Yah, sebut saja saya anak generasi Orba. Itu fakta sejarah. Emak melahirkan saya tahun 1976. Saat itu Pak Harto sudah jadi presiden satu dekade sebelum saya lahir. Ia 'jatuh' ketika saya hampir menyelesaikan S1 saya di Universitas Hasanuddin Makassar.Â
Waktu itu, jelang Mei 1998 saya baru pulang KKN, di Kabupaten Polewali-Mamasa (Polmas) yang saat ini sudah menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Barat. 300 kilometer lebih jaraknya dari kampus. Kuliah nyaris beres, tinggal skripsi.
Di tempat KKN saya, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo, yang lebih dari 80 persen penduduknya adalah transmigran dari Jawa memang ada masyarakat yang punya TV. Semua pake antena parabola. Jadi lebih banyak siaran dari stasiun luar negeri daripada TV nasional.Â
Pemuda-pemuda di sana lebih hafal lagu-lagu band Malaysia ketimbang musisi lokal. Kata 'band' saja tak akrab di telinga mereka. Mereka menyebutnya 'kumpulan' layaknya orang negeri jiran itu.Â
Saya nanya Slank, taunya Slam. Iwan Fals hanya terdengar namanya saja, ditanya lagunya yang mana, tak ada yang tahu. Nike Ardilla disangka penyanyi Malaysia gara-gara bawa lagu Duri Terlindung yang ngetop di sana.
Dua bulan di lokasi, tak pernah keluar jauh, apalagi 'mudik' ke Makassar (buat apa juga, pulang ke Makassar juga anak kos). Lebaran Idul Adha di sana, lumayan, banyak sapi mau dipotong, daripada di kosan manyun. Gonjang-ganjing politik cuma terasa sebelum pergi KKN, tapi tak tahu kalau selama dua bulan itu terus memanas.Â
Krisis moneter? Juga berasa di awal sebelum berangkat KKN. Di lokasi? Nah ini, dari 11 desa di kecamatan Wonomulyo itu, 9 adalah desa 'Jawa' dari mayoritas penduduknya sampai nama-nama desanya; Sidodadi, Bumiayu, Sidorejo, Sumberjo... dan dua sisanya desa 'Mandar' bukan karena namanya saja; Nepo dan Tumpiling, tapi memang penduduknya orang Mandar, suku asli sana.
Jika desa 'Jawa' berada di 'daratan' dengan penghasilan utama penduduknya dari bertani, dua desa 'Mandar' itu berada di pinggir laut, di tepi Teluk Mandar. Ada yang petani, nelayan juga, tapi paling banyak adalah mengolah tambak, bandeng dan udang.Â
Yang disebut terakhir itulah yang membuat krisis moneter di lokasi KKN saya tidak dilihat sebagai musibah, tapi berkah. Sekilo udang, dari harga 27 ribu perkilo, melesat hingga 180 ribu dalam hitungan hari. Banyak yang kaya mendadak.Â
Beli motor Yamaha RX King sekaligus dua, yang satu buat di 'kota' yang satu buat dinas ke tambak! Bandeng tak lagi diurusi, meski tetap dipelihara. Kami, anak-anak KKN diberi jaminan oleh Pak Kades, selama tambaknya masih di wilayah desanya, ambil ikan bandeng gratis, bebas, tak perlu minta izin, asal jangan ngambil udang.
Teman-teman KKN di desa 'Jawa' harus patungan buat program. Di tempat saya, mau bikin program apa terserah. Mau cuma tiduran juga nggak ada urusan. Penduduk sana sibuk ngurusin tambak, nggak minat sama seminar atau penyuluhan yang nggak jelas.Â
Ya sudah, karena saya juga anak komunikasi, program saya ya berkomunikasi, nemuin penduduk di tambak, ngobrol ngalor-ngidul. Topiknya? Kenapa orang dari Tanah Jawa seperti saya bisa kuliah di Makassar.Â
Udah, itu aja, bolak-balik. Sukses? Ya sukses, sedesa kenal dengan saya, "anak KKN yang dari Bandung" (saya tak bisa menyebut kampung saya di Ciamis, percuma, nggak bakalan dikenal).
Pak Dukuh yang rumahnya dijadikan posko sekaligus tempat tinggal, juga masuk dalam OKB itu, meski sebelumnya juga bukan orang miskin. Seminggu sekali ke kota kecamatan. Pulang selalu bawa oleh-oleh khusus untuk saya, satu slop rokok GG Surya.Â
Tiga anak cowok yang lain, karena anak lokal kampungnya tak jauh-jauh dari situ dianggap punya duit, jadi tak dibelikan. Mungkin juga karena saya ketua kelompok yang tak pernah kemana-mana dan selalu 'bekerja.' Desas-desusnya, karena anak semata wayangnya yang cewek naksir sama saya, haha... entahlah.
Gara-gara itulah saya tak merasa negeri ini sedang krisis moneter. Pulang KKN berat badan saya naik lima kilo, rekor yang tak pernah saya lampaui lagi hingga saat ini. Tapi begitu balik ke Makassar yang masih menyandang nama Ujungpandang dunia berasa mau kiamat. Tuman makan-rokok gratis, harus beli. Hari ini harga sebungkus rokok 400 perak, besoknya naik 425, besoknya naik 450, sampai di angka 1.100 perbungkus. Manyun dah...
Mau ke kampus nggak punya duit, nyelesain kuliah buru-buru juga percuma, negara lagi kacau. Lulus pun mau nyari kerja apa. Ya sudah, mumpung lagi musim demo, ya ikutan saja lah. Toh, begini-begini mantan aktivis pers mahasiswa yang -ceritanya- (sok) kritis.
Oh iya, ini ceritanya mau ngomongin menteri di zaman Orba dan menteri-menteri setelahnya. Bukan soal KKN (bisa Kuliah Kerja Nyata, bisa juga Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, istilah yang ngetop waktu itu), bukan pula soal reformasi. Jauh sebelum itu, sejak zaman SD sampai Orba tumbang itu, jangankan Pancasila yang cuma lima, butir-butirnya pun remang-remang cukup hafal.Â
Maklum, sebelum mulai kuliah, digodok dulu dengan penataran P4, Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila. Belum lagi tiap minggu di radio dijejalin doktrin 'Forum Negara Pancasila' yang dibawakan dengan sangat khas oleh Pak Tejo Sumarno Sarjana Hukum (begitu dia memperkenalkan dirinya)
Apalagi? Jangankan presiden dan wakilnya, menteri-menterinya pun hafal di luar kepala. Salah satu tugas pelajar (sebelum jadi mahasiswa) adalah hafal nama-nama anggota kabinet.Â
Tiap habis pemilu, nama presiden tak usah dihafal, otomatis, wapres gampang, banyaknya yang sudah terkenal jadi menteri terus naik pangkat. Bagaimana menghafal menterinya? Belilah poster, atau sekolahan sudah membelikannya dan ditempel di dinding kelas.
Tak susah, menteri baru jarang-jarang. Atau geser-geser dikit. Kalau nggak hafal? Hati-hati, di ulangan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), pasti ada soalnya.
Menteri Penerangan, Harmoko. Menteri Dalam Negeri, Rudini. Menteri Luar Negeri, Ali Alatas. Menristek, BJ Habibie. (Ini yang nyisa, dulu apal, sumpah, haha)
Lah, setelah reformasi, Menristek yang nyaris tak tergantikan itu naik pangkat jadi wapres dan kemudian jadi Presiden, bubarlah itu semua pengetahuan soal menteri-menteri.Â
Zaman Pak Habibie, cuma ingat Menpen, Yunus Yosfiah. Itu juga karena saya ikut-ikutan nerbitin tabloid dan mengajukan SIUPP yang dipermudah. Menteri lainnya? Gelap. Zaman Gus Dur, hanya ingat nggak ada lagi Menpen dan Mensos yang dihapus, dan Pak JK yang hanya enam bulan jadi Menperindag (Inget karena tahun 2002, bantu dosen saya menulis kisahnya jadi buku, Enam Bulan Jadi Menteri).Â
Zaman Bu Mega cuma inget Pak JK dan SBY. Zaman SBY cuma inget Pak Budiono yang kemudian bersanding jadi wakilnya. Zaman Pak De Jokowi, rasanya kok makin sulit mengingat menteri ya. Kalaupun inget namanya, kementeriannya yang nggak tau, atau sebaliknya. Paling hafalnya cuma Bu Susi, karena takut ditenggelamkan.
Apa karena faktor 'U' yang membuat otak makin kedodoran menyimpan memori; atau karena terlalu banyak bongkar pasang hingga antara yang dibongkar dan dipasang juga sama-sama 'gelap'; atau karena menterinya yang 'kurang gaul' sampai-sampai kita nggak tau kalau dia menteri; atau ada orang yang populer diangkat menteri setelah itu malah menghilang; atau baru 'diketahui' kalau dia itu ternyata menteri setelah kesandung kasus korupsi.Â
Pokoknya, makin hari makin sulit mengingat nama menteri.
Belum lagi hafal anggota kabinet terakhir ini (apalagi prestasinya), tiba-tiba rombakan baru lagi, reshuffle, bahasa gayanya. Ada lah dua nama yang bisa diingat (bagi saya).Â
Satu, Bang Sandi Uno yang menyusul pasangannya dari lawan tanding Jokowi menjadi anggota barisannya. Dua, Bu Risma, walikota di kota yang bukan tempat tinggal saya tapi namanya kemana-mana. Yang lain, statusnya 'cuma pernah denger' atau bahkan saya nggak kenal sama sekali (apalagi mereka sama saya!).
Apakah kenal atau hafal itu penting? Tidak juga sebetulnya. Di zaman Pak Harto, hafal nama menteri dan kementeriannya juga nggak tau hasil kerjanya apa. Mungkin bukannya nggak berprestasi, tapi kan penilaian prestasinya nggak jadi urusan rakyat kayak sekarang, bener-bener hak prerogatif presiden.Â
Rakyat mah nggak perlu ambil pusing. Kira-kiranya, kalau besok jadi menteri lagi, ya kita anggap lah dia berprestasi, setidaknya di depan Bapak.
Kalau sekarang? Juga nggak penting kenal duluan. Toh kalau berprestasi lama-lama hafal dan kenal juga. Yaah, kalaupun nanti mau nyapres, setidaknya promosi dulu lah dengan prestasi yang nyata terasa, bukan 'nyata' karena dibaca dan diaku-akui.Â
Masak iya sih kalau berprestasi saya nggak tau juga siapa menterinya. Asal jangan kebalik saja, sebelumnya terkenal karena prestasi, begitu jadi, saya malah lupa kalau dia menteri, atau baru ingat lagi kalau dia menteri setelah kesandung korupsi.
Sudahlah, Pak De Jokowi saja tak pernah ingat saya kalau waktunya otak-atik nama menteri. Jadi penulis saja dulu, barangkali saja presiden berikutnya butuh Menteri Penulisan Kreatif. Itu juga susah, di Kompasiana ini saja banyak saingannya. Buktinya, tulisan saya sepi terus, hehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H