Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (40) Gazhonva

5 Januari 2021   09:07 Diperbarui: 6 Januari 2021   11:32 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (39) Mister Black Spot

*****

Soso kapok bolos dari kelas untuk membaca buku. Gara-gara kejadian mau ke kamar kepergok Mister Black Spot terus terpaksa minum obat si Said. Kirain obat bengeknya, taunya itu salep yang dikeringkan untuk mengobati borok di kaki si Said. Pantesan Soso langsung puyeng dan mules-mules. Anak-anak Kamar Terkutuk juga mengurangi bolos karena ketatnya patrol Inspektur Dmitri yang pongah karena baru naik jabatan itu.

Sebagai gantinya, mereka makin sering ke luar asrama melalui pintu rahasia dari WC sebelah itu. Anak-anak menyebutnya gazhonva yang berarti bocor, alias rembes bin menyelinap keluar lewat celah kecil. Waktunya tak bisa lagi siang. Tapi malam, setelah lewat jam sepuluh ketika semua lampu, termasuk di Kamar Terkutuk dimatikan total.

Karena berbahaya, rembes pun terpaksa dijatah. Paling banyak dua orang yang boleh keluar. Sisanya harus berada di kamar untuk berjaga. Tapi risiko ketahuan tetap ditanggung oleh masing-masing.

Untuk pertama kalinya selama di asrama, Soso melakukan rembes. Kali itu bersama si Said. Soso yang minta ditemani, agar Said mau menunjukkan toko buku yang dikatakannya lengkap itu, toko buku yang menjadi langganan anak-anak meminjam buku-buku 'aneh' yang tak ada --karena dilarang---di perpustakaan sekolah, juga tak ditemukan di toko bukunya Pak Yedid.

"Memang masih buka, Id?" tanya Soso ketika mereka sudah berjalan menjauhi bagian belakang asrama yang gelap gulita.

"Masih, tenang aja..." jawab Said.

Tak lama mereka sampai ke tempat yang agak terang, kemudian jalanan yang sepi. Di belakang markas tentara, mereka masuk ke dalam gang kecil, rumah-rumah yang berhimpitan, sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang lumayan terang dan ramai.

Banyak orang yang duduk-duduk di luar yang diberi lampu penerang. Meja-meja bulat, kursi, dan minuman bahkan makanan kecil. "Rame juga ya Id..." kata Soso, "Kayak bar..."

Said tak menjawab, ia masuk ke dalam bangunan yang lumayan terang itu dan dipenuhi oleh banyak buku. Soso mengikutinya sambil melihat-lihat buku-buku yang memang tak dia temukan di tempatnya Pak Yedid. Ia tertarik dengan sebuah buku yang penulisnya pernah ia baca, Victor Hugo. Judulnya, Neschastnyy.[1] 

"Sudah berapa banyak karya Victor Hugo yang kamu baca?" tanya seseorang di belakang Soso.

Soso melirik, seorang lelaki memandangnya.

"Belum, baru liat-liat dulu..." jawab Soso.

Lelaki itu mengambil sebuah buku lain, judulnya Bug-Jargal.[2] "Baiknya kau baca ini dulu sebagai pemanasan sebelum baca karyanya yang lain..." kata lelaki yang usianya mungkin sekitar tiga puluhan tahun, pasti orang Georgia, jika dilihat dari bahasa dan logatnya.

Soso memperhatikan buku itu, lalu menyimpan kembali buku yang pertama diambilnya tadi. Tak ada salahnya mengikuti saran orang itu.

"Kamu temannya si Said, anak Seminari?" tanya lelaki itu lagi.

Soso mengangguk.

"Aku Gege Imedashvili, penunggu tetap toko buku ini!" kata lelaki itu, sambil mengulurkan tangannya. Soso menyambut dan menyebutkan namanya. "Kau boleh baca-baca dulu di depan sana. Bisa pesan kopi, tembakau, atau bahkan rokok..." katanya lagi.

Soso tersenyum, "Saya baca buku saja dulu..." katanya. Ia pamit pada lelaki itu dan segera menyusul si Said yang sudah lebih dulu membawa sebuah buku dan duduk di depan bangunan itu. "Yang tadi itu pemiliknya ya, Id?" tanya Soso.

Said mengangguk tanpa meliriknya, matanya tertuju pada bukunya. "Mantan aktivis Narodniks.[3] Mungkin satu-satunya di Georgia..." jawabnya.

"Apaan tuh?" tanya Soso.

"Kau sudah selesai baca Chto dlat'?" tanya Said lagi.

 "Belum, separuhnya aja belum. Kemarin kan terlalu banyak razia, dan bukunya sudah keburu kamu kembalikan..." jawab Soso.

 "Selesaikan dulu buku itu!" kata Said lagi.

 Soso meninggalkan Said dan masuk lagi ke dalam, menemui Gege Imedashvili dan menanyakan soal buku itu. Gege segera menunjukannya, sementara Soso mengembalikan novel Bug-Jargal yang tadi hendak dibacanya.

 "Sudah baca Otcy i deti?" tanya Gege. Soso mengangguk. "Bagus kalau sudah, biar pemahamanmu utuh..." katanya lagi.

Asyik juga di situ, pikir Soso, ini sih bukan sekadar taman bacaan atau toko buku seperti punyanya Pak Yedid yang hanya menjual buku. Ini seperti perpustakaan di sebuah universitas, ada buku, dan ada juga pemandunya. Jadi tak asal nyomot buku, melainkan runtut, mana dulu yang harus dibaca, dan apa lagi yang perlu dibaca setelah itu.

Sayangnya, Soso nggak bisa berlama-lama di tempat itu. Si Said mengajaknya untuk segera kembali. "Besok lagi ke sini, jam istirahat!" katanya.

Soso tahu, berlama-lama di situ memang berbahaya, apalagi Mister Black Spot lagi rajin-rajinnya razia. Ia mengembalikan buku itu, berharap besok ia kembali dan melanjutkannya. Di bawa ke asrama juga percuma, lampu di Kamar Terkutuk tak lagi bebas dinyalakan, bolos dari kelas juga lebih susah sekarang.

*****

Jam istirahat keesokan harinya, Soso kembali untuk melanjutkan bacaannya. Gege Imedashvili secara khusus menyimpankan buku itu agar tak dibaca atau dipinjam orang lain. Terus terang saja, menurutnya, novel Nikolai Chernyshevsky itu buruk dalam hal penceritaan, pengaturan kisah, dan menggambarkan kisah percintaan yang terlalu tipikal orang Rusia saat itu; rumit karena perbedaan sikap, hubungan-hubungan gelap, kasih tak sampai, dan, yang sangat mengganggu, terlalu banyak 'ceramah' dari penulisnya. Tapi dari segi gagasan, tak bisa dipungkiri, ada beberapa hal yang menarik perhatiannya.

Chto dlat'?[4] mengambil latar waktu tahun 1850-an, bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Vera Rozalsky, yang tinggal bersama orang tua dan adik lelakinya di St. Petersburg. Seorang mahasiswa kedokteran bernama Dmitry Lopukhov yang menjadi guru pengajar adiknya, sering berdiskusi dengan Vera mengenai sosialisme. Saat ibunya ingin menikahkannya dengan seorang perwira militer yang menurut Vera berperilaku bejat, Dmitry mengajaknya kabur dan tinggal di sebuah apartemen. 

Vera bersedia dinikahi Dmitry dengan catatan, mereka memiliki kesetaraan dalam banyak hal, termasuk soal privasi, kebebasan, juga pekerjaan. Vera kemudian memutuskan bergabung dengan wanita muda lainnya dan mendirikan bisnis menjahit komunal. Para wanita muda itu hidup bersama dalam sebuah phalanstery.[5] Akan tetapi karena Vera sudah menikah, ia tetap tinggal di apartemennya bersama dengan Dmitry.

Ketika komunitas menjahit itu berkembang pesat, Vera malah memutuskan untuk belajar kedokteran, sebuah profesi favorit para sosialis Rusia saat itu. Dan meskipun menikah dengan Dmitry, Vera sama sekali tak mencintainya, ia hanya menyukainya dan menganggapnya tak lebih dari sahabat. Sebaliknya, Dmitry sangat mencintainya.

Di kampus, Vera malah jatuh cinta pada temannya, seorang yang juga berpandangan sosialis, Alexander Kirsanov. Dmitry putus asa dan memutuskan untuk berpura-pura bunuh diri. Ia kemudian melarikan diri ke Amerika atas bantuan seorang pria misterius bernama Rakhmetov. Di Amerika, Dmitry menggunakan nama samaran Charles Beaumont, dan menjadi seorang dokter yang sukses.

Kepergian Dmitry membuka jalan bagi Vera untuk menikah dengan Alexander yang kemudian juga membuka praktik sebagai dokter. Sementara itu, Charles Beaumont alias Dmitry Lapukhov kembali dari Amerika karena tak tahan dengan cara hidup di sana yang tidak sesuai dengan idealismenya. Di Rusia, ia kemudian menikahi putri seorang industrialis kaya raya, Nadya yang penyakitan dan sebetulnya tak dicintainya. Nadya adalah pasien Alexander, dan harus dirawat di rumahnya untuk menyembuhkan penyakitnya. Tapi keduanya malah saling jatuh cinta.

Ketika Dmitry menyusul ke sana dengan nama samarannya, ia bertemu kembali dengan Vera. Vera menyadari bahwa Beaumont tak lain adalah Dmitry, tapi ia membiarkannya tinggal di rumah itu. Empat orang itu kemudian hidup bersama, mnage a quatre, dalam sebuah hubungan rumit dalam pandangan umum; Vera menikah dengan Alexander yang dicintainya, tapi Alexander mencintai Nadya yang menikah dengan Dmitry alias Beaumont yang masih mencintai Vera!

Gagasan-gagasan utopis Chernyshevsky digambarkan dengan kasar dalam mimpi-mimpi Vera, benar-benar dalam mimpi. Bahkan saking 'kasarnya,' dalam mimpi keempat dan terakhir, Vera dibawa masuk ke dunia utopis dimana kehidupan dunia digerakkan oleh baterai kaca, aluminium,[6] tenaga kerja, kesetaraan, dan kebebasan seksual. Mimpi-mimpi inilah yang mencoba diwujudkan dalam kehidupan nyata Vera. Gagasan-gagasan Chernyshevsky yang lain juga 'dititipkan' pada sosok Rakhmetov, seorang sosialis radikal yang memimpikan egoism rasional, tetapi menjadi canggung dan janggal karena ia malah bukan tokoh utama dalam cerita itu.[7]

*****

Soso tertatih-tatih memahami gagasan-gagasan yang dibungkus dalam kisah yang kasar itu. Menurutnya, Chernyshevsky gagal meleburkan gagasannya ke dalam tokoh ceritanya, seperti yang dilakukan Ivan Turgenev dalam Otcy i deti. Ia menutup buku itu dan berjalan mendekati Gege Imedashvili, si pemilik perpustakaan itu.

"Apa yang menarik dari dua buku itu?" tanya Gege yang sepertinya menangkap kebingungan Soso.

"Yang satu menggambarkan nihilisme tanggung, sementara yang ini lebih berhasil menggambarkannya..." jawab Soso.

Gege tersenyum, "Oke. Itu satu poin. Gagasan lainnya?"

Soso menggeleng.

"Kamu ingat soal phalanstery?"

Soso mengangguk.

"Kamu anak petani?" tanya Gege lagi.

Soso menggeleng.

"Tapi kamu mengamati para petani kan?"

Soso mengangguk.

"Apa yang kamu lihat?"

"Di kampungku mulai banyak petani yang tak lagi punya lahan, diambil oleh orang-orang Rusia. Mereka kemudian menjadi buruh, ada juga yang jadi perampok..." jawab Soso.

"Oke, kita lupakan dulu soal Rusia atau pribumi...." kata Gege. "Kamu bayangkan, jika para petani itu tidak hidup sendiri-sendiri, tapi bekerja bersama dalam sebuah kelompok. Tak ada yang memiliki tanah itu secara perseorangan, tapi milik bersama. Semuanya bekerjasama untuk mengolah dengan pembagian yang merata, mungkin dengan pembagian siapa menanam apa. Hasilnya untuk kepentingan bersama. Yang hanya menanam jagung tetap akan mendapatkan gandum, atau buah-buahan, dan sebaliknya. Kira-kira apa yang akan terjadi?" tanya Gege kemudian.

"Para petani tidak akan kesulitan, atau setidaknya hidupnya lebih tenang..." jawab Soso.

"Ya... mereka tidak memiliki tanah itu, tapi mereka tidak kehilangan haknya kan?"

Soso mengangguk.

"Itulah konsep Obschina[8]... serupa dengan phalanstery tadi. Hanya kalau palanstery yang digambarkan Chernyshevsky berupa bangunan dimana semua mengerjakan bisnis jahitan...." kata Gege lagi.

Bel dari seminari yang tak jauh berdentang. Waktu istirahat akan segera habis. "Nanti malam atau besok, saya akan ke sini lagi, kita lanjutkan ya..." katanya.

Gege mengangguk, "Dengan senang hati!" jawabnya.

*****

BERSAMBUNG: (41) Kopi dan Tembakau

Catatan:

[1] Versi aslinya berbahasa Perancis berjudul Les Miserables, terbit pertama kali tahun 1862.

[2] Disebut sebagai novel pertama Victor Hugo, terbit pertama tahun 1826.

[3] Gerakan kaum intelektual Rusia dalam melawan Tsarisme, disebut sebagai penyokong gagasan sosialisme agraria.

[4] Ditulis saat Nikolai Chernyshevsky dipenjara di Benteng Peter dan Paul St. Petersburg, kemudian diterbitkan secara bersambung di suratkabar Sovremennik tempat ia bekerja sebelumnya

[5] Phalanstere, penggabungan dua kata 'phalanx' unit militer zaman Yuniani kuno dengan 'monastere' atau biara. Sebuah konsep bangunan utopis dari Charles Fourier, dimana ia membayangkan komunitas yang tinggal di dalam bangunan itu bekerjasama untuk mencapai keuntungan bersama.

[6] Untuk hal ini, khayalan Chernyshevsky yang menyebut aluminium sebagai 'logam masa depan' terbukti jitu, karena berpuluh tahun kemudian, aluminium benar-benar menjadi salah satu material penting ketika Perang Dunia I dimulai tahun 1914.

[7] Belakangan dijelaskan bahwa kecanggungan penggambaran ide lewat sosok Rakhmetov ini karena sensor yang dilakukan oleh suratkabar Sovremennik, agar cerita itu tetap bisa dimuat atau menghindari pelarangan dari pihak Tsar.

[8] Komunitas Pedesaan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun