Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (35) Nihilis?

31 Desember 2020   08:06 Diperbarui: 1 Januari 2021   10:06 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau sekarang kerjamu hanya menyalahkan keadaan, menyalahkan kedua orang tuamu. Maka kamu tak ada bedanya dengan keduanya. Tak ada manusia yang tidak berdosa. Termasuk kau sendiri. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti? Siapa tahu. Saat kau seperti itu, yang dibutuhkan bukan cercaan, tapi pengampunan dan pendampingan..."

Soso diam. Apa yang dikatakan Pak Sese memang banyak benernya. Termasuk juga soal desas-desus siapa bapaknya yang sesungguhnya dan sebagainya. Selama itu dia juga tak pernah membenci bapaknya. Kejadian tempo hari di sekolah, juga bukan karena ia tak ingin mengakui bapaknya karena desas-desus itu, tapi karena sikap Pak Beso yang keterlaluan. "Saya akan cari Bapak, besok..." kata Soso.

Mak Imel membelai-belai kepalanya. Sementara Pak Sese menganggukkan kepalanya dengan wajah yang tetap datar tanpa ekspresi. "Sudah, istirahat sana. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu sudah menjadi anak yang hebat sejauh ini, jangan hancurkan itu dengan dendam di hatimu..." kata Mak Imel.

*****

Soso kembali ke kamarnya. Ia merenungkan omongan Pak Sese, dan juga sikapnya selama ini pada Pak Beso, bapaknya. Ya, ia mendengar desas-desus itu. Dan selama ini, ia tak pernah terpengaruh banyak. Ia mencintai ibunya, dan ia tidak pernah membenci Pak Beso, jikapun ia bukan bapaknya. Pak Sese juga benar soal 'dosa' itu. Siapa yang tak pernah berdosa. Bukankah ia juga pernah berdosa? Bonia, Natasha.. kalau mereka punya anak darinya, apakah itu juga bukan dosa? Kalau ia sampai tidak tahu bahwa ia punya anak dari mereka dan tidak mengurusnya, apakah itu bukannya dosa? Mak Keke berdosa kalau ternyata ia bukan anaknya. Pak Beso berdosa karena tidak bisa memberinya kebahagiaan. Mak Keke menebusnya --jika ia memang berdosa---dengan membesarkannya sekuat tenaga. Pak Beso sudah berusaha, meski gagal dan menyerah. Tapi mengakui dirinya sebagai anaknya --entah itu benar atau tidak---itu juga sebuah penebusan yang besar.

Soso jadi teringat akan sosok Arkady dalam novel yang dibacanya tadi. Jangan-jangan dia juga seorang nihilis, memandang kehidupan sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, tanpa harus merenungi apa yang terjadi di belakang dan berpikir apa yang akan terjadi kemudian? Ia juga merasakan kesamaan dengan Arkady dalam soal pandangan ke depan. Ia tak punya cita-cita. Ia tak punya tujuan. Ia tak punya bayangan apapun yang diinginkan atau diharapkan. Ia masuk Seminari, bukan karena cita-cita, yak arena memang begitu jalannya. Dan ia jalani. Besok jadi pendeta atau bukan, ia juga tidak pernah berpikir. Ia jatuh cinta pada Bonia, Irena, Natasha. Melakukan dosa bersama Bonia dan Natasha. Apakah ia berpikir tentang ke depan? Tidak juga. Kalau dia harus bertanggunjawab dan menikahi Bonia, atau dilabrak suaminya Natasha, ya sudah, akan dia hadapi.

Apakah ia seorang nihilis seperti Arkady dan Yevgeny?

Sampai di titik itu, iya. Tapi benar kata si Said. Ada perbedaan besar antara mereka dengan kaum nihilis. Soso masih percaya keterlibatan Tuhan. Meski tak dekat, Soso merasa kenal dengan Tuhan. Dan ia masih yakin bahwa, Tuhanlah yang mengatur semua skenario itu. Ia seperti penulis novel yang bisa menempatkan tokoh sesuka hatinya. Ia dilahirkan di tengah keluarga Mak Imel dan Pak Beso, siapa yang bisa mengganggu gugat? Ia tak bisa memilih.

Manusia tidak bisa memilih. Orang nihilis yang melihatnya begitu. Tapi justru itulah Soso merasa tidak sama dengan pandangan nihilis. Kalaupun ia membiarkan hidup berjalan apa adanya, berarti Tuhan ada, karena dia yang sudah menuliskan ceritanya. Manusia tidak bisa menuliskan kisahnya sendiri, ada campurtangan 'luar' yang luar biasa. Manusia tidak bisa memilih lahir dimana dan dari rahim siapa, berarti ada yang memilih dan menentukannya. Bagaimana orang nihilis mengabaikan itu?

Satu hal yang masih belum bisa dijawab oleh Soso bukan pada keberadaan Tuhan yang menentukan jalan hidup manusia --yang hanya dijalani oleh kaum nihilis. Tapi apakah hubungan Tuhan dengan manusia itu seperti penulis novel dengan tokohnya? Dalam novel, tokoh tak bisa meminta penulis mengubah alur cerita. Tak ada ruang dialog dalam hubungan penulis dengan tokoh. Tapi apakah dalam kehidupan manusia bisa meminta Tuhan untuk mengubah jalan hidupnya? Jika tidak, buat apa manusia berdoa dan berusaha?

Ah, pusing kepala Soso. Ia melemparkan buku yang baru separuhnya dibaca itu. Lain kali saja dia melanjutkannya. Besok ia harus mencari Pak Beso, seperti janjinya pada Pak Sese. Bapaknya atau bukan, lelaki pemabuk itu ada dalam skenario hidupnya, dan sedikit-banyak, ia juga punya jasa. Setidaknya Pak Beso mengakui dia sebagai anaknya, tak seperti lelaki lain yang mungkin benar ayah kandungnya, tapi tak punya nyali walau hanya untuk menunjukkan diri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun