Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (35) Nihilis?

31 Desember 2020   08:06 Diperbarui: 1 Januari 2021   10:06 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (34) Jembatan Kehidupan

*****

Soso meninggalkan Rustavi setelah tinggal selama tiga malam di sana. Kalid Devdariani, ayah Said, sebetulnya menyukai Soso yang dianggapnya lebih terbuka ketimbang anaknya. Ia berharap Soso lebih sering berkunjung untuk berbincang, meski sebagai buruh, waktunya juga tidak banyak. Soso hanya mengiyakan, tapi ia sendiri tak yakin kapan akan kembali ke Rustavi. Kalau ada alasan lain mungkin, tapi kalau untuk mengunjungi Said, rasanya tidak. Anak itu lebih peduli dengan buku daripada temannya sendiri. Saat di sekolah ia terlihat asyik karena hanya mengobrol seperlunya, tapi di rumahnya, ia bukan tipe yang asyik. Meski begitu, Soso menyukai gagasan-gagasan dan pandangan-pandangannya tentang dunia, entah itu dia dapatkan di buku atau hasil perenungannya. Buku Otcy i deti, sebuah novel dari Ivan Tugurev[1] menjadi satu-satunya oleh-oleh yang dibawa dari Rustavi.

Di Tiflis, Soso disambut gembira oleh Mak Imel yang sudah lama tak bertemu dengannya meski antara seminari dengan rumahnya itu tak terlalu jauh. Pak Sese, seperti biasa, dingin. Pertanyaan pertama yang diajukan Pak Sese bukan soal 'bagaimana sekolah' dan lainnya seperti yang ditanyakan Mak Imel. "Kau sudah bertemu Bapakmu?"

Soso mengangguk, "Dia datang ke sekolah, mabuk, meminta uang lima rubel!" jawabnya.

"Kau beri?" tanya Pak Sese lagi.

Soso menggeleng, "Saya tidak melihat alasan untuk memberinya uang sebanyak itu, Pak De... apalagi ia datang dengan mulut bau minuman..."

"Kudengar dia ditangkap polisi, mencuri minuman di Bazaar Persia..."

Soso diam.

"Sudah, nggak usah ngomongin itu dulu. Sana istirahat dulu, So, nanti kupanggil kalau waktunya makan malam..." Mak Imel menyela.

Soso mengangguk dan berjalan ke belakang menuju kamarnya yang terpisah itu.

*****

Setelah memberesi kamarnya, karena ia belum memiliki rencana apapun, Soso mulai membaca buku yang dipinjamkan Said. Omongan Said menunjukkan kalau ia tidak tertarik dengan buku ini, dan lebih menyukai satu buku yang sedang dibaca ulang olehnya itu, Chto dlat.' Jadi dugaannya, novel itu tidak menarik, tetapi penting untuk memahami novel selanjutnya yang ditulis oleh orang yang berbeda itu.

Soso juga agak sebel dengan judulnya Otcy i deti; ayah dan anak, padahal barusan ia baru saja ditanya Pak Sese soal bapaknya yang katanya ditangkap polisi, setelah kedatangannya ke sekolah dan memaksa diberi uang. Jangan-jangan buku itu juga bicara soal romantisme ayah-anak di Rusia yang nantinya akan menyindir habis-habisan dirinya yang tak pernah punya kenangan indah tentang bapaknya.

Novel itu berkisah tentang Arkady Kirsanov yang baru saja lulus dari jurusan kedokteran Universitas Petersburg. Seorang temannya yang sangat mempengaruhi pandangannya tentang dunia, Yevgeny Bazarov, ikut untuk berlibur di kampungnya, Maryino. Ayah Arkady, Nikolay Kirsanov adalah seorang duda mantan tentara yang pensiun karena terluka dalam peperangan dan mengolah sebuah perkebunan sederhana. Ia tinggal bersama anaknya yang lain, Pavel, adik Arkady, dan seorang pelayan bernama Fenechka. Pavel yang juga seperti ayahnya menjadi tentara dan dipulangkan karena terluka, tidak menyukai hubungan ayahnya dengan Fenechka, apalagi mereka kemudian memiliki anak laki-laki, Mitya, yang menjadi adik Arkady dan Pavel.

Berbeda dengan Pavel, Arkady sama sekali tidak peduli dengan hubungan ayahnya itu. Baginya, seperti pandangan yang ditularkan oleh Yevgeny, hidup hanyalah perjalanan yang harus dijalani apa adanya, tanpa harus memiliki tujuan. Tak perlu berpikir malu tentang dosa kepada Tuhan. "Kalau Tuhan ada, kenapa dia mempertemukan Bapak dengan Fenechka dan menumbuhkan perasaan saling tertarik di antara mereka sehingga membuat mereka berdosa. Kalau Tuhan ada, ngapain juga dia memberi manusia sahwat tapi mengaturnya dengan rumit?" kata Arkady kepada Pavel. "Lagipula Bapak hidup sendiri, apa salahnya ada yang mengurusi, sementara kau sendiri tidak bisa mengurus dirimu sendiri dan menumpang hidup lagi padanya?"

Nikolay yang awalnya senang anak kebanggannya pulang, mulai tidak nyaman dengan pandangan Arkady dan temannya itu. Ia menerima pandangan buruk Pavel kepadanya soal hubungannya dengan Fenechka. Ia menyesalinya dan berjanji akan menikahi perempuan itu. Tapi ketika Arkady datang, ia cuek saja dengan kelahiran adik barunya, dan malah mengaku senang punya tambahan anggota keluarga, Nikolay malah merasa Arkady telah melecehkannya. Nikolay juga kecewa dengan jawaban Arkady ketika ditanya dimana ia akan membuka praktik sebagai dokter. "Kenapa harus dipikirkan? Kalau aku jadi dokter ya jadilah. Kalau tidak dan malah jadi petani, ya sudah, mau apa? Bapak kan juga begitu, mau jadi tentara, luka, balik, jadi petani. Si Pavel sama saja, pulang malah jadi pengangguran...."

*****

Bacaan Soso harus diselingi oleh makan malam. "Coba kau tengok Bapakmu di kantor polisi, So. Kalau benar ada di sana, bantu dia keluar. Kasian..." kata Pak Sese. "Dia juga begitu bukannya tanpa sebab. Ibumu juga punya andil kenapa dia berubah begitu drastis. Aku mengenalnya dari bujangan sepertimu, dia baik. Menikah dengan ibumu juga dengan baik-baik. Tapi ibumu mengubahnya menjadi begitu..."

Soso terdiam sejenak, baru kali ini ia mendengar orang yang menyalahkan ibunya atas kelakuan bapaknya itu. Mana yang bercerita adalah Pak Sese yang jauh, sementara tetangganya juga selalu menyalahkan kelakuan Pak Beso, dan Mak Keke yang jadi korban, termasuk dirinya. "Darimana Pak De tau soal itu?" tanya Soso.

"Bapakmu pernah ke sini waktu masih waras. Waktu itu usahanya baru saja ambruk. Dia ingin bekerja lagi di pabrik, tapi kularang. Kubilang, dia harus bertahan di Gori. Kalaupun mau ke Tiflis, istrinya harus dibawa. Tapi ibumu tak mau pindah ke sini, dia bilang --bapakmu yang ngomong---kalau di Gori saja punya usaha sendiri sudah sengsara, apalagi jadi buruh di Tiflis...." kata Pak Sese.

"Terus salah ibu saya apa?" tanya Soso yang merasa belum mendapatkan jawaban atas 'kesalahan' ibunya itu.

"Aku males ngomong ini sebetulnya, tapi kurasa sudah saatnya. Mumpung ada kesempatan dan kau juga sudah gede..." kata Pak Sese lagi. "Sejak usaha bapakmu bangkrut, atau mungkin juga sebelum itu, ibumu yang tak terbiasa hidup susah, kabarnya dekat dengan banyak laki-laki, termasuk pacar lamanya. Bapakmu tak tahan dengan itu, sudah usahanya bangkrut, ibumu nakal pula. Ia mulai mabok..."

Soso langsung menyela dengan sedikit emosi, "Itu nggak mungkin Pak De, itu pasti hanya cerita Bapak..."

"Aku bukan orang bodoh So..." kata Pak Sese. "Aku yang ikut menjodohkan mereka. Aku tidak hanya mendengar dari si Beso saja. Tanya Budemu, aku beberapa kali ke Gori untuk menyelidiknya..."

Soso diam. Jantungnya mulai berdetak kencang.

"Bapakmu sangat mencintai ibumu. Ia sangat berharap punya anak. Berkali-kali ibumu melahirkan dan tak ada yang selamat. Sampai ketika kau lahir, dia tak peduli lagi, apakah kamu itu darah dagingnya atau bukan!"

Soso tak tahan dan berdiri, tapi tangan lembut Mak Imel menahannya. Ia duduk lagi.

"Jangan tanya apakah kamu anaknya si Beso atau bukan. Aku nggak tahu soal itu..." kata Pak Sese lagi yang begitu tenang mengatakannya. "Yang jelas, si Beso sangat menyayangimu. Ia berusaha keras, tapi usahanya memang tidak berhasil. Ibumu tidak membantu, dan sejak itu, maboknya tambah parah!"

Soso belum sempat ngomong, Pak Sese sudah melanjutkan. "Tapi jangan salahkan ibumu juga. Mungkin ia kaget dengan kehidupan yang tak pernah disangkanya akan sepahit itu. Lepas dari semua, ia sudah berubah. Mungkin tidak bisa menerima bapakmu lagi, tapi dia sangat menyayangimu, dia jalani kehidupan yang sulit itu untuk membesarkanmu. Dia mengharapkanmu jadi anak yang baik untuk menebus kesalahan kedua orang tuamu itu..."

Dada Soso bergemuruh.

"Kalau sekarang kerjamu hanya menyalahkan keadaan, menyalahkan kedua orang tuamu. Maka kamu tak ada bedanya dengan keduanya. Tak ada manusia yang tidak berdosa. Termasuk kau sendiri. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti? Siapa tahu. Saat kau seperti itu, yang dibutuhkan bukan cercaan, tapi pengampunan dan pendampingan..."

Soso diam. Apa yang dikatakan Pak Sese memang banyak benernya. Termasuk juga soal desas-desus siapa bapaknya yang sesungguhnya dan sebagainya. Selama itu dia juga tak pernah membenci bapaknya. Kejadian tempo hari di sekolah, juga bukan karena ia tak ingin mengakui bapaknya karena desas-desus itu, tapi karena sikap Pak Beso yang keterlaluan. "Saya akan cari Bapak, besok..." kata Soso.

Mak Imel membelai-belai kepalanya. Sementara Pak Sese menganggukkan kepalanya dengan wajah yang tetap datar tanpa ekspresi. "Sudah, istirahat sana. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu sudah menjadi anak yang hebat sejauh ini, jangan hancurkan itu dengan dendam di hatimu..." kata Mak Imel.

*****

Soso kembali ke kamarnya. Ia merenungkan omongan Pak Sese, dan juga sikapnya selama ini pada Pak Beso, bapaknya. Ya, ia mendengar desas-desus itu. Dan selama ini, ia tak pernah terpengaruh banyak. Ia mencintai ibunya, dan ia tidak pernah membenci Pak Beso, jikapun ia bukan bapaknya. Pak Sese juga benar soal 'dosa' itu. Siapa yang tak pernah berdosa. Bukankah ia juga pernah berdosa? Bonia, Natasha.. kalau mereka punya anak darinya, apakah itu juga bukan dosa? Kalau ia sampai tidak tahu bahwa ia punya anak dari mereka dan tidak mengurusnya, apakah itu bukannya dosa? Mak Keke berdosa kalau ternyata ia bukan anaknya. Pak Beso berdosa karena tidak bisa memberinya kebahagiaan. Mak Keke menebusnya --jika ia memang berdosa---dengan membesarkannya sekuat tenaga. Pak Beso sudah berusaha, meski gagal dan menyerah. Tapi mengakui dirinya sebagai anaknya --entah itu benar atau tidak---itu juga sebuah penebusan yang besar.

Soso jadi teringat akan sosok Arkady dalam novel yang dibacanya tadi. Jangan-jangan dia juga seorang nihilis, memandang kehidupan sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, tanpa harus merenungi apa yang terjadi di belakang dan berpikir apa yang akan terjadi kemudian? Ia juga merasakan kesamaan dengan Arkady dalam soal pandangan ke depan. Ia tak punya cita-cita. Ia tak punya tujuan. Ia tak punya bayangan apapun yang diinginkan atau diharapkan. Ia masuk Seminari, bukan karena cita-cita, yak arena memang begitu jalannya. Dan ia jalani. Besok jadi pendeta atau bukan, ia juga tidak pernah berpikir. Ia jatuh cinta pada Bonia, Irena, Natasha. Melakukan dosa bersama Bonia dan Natasha. Apakah ia berpikir tentang ke depan? Tidak juga. Kalau dia harus bertanggunjawab dan menikahi Bonia, atau dilabrak suaminya Natasha, ya sudah, akan dia hadapi.

Apakah ia seorang nihilis seperti Arkady dan Yevgeny?

Sampai di titik itu, iya. Tapi benar kata si Said. Ada perbedaan besar antara mereka dengan kaum nihilis. Soso masih percaya keterlibatan Tuhan. Meski tak dekat, Soso merasa kenal dengan Tuhan. Dan ia masih yakin bahwa, Tuhanlah yang mengatur semua skenario itu. Ia seperti penulis novel yang bisa menempatkan tokoh sesuka hatinya. Ia dilahirkan di tengah keluarga Mak Imel dan Pak Beso, siapa yang bisa mengganggu gugat? Ia tak bisa memilih.

Manusia tidak bisa memilih. Orang nihilis yang melihatnya begitu. Tapi justru itulah Soso merasa tidak sama dengan pandangan nihilis. Kalaupun ia membiarkan hidup berjalan apa adanya, berarti Tuhan ada, karena dia yang sudah menuliskan ceritanya. Manusia tidak bisa menuliskan kisahnya sendiri, ada campurtangan 'luar' yang luar biasa. Manusia tidak bisa memilih lahir dimana dan dari rahim siapa, berarti ada yang memilih dan menentukannya. Bagaimana orang nihilis mengabaikan itu?

Satu hal yang masih belum bisa dijawab oleh Soso bukan pada keberadaan Tuhan yang menentukan jalan hidup manusia --yang hanya dijalani oleh kaum nihilis. Tapi apakah hubungan Tuhan dengan manusia itu seperti penulis novel dengan tokohnya? Dalam novel, tokoh tak bisa meminta penulis mengubah alur cerita. Tak ada ruang dialog dalam hubungan penulis dengan tokoh. Tapi apakah dalam kehidupan manusia bisa meminta Tuhan untuk mengubah jalan hidupnya? Jika tidak, buat apa manusia berdoa dan berusaha?

Ah, pusing kepala Soso. Ia melemparkan buku yang baru separuhnya dibaca itu. Lain kali saja dia melanjutkannya. Besok ia harus mencari Pak Beso, seperti janjinya pada Pak Sese. Bapaknya atau bukan, lelaki pemabuk itu ada dalam skenario hidupnya, dan sedikit-banyak, ia juga punya jasa. Setidaknya Pak Beso mengakui dia sebagai anaknya, tak seperti lelaki lain yang mungkin benar ayah kandungnya, tapi tak punya nyali walau hanya untuk menunjukkan diri!

*****

BERSAMBUNG: (36) Ayah dan Anak

Catatan:

[1] Ivan Turgenev disebut sebagai orang pertama yang mencetuskan istilah 'nihilisme' dalam novel ini. Akan tetapi pandangan tentang nihilisme, selalu dikaitkan dengan pandangan filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. Ada perbedaan di antara keduanya. Turgunev hanya menyorot sebuah pandangan yang mulai berkembang di lingkungan sekitarnya, Rusia abad ke-19, sehingga tidak menyebut nihilisme sebagai pandangannya sendiri, melainkan sebuah fenomena yang sedang berkembang. Pada akhirnya, dalam novel-novelnya, Turgunev bahkan mempertanyakan apakah nihilisme itu masuk akal ketika manusia dihadapkan pada pilihan, cinta misalnya. Sementara Nietzsche merumuskannya secara mendalam dalam upayanya menjelaskan tentang eksistensi manusia yang kemudian dikenal dengan sebutan eksistensialisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun