Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Film dan Drama Korea, Pilihannya adalah...

8 Januari 2021   15:42 Diperbarui: 8 Januari 2021   15:48 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menurut saya, hampir semua orang Indonesia pasti punya pendapat soal drama Korea, tapi tidak semua bisa menceritakan isinya. Premis pertama lahir dari kenyataan bahwa, sudah banyak drama Korea yang ditayangkan di televisi nasional. Ini didukung dengan fakta bahwa, nyaris setiap rumah tangga setidaknya memiliki sebuah pesawat televisi. 

Kalaupun tidak, tak sulit lagi untuk mengakses media hiburan rakyat ini, tinggal mampir ke rumah tetangga atau nonton di pos ronda. Premis kedua, karena memang tidak semua orang yang 'tahu' drama Korea akan menontonnya.

Saya masuk dalam kedua kriteria di atas. Tahu drama Korea, tapi tidak bisa menceritakan isinya. Lah, mau menceritakan isinya gimana kalau saya tak pernah dengan sengaja menontonnya! 

Sebetulnya, saya punya banyak kesempatan untuk menonton drama Korea, tapi tak pernah mengambil kesempatan itu. Selain siaran TV lokal/nasional, di rumah juga berlangganan saluran TV berbayar. Dan kebetulan, penyedia layanan yang sekarang --setelah tiga kali berganti---menyajikan hampir semua jenis tayangan, dari tayangan anak, olahraga, film, musik, fesyen, berita, dokumentasi, agama, dll.

Tayangan dari Korea, berlimpah. Dari berita, reality show berbagai tema, saluran musik (K-Pop), saluran khusus film box office Korea, dan tentu saja drama Korea tak ketinggalan. 

Dari semua itu, lima penghuni rumah, saya, istri, dua putri dan si bungsu (cowok) punya acara dan saluran favorit masing-masing. Si bungsu yang baru enam tahun gemar menonton animasi produksi Korea yang khas, karakter lucu, nyaris tanpa dialog, dan durasi pendek.

Dua kakaknya yang cewek, menjadi penguasa remote TV. Apalagi seharian di rumah karena sekolah 'libur' alias PJJ. Dua gadis cilik itu nyaris seharian mantengin saluran K-Pop, sampai apal lagu dan penyanyinya. 

Saya, yang akhir-akhir ini juga lebih sering di rumah, sesekali menonton film Korea. Film ya, bukan drama. Saya memang penyuka film meski bukan movieholic, Indonesia, Hollywood, Mandarin, dan film-film berbahasa non-Inggris dari sebuah channel yang menyajikan film dari berbagai pelosok dunia, sesekali Bollywood alias film India, dan belakangan ya film Korea.

Dari sisi tema, sejauh yang saya amati, film Korea masih kurang variatif. Tema-tema yang paling banyak saya temui adalah dunia spionase (biasa, antara Korsel-Korut), kriminalitas (mafia, polisi, pengacara atau jaksa), kisah cinta (ini mah umum lah), Korea zaman klasik (yang menurut saya masih kalah dengan film Mandarin dari berbagai sisi), dan, nah ini, entah kenapa sineas Korea gemar membuat film dengan tema zombie! Sudah banyak film Korea yang saya tonton menyajikan tema ini. Salah satunya yang paling melekat adalah Train To Busan.

Meski begitu, dari sisi cerita, film Korea punya banyak kelebihan. Kelebihan pertama, menurut saya adalah alur cerita yang naik turun, hingga kadang-kadang menganggap cerita akan usai, ternyata belum. 

Saya menganggap itu adegan klimaks, ternyata bukan, turun dulu, konflik baru, baru naik lagi untuk mencapai klimaks yang sesungguhnya. Ini bukan model alur 'normal' model Walter Loban; eksposisi, komplikasi dan konflik, klimaks, revelasi, denoument (ending).  Model Loban ini yang paling banyak dipakai oleh Hollywood.

Cara membangun konflik cerita dalam film Korea juga menarik. Mereka tidak menumpuk konflik, tapi menyebarkannya, bisa ditemukan dari awal bahkan hingga nyaris ujung cerita! 

Dengan begitu, konflik terakumulasi menjadi komplikasi; ruwet. Bagian menarik lainnya adalah ending. Jika pengolahan konflik saja begitu rumit dan komplikatif, sudah jelas, endingnya akan sulit ditebak.

Soal ending, film-film Holliwood, Bollywood, Mandarin, hingga film Indonesia, nyaris bisa dikatakan mudah ditebak. Hollywood yang paling mudah, kebanyakan pasti happy ending. 

Hanya pengemasan saja yang membuat kita betah menonton film Hollywood sehingga kita masih menonton filmnya sampai akhir, meski ending sudah bisa ditebak dari awal. 

Beberapa bahkan sudah bisa ditebak sebelum film dimulai! Mau apa lagi, itu memang standarisasi film Hollywood. Kalaupun ada ending yang digantung, tak lebih dari strategi agar menonton sequel-nya. Intinya, pasti 'memuaskan' penonton.

Film-film Eropa --terutama Italia dan Perancis yang sering saya tonton---selama ini dikenal dengan ending yang tak bisa ditebak. Tapi, ending-nya seringkali membuat penonton jengkel; menggantung, kadang nggak jelas. "Lho kok... lho kok..." iya kan? Makanya, banyak yang tak suka nonton film-film Eropa model begini, ujungnya pasti misuh-misuh.

Tapi film Korea, meski ending-nya susah ditebak, mereka tak pernah mengecewakan penontonnya. Ini yang saya sebut kelebihannya. Film dengan tema apapun, selalu berhasil mengikat penonton untuk menyelesaikannya sampai akhir. 

Saya pernah menonton film Korea dengan tema hubungan anak dengan ibunya yang sakit demensia (entah kenapa, penyakit ini juga menjadi favorit para sineas Korea, berbeda dengan sineas Indonesia yang hobi menempatkan amnesia sebagai penyakit favorit). Cerita film ini sederhana, tapi saya tak berhasil meninggalkannya meski ada hal yang harus dikerjakan!

Lalu bagaimana dengan drama Korea? Jujur saja, untuk ini, saya tak pernah benar-benar menontonnya. Itu jatahnya istri saya selepas Magrib. Ia menonton begitu banyak judul. 

Tapi dari pengamatan saya --sambil rada-rada jengkel karena tak bisa menonton acara lain, setidaknya sampai jam sembilan malam---temanya tak jauh-jauh dari tema yang saya sebutkan dalam film-filmnya.

Kalau dalam film India tokoh polisi selalu nongol, dalam film dan drama Korea, tokoh pengacara atau jaksa nyaris tak pernah absen, kecuali bertema Korea klasik. Konflik, saya yakin, rumusannya sama, apalagi dalam drama seri, mereka punya ruang yang lebih luas untuk mengolah konflik. Ending? Untuk ini, saya nggak tau, karena belum ada satupun drakor yang saya tonton sampai tuntas.

Dari sekian banyak drakor yang ditonton istri saya, ada dua yang menarik perhatian saya. Yang satu judulnya Hwarang dengan latar Korea klasik. Dua anak saya yang cewek ikutan nonton. 

Gara-garanya, konon anggota band K-Pop paling kondang, BTS, pada ambil bagian! Tapi segera saya tinggalkan, gara-garanya, kok saya merasa bukan seperti drama, tapi fashion show dengan model cowok-cewek kinclong yang bersliweran!

Yang kedua, judulnya Penthouse. Nggak usah tanya nama pemeran dan tokoh yang diperankannya, saya nggak tahu. Apanya yang menarik buat saya? Karena istri saya paling serius mengikuti yang satu ini, dibandingkan yang lainnya. Saya pun menontonnya sekilas, untuk menjawab rasa penasaran itu.

Hasilnya? Saya pusing sendiri. Kok kayak sinetron Indonesia zaman dulu (sekarang juga masih sih) yang menghadirkan mimpi hidup dalam kekayaan. Penokohannya hitam-putih, yang jahat jahat banget, yang baik baik banget, yang menderita menderita banget. Belum lagi adegan 'ngomong sendiri' yang menurut saya sangat mengganggu.

Ya sudah, saya tanya saja sama yang menonton, apa menariknya sinetron, eh, drama Korea yang itu. "Asyik tau Yah, ceritanya soal suami yang kejamnya minta ampun sama perempuan-perempuan yang teraniaya..." jawab istri saya. Saya melongo. Lah kok kayak sinetron Indonesia yang cerita soal istri-istri teraniaya? Jangan-jangan soundtrack-nya juga senada, "Kumenangis... membayangkan betapa kejamnya dirimu..." Cuma dalam versi Korea? Entahlah. Saya ajukan pertanyaan terakhir, "Terus apa bedanya dengan sinetron Indonesia?" dan jawabannya adalah; "Beda lah, di sini kan cowoknya ganteng-ganteng!"

Nah lho! Sudahlah, saya biarkan saja istri saya menontonnya. Kalau protes, nanti malah dianggap suami yang kejam! Saya cuma bersimpati pada para pemain sinetron kita, terutama yang cowok, yang sudah dianggap tak lagi ganteng. Jangan-jangan karena itu kemudian menjadi suami yang kejam, halah....   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun