Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (28) Bapak yang Durhaka

24 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 24 Desember 2020   08:18 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

"Nggak usah ngajari lagi soal bohong Pak, saya sudah belajar banyak dari Bapak!" kata Soso. "Nggak ada gunanya juga saya bohong. Percuma!"

"Ya sudah, berilah tiga rubel!" tawar Pak Beso.

"Nggak punya!" jawab Soso.

"Jangan pelit begitu lah So, jelek-jelek begini kan aku bapakmu!"

"Iya, bapak yang durhaka! Durhaka pada anak dan istrinya!"

"Heh, berani kau ngomong begitu ya!" lelaki itu melotot. Dulu mungkin Soso takut, tapi sekarang, posisinya jauh lebih kuat. Itu bukan di rumah, tapi di seminari. Sekali saja bapaknya itu ngajak ribut, ia bisa saja meminta penjaga sekolah mengusirnya. Pelototannya juga nggak seserem dulu, jaman tubuh Soso masih setengahnya. Sekarang, tubuh mereka berdua sudah agak seimbang, dan jelas tubuh Soso lebih bugar. Matanya juga sudah cekung, jadi pelototannya tidak lagi menyeramkan, tapi menyedihkan, mengibakan.

"Bapak baru ingat saya karena butuh dan karena saya dianggap punya duit kan? Kalau tidak, kalau saya masih miskin seperti di Gori, manalah Bapak ingat!"

"Kurangajar kau, kukutuk kau jadi batu!"

"Nggak usah bercanda Pak, nggak ada ceritanya anak dikutuk jadi batu oleh bapaknya. Ada juga sama ibunya. Lagian yang durhaka kan Bapak, bukan saya!" kata Soso.

Tiba-tiba tangan lelaki itu mendarat di leher Soso dan mencengkram kerah bajunya, "Beri aku satu rubel, lima puluh kopeck, atau berapapun uang yang kau punya sekarang!"

Soso mengibaskan tangan yang mencengkram lehernya tanpa tenaga itu, dan lepas dengan mudah. "Pergi sana, sebelum aku memanggil penjaga dan mengusirmu dengan paksa!" kata Soso. Ia sebetulnya iba melihat kondisi bapaknya itu. Nyaris sepuluh tahun ia tak melihatnya, atau bahkan hanya sekadar mendengar kabarnya sekalipun. Mungkin ia bisa memaafkannya, seandainya Pak Beso datang dengan baik-baik, ngomong baik-baik. Bisa juga ia memberikan sebagian uangnya, honor nyanyinya, honor puisinya, termasuk juga uang pemberian dari Pangeran Ilia yang lima rubel itu masih utuh. Tapi caranya meminta, masih menunjukkan tanda bahwa bapaknya itu tidak berubah sama sekali. Soso mundur dan membalikkan badannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun