "Anak itu berkali-kali bilang tak suka datang ke tempat itu. Tapi dia tetap datang karena tertarik untuk mengikuti diskusi, tapi dia nggak mau pinjam apalagi beli buku. Dia bilang itu cuma akal-akalan agar buku di toko itu laku!"
Soso tersenyum, "Yang anaknya tinggi kurus itu?" tanya Soso.
Vaso mengangguk. "Iya, anak itu..."
"Ya sudah biarin aja. Nggak ada ruginya buat kita..." kata Soso.
"Aman nggak nyimpen buku di kamar?" tanya si Vaso lagi, "Soalnya kan Inspektur Dmitri rajin banget razianya..."
"Bilang sama temen-temenmu, sebelum malam, simpan buku di belakang WC pojok timur. Di situ ada peti, di bawah tumpukan daun-daun. Bila perlu bacanya di sana saja. Emang rada-rada nggak nyaman, bau. Tapi aman..." kata Soso. "Kalau kepepet, lembarkan bukunya ke balik tembok. Kalian bisa mengambilnya nanti. Tenang aja, di balik tembok itu kan kebon. Asal jangan hujan saja!"
Vaso mengangguk-angguk. "Siap Bos... ya sudah, aku balik ke kamar dulu ya!" katanya.
Soso mengangguk. Ia tenang, seminggu ini ia bisa mengurusi hal lainnya dulu. Mungkin mampir ke tempatnya si Lado, diskusi dengan Gege Imedashvili, atau yang lainnya.
*****
Tapi malam harinya ada kejadian yang menggegerkan di asrama. Seorang anak yang kemarin ikut diskusi di tempat Pak Yedid, ketahuan sedang membaca bukunya di dalam kamar. Yang mergokin nggak tanggung-tanggung, Mister Black Spot sendiri. Anak itu dihajar pake tongkat, mencoba menghindar, dan tongkat itu mendarat di matanya.
Mata kiri anak itu mengeluarkan banyak darah. Jeritannya yang memilukan terdengar ke seantero asrama yang sudah mulai sunyi. Kontan anak-anak berhamburan keluar dan mendekati sumber suara. Termasuk Soso.
Setelah mengetahui duduk perkaranya, Soso bener-bener tak bisa terima dengan perlakuan itu. Apalagi Mister Black Spot bukannya menolong, tapi malah sibuk membubarkan anak-anak yang berkerumun.
Soso menyeruak maju mendekat. Ia memeriksa anak yang belum ia kenal namanya itu. Mister Black Spot mendorongnya dengan kasar.
Soso berdiri berhadapan, agak sedikit menantang. "Dengan segala hormat Romo. Tolong tangani dulu anak ini, sebelum matanya menjadi buta!"
"Bukan urusanmu, mundur!" bentak Mister Black Spot sambil mengangkat tongkatnya.
Soso tak gentar. "Silakan hukum saya nanti, tapi tolong dulu anak ini..." kata Soso.
"Betul Romo, hukum saya juga, tapi bantu dulu teman saya ini!" sebuah suara datang dari belakang Soso. Suara si Vaso yang rupanya teman sekamar anak itu.
Tongkat kayu Mister Black Spot melayang dua kali. Satu kali menghajar kepala Soso, satu lagi menghantam pundak si Vaso.
Saat hantaman berikutnya nyaris melayang, datang lagi sebuah suara. "Tolong tahan, Romo Dmitri...." Suara itu datang dari belakang Mister Black Spot. Satu sosok menyeruak dari kerumunan anak-anak. Soso segera mengenalinya, Romo Nikolai Makhatadze. Guru sejarah yang baru, orang Georgia kedua di asrama itu selain Mister Black Spot. "Mari tangani dulu anak ini!" katanya.
Mister Black Spot tampaknya sedikit jengkel, tapi masak iya dia ikut menghajar koleganya.
"Kalian berdua, tunggu di ruang guru!" kata Romo Niko pada Soso dan Vaso. Ia kemudian melirik yang lain, "Yang lain bubar. Kembali ke kamar masing-masing!"
Anak-anak bubar dengan bisikan-bisikan yang berdengung seperti suara lebah. Kalau saja situasi 'normal,' mungkin Mister Black Spot akan kembali mengamuk.
Setelah anak-anak bubar, anak yang terluka itu dibawa dua orang pengawas lain. Vaso melirik Soso, "Gimana nih So?" tanyanya.
"Kita ke ruang guru!" jawabnya.
*****
Dari si Vaso, Soso kemudian tahu nama anak itu, Jacob Iudashvili.
"Nasib kita gimana nih So?" tanya Vaso dengan berbisik di ruangan guru yang sepi itu. Hanya mereka berdua, belum ada yang mendatanginya.
"Siap-siap masuk sel, Tembok Derita..." jawab Soso, "Mungkin semalam dua malam. Tenang saja, di sana cuma garing, tapi nggak bakalan diapa-apain. Aku sudah pernah, dua malam..."
Wajah Vaso terlihat agak kecut, mungkin membayangkan hal itu, membayangkan hal-hal seram yang pernah didengarnya tentang Tembok Derita.
"Lagian kamu ngapain pake maju tadi..." kata Soso.
"Kasian lah So, dia temen sekampungku...." jawab Vaso. "Lagian kan dia kan ketangkep lagi baca buku yang mau kita diskusikan itu..."
Soso menepuk-nepuk pundak anak itu, "Hukuman yang akan kita terima, tidak akan pernah sebanding dengan penderitaan si Juda. Apalagi kalau anak itu sampai buta. Kamu sudah menunjukkan arti solidaritas Georgia yang sesungguhnya!"
Obrolan mereka harus berhenti, Romo Niko datang bersama dua orang pengawas, tapi pengawas itu tak masuk ke dalam ruangan.
"Saya tidak bisa membantu kalian..." kata Romo Niko setelah duduk di depan Soso dan Vaso. "Malam ini kalian pindah ke sel. Itu hukuman karena membantah. Tapi jujur, saya memuji keberanian kalian. Kalau saya jadi kalian, saya juga akan maju. Menyelamatkan teman adalah hal terpuji. Tapi aturan tetap aturan, tak bisa ditawar..."
Soso mengangguk, "Terimakasih Romo. Maaf kalau saya lancang, bagaimana dengan kawan kami tadi?" Â
Romo Nikolai melirik ke arah dua pengawas yang berada di luar, lalu melirik mereka lagi, "Agak parah, berdarah terus. Mudah-mudahan saja bukan bola matanya yang pecah..." katanya dengan suara pelan. "Romo Dmitri memang agak keterlaluan. Sekarang dia dipanggil rektor. Tapi temenmu itu sudah dibawa ke dokter, mudah-mudahan saja tidak parah!"
"Tolong jangan cari masalah lagi dengan Romo Dmitri. Saya nggak bisa bantu lagi. Dia kelihatannya agak jengkel pada saya..." kata Romo Nikolai lagi. "Sudah, sana temui pengawas..."
"Maaf Romo, berapa lama hukuman saya?" tanya Vaso.
"Sementara dua malam, tapi mungkin nanti ada peninjauan lagi!"
Soso dan Vaso tak berkata apa-apa lagi. Mereka segera keluar dari ruangan dan langsung diantar dua pengawas itu. Tujuannya; Tembok Derita; sel kecil pengap dan gelap yang pernah dihuni Soso dulu, waktu awal-awal masuk, saat berkelahi dengan si Sesa di Golovsky.
*****
Ternyata, peninjauan hukuman itu tak pernah ada. Soso menghabiskan dua malam di Tembok Derita. Saat dikeluarkan, pagi-pagi sebelum jam sarapan, Soso sudah langsung berhadapan dengan Mister Black Spot.
"Kau. Awas ya!" katanya dengan mata mendelik.
Soso diam. "Ngancem dia, gawat nih..." bathin Soso.
*****
BERSAMBUNG: (47) Soal Buruh dan Pendatang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H