Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (14) Dalam Tembok Derita

10 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:48 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (13) Sel dalam Asrama

*****

Seminari yang dijalankan oleh Gereja Orthodoks Rusia sudah ada di Tiflis sejak 1817, beberapa tahun setelah kekaisaran Rusia di bawah Tsar Alexander I ‘membebaskan’ separuh wilayah Georgia, Kerajaan Kartli Kakheti, dari penguasaan Persia. Rusia tak ingin masyarakat Kartli-Kakheti yang sudah meninggalkan kepercayaan pagan dan beralih menjadi Kristen, akan beralih menjadi muslim seperti yang terjadi di bagian selatan Kaukasus seperti Armenia dan Azerbaijan. Agama Kristen sendiri sudah masuk Georgia sejak abad pertama masehi dan resmi menjadi agama kerajaan Kartli pada abad ke-3 masehi.

Bukan saja ancaman dari pengaruh orang-orang Muslim yang berada di selatan Georgia, Persia dan Otoman, Rusia juga melihat ancaman dari kalangan Kristen sendiri, terutama pengaruh Gereja Katholik Roma, dan belakangan gerakan Protestan. Karena itu, sejak 1811, Tsar Alexander I memerintahkan Gereja Ortodoks Rusia mengambil alih gereja-gereja yang ada di seluruh wilayah Georgia. 

Pendirian seminari di Tiflis itu juga bagian dari program untuk memperkuat pengaruh Rusia di wilayah itu, dan wilayah-wilayah lain yang dicaploknya. Seminari lain ada di Kiev, Ukraina yang dijalankan sejak tahun 1819, menggunakan bangunan yang sebelumnya adalah Akademi Kiev Mohyla yang sudah berdiri sejak tahun 1615. Selain di Kiev dan Tiflis, seminari yang serupa juga didirikan di Baku, Azerbaijan yang juga wilayah terluar Rusia hasil perluasan.

Tadinya, seminari di Tiflis menempati gedung kecil di bagian timur Sungai Kura. Karena jumlah siswanya terus bertambah, ditambah lagi dengan pemberian beasiswa oleh gereja yang digencarkan, gedung itu tak mencukupi lagi. Seorang konglomerat gula di Tiflis, Jacob Zubalasvili, mengalami kebangkrutan. Ia meninggalkan sebuah gedung megah bergaya neoklasik tak jauh dari Yerevan Square. Gereja mengambil alih gedung itu dan memperluasnya lalu memindahkan seminari ke situ secara bertahap sejak tahun 1840-an.

Bangunan peninggalan Zubalasvili dijadikan pintu masuk sekaligus ruang utama untuk guru, pengawas, dan rektor. Di kiri dan kanannya didirikan bangunan memanjang empat lantai untuk semua kegiatan seminari, termasuk asrama untuk para siswa yang berada di lantai atas. begitupun dengan bagian belakang yang kemudian menjadikan kompleks berbentuk segitiga dengan ruang terbuka di bagian tengah untuk berbagai kegiatan.

Tapi tak banyak yang tahu, di bawah koridor gedung bagian belakang, tepat di bawah perpustakaan dan beberapa ruangan lain, ada kamar-kamar kecil tanpa penerangan apapun; sel hukuman untuk siswa yang melakukan pelanggaran berat.

Dan Soso, sekarang berada di situ.

Tak ada lampu di ruangan itu. Tak ada pula jendela yang bisa mengantarkan cahaya dari luar. Siang atau malam tak bisa dibedakan. Kalau Mas Joko di situ, mungkin akan menyebutnya petheng dedhet, sementara Kang Asep akan menyebutnya poek mongkleng, alias gelap gulita. Kalau berlama-lama di situ, siapapun tak akan bisa lagi membedakan waktu, siang atau malam.

Satu-satunya yang bisa memberi petunjuk untuk Soso bahwa hari sudah malam adalah datangnya kiriman makan. Hanya suara langkah kaki pengawas dan suara seraknya saja yang memberi tanda kalau makanan itu datang, “Makan!”

Soso beringsut mendekati pintu dengan meraba-raba dinding bata. Tadi ada seberkas cahaya dari lampu yang dibawa pengawas saat mengantarkan makanan itu, jadi ia cukup tahu arah. Sejak dimasukkan ke dalam ruangan itu hampir lima jam yang lalu, tak ada yang dilakukannya, selain meraba-raba dinding untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan itu sangat kecil, hanya sekitar 2x3 meter. Selain pintu dan dinding tak berjendela, tak ada apa-apa lagi di situ. Dan seolah kedap suara, Soso juga tak mendengar suara apapun sejak tadi, sampai datangnya pengawas yang mengantarkan makanan barusan. Celakanya lagi, nggak ada WC di situ, lah kalau kebelet pipis atau BAB gimana?

Karena tadi paling duluan dimasukan ke dalam ruangan itu, Soso nggak tahu nasib anak-anak lain, baik teman-temannya maupun gengnya si Sesa. Mungkin mereka juga sudah kebagian kamar masing-masing. Tadi Soso sempat check sound, manggilin nama temen-temennya, tapi tak ada jawaban. Entah mereka tak ada di sekitar situ atau suara Soso yang tak sampai kemana-mana.

Soso menemukan paket delivery makan malamnya. Dengan meraba-raba, ia segera tahu isinya ; sepotong roti, secuil labio yang agak basi yang diletakkan dalam wadah kaleng pipih. Saking tipisnya, alas dan makanannya bisa disisipkan oleh pengantarnya lewat celah kecil di bagian bawah pintu layaknya selembar surat. Bahkan jatah minum pun disatukan dalam wadah itu. Tanpa pikir panjang lagi ia segera menghabiskannya. Ia tak tahu akan sampai kapan ia berada di dalam situ.

Soso mengingat lagi kejadian siang tadi. Kalau saja ia tak ikut campur, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi nggak tau juga sih, soalnya hukuman cambuk Pak Dmitri tadi aja samarata, nggak pilih-pilih, nggak membedakan mana yang salah dan mana yang cuma ikut-ikutan. Lha wong pertanyaannya selalu sama, “Jadi, siapa yang memulai?” tanpa ditanya alasannya. Si Pepa yang jelas-jelas punya niat baik dan jadi korban tanpa melawanpun, bernasib sama dengan si Sesa yang memulai, dan si Gego yang duluan berantem. Soso sendiri juga merasa layak masuk ke situ, meski nggak pake niat atau memulai, tapi dia nyadar kalau dia memang terlibat baku hantam.

Mendadak saja dia menjadi sentimentil, bayangan Mak Keke berkelebat. Duh, kalau saja emaknya tahu dia dihukum kayak gitu di sekolahannya, pasti Mak Keke sangat sedih, marah juga mungkin.

Sialnya lagi, Soso nggak bisa tidur. Ia sudah mencoba berbaring di lantai yang entah diberi plester semen atau masih berupa tanah, yang jelas keras dan tidak rata. Mana nggak ada bantal, guling, dan selimut lagi, apalagi pakaiannya sudah dilucuti, tinggal celana dan baju tipis. Abis itu, banyak nyamuk pula. Kayaknya nyamuk di situ sudah lama nggak sarapan darah, ganas-ganas banget. Soso udah nyerah nepokinnya. Nepokin nyamuk pas terang aja susah, apalagi gelap kayak gitu.

Ah, kalau saja dia bisa bawa buku terus ada lampu, mungkin malam itu tak akan semenderita ini. Karena boring luar biasa, mau ngamuk cuma ngabisin tenaga dan nggak ada gunanya. Mau tidur nggak bisa. Soso pun mulai berdendang, “Dalam tembok derita, aku menebus dosa. Dalam tembok derita, ku jadi narapidana…” Duh. Lagunya siapa ya?

*****

Soso terbangun dengan kaget. Bukan karena menyadari hari sudah pagi, atau karena lonceng ibadah pagi sudah terdengar. Tapi karena pintu ruangan itu terbuka. Meski berat mata karena semalaman susah tidur, pintu terbuka itu ibarat pintu pengampunan. “Keluar!” terdengar sebuah suara.

Tentu saja Soso nggak pake lelet, nggak pake acara ngulet-ngulet dulu seperti biasanya kalau bangun tidur. Ia langsung melompat dan menuju pintu. Ada seorang pengawas di luar pintu, bayangannya terlihat karena ada cahaya dari ujung lorong; hari sudah pagi atau siang. Pengawas itu menggiring Soso ke ujung lorong. Soso menyipitkan matanya, cahaya itu terlalu menyilaukan untuk matanya yang sudah cukup lama tak melihat cahaya.

Setelah mulai bisa melihat, Soso menemukan anak-anak lain sudah dibariskan. Lengkap, teman-temannya dan juga gengnya si Sesa. Pak Dmitri juga sudah ada. Ia yang kemudian memimpin upacara pagi itu. Push up, sit up, scout jump, lari keliling lapangan tujuh puteran, hampir kayak atlit latihan sebelum tanding, cuma nggak ada acara angkat barbel atau lari treadmill aja. Habis itu, mereka diberi kesempatan sepuluh menit ke toilet dengan penjagaan pengawas. Soso sendiri nggak tau mau ngapain di WC itu. BAB nggak pengen, pipis udah semalem di pojokan. Mandi nggak mungkin. Ya sudah, cuci muka aja, sambil mengelap punggungnya yang perih disamber cemeti Pak Dmitri kemarin. Tapi tentu saja ia nggak keluar sebelum diberi aba-aba pengawas. Rugi lah, kan lumayan istirahat dikit.

Habis itu, mereka digiring ke ruang di sebelah perpustakaan. Mereka disidang satu-satu oleh Inspektur Germogen. Ditanyai ini itu soal kejadian kemarin. Soso sendiri menceritakannya dengan terus terang. Mau apa lagi, berbohong pun nggak ada gunanya. Barulah setelah semua diperiksa satu-persatu, Inspektur Germogen mengumumkan vonis untuk mereka, hasil dari diskusi dengan beberapa pengawas lain termasuk Pak Dmitri. Hasilnya? Si Sesa dan si Gego diberi bonus dua malam lagi. Sisanya, termasuk Soso, harus nginep semalam lagi. Satu-satunya yang divonis bebas adalah si Pepa, itu juga karena kepalanya masih mengeluarkan darah setelah terbentur tiang lampu. Ia dibawa pergi oleh seorang pengawas, sementara yang lain, dikembalikan ke ruang masing-masing.

Soso pun menghabiskan semalam lagi di tembok derita itu, mana mulai bau pesing lagi, karena semalem dia pipis di pojokan.

*****

Soso dan anak-anak lain –kecuali si Sesa dan si Gego-- dikeluarkan keesokan paginya. Mereka langsung disuruh kembali ke kamar dan bersiap mengikuti kegiatan hari itu, dimulai dari ibadah pagi dan juga sarapan.

Saat sarapan, karena merasa senasib, anak-anak itu berkumpul bersama; Soso, Peta, Seva, Jaba, dan si Kaka. Si Pepa masih tak nampak.

“Pepa gimana nasibnya?” tanya Seva.

Semua menggeleng karena memang nggak ada yang tau. Setelah itu mereka membisu sampai waktunya masuk ke kelas masing-masing. Dan di kelas pun, si Pepa juga nggak terlihat. Barulah malam harinya, ketika mereka kembali ke kamar, ada kabar soal si Pepa. Ia dibawa ke rumahsakit untuk menjahit luka di kepalanya. Malam itu, ia tak kembali ke kamar.

*****

Sehari kemudian, barulah mereka bisa berkumpul lengkap. Pepa sudah kembali dengan jahitan di kepalanya. Gego dan si Sesa sudah dibebaskan dan kembali ke kamar. Si Gego tak menunjukkan tanda-tanda stress, ia langsung terlihat ceria ketika bertemu dengan teman-teman barunya itu. Sementara si Sesa menyendiri di ranjangnya yang dekat pintu itu, tak bicara dengan siapapun.

“Mau kemana kita istirahat nanti?” tanya si Gego seolah nggak pernah terjadi apa-apa dengan jam istirahat itu.

Semua melirik Soso.

“Aku nggak ikutan dulu deh, mau ke rumah orangtua angkatku…” jawab Soso.

“Ke rumah orang tua angkat atau ngapelin cewekmu?” tanya si Gego.

Soso nyengir, “Nggak lah, badan babak belur begini masak nemuin dia. Ntar ketauan lagi kalau kita habis kena hukuman…”

“Terus, kapan dong kita dikenalin sama cewekmu dan cewek-cewek Ukraina itu?” tanya si Gego lagi.

“Ya nanti lah kalau kita sudah pada ganteng lagi…” jawab Soso.

Dan, jam istirahat itu, seperti yang dikatakan pada teman-temannya, Soso memang tak mengunjungi Irena. Tapi ia juga bohong soal menemui orang tua angkatnya. Ia malah berjalan ke barat dan mampir di toko buku Pak Yedid.

Pak Yedid jelas kaget dengan kedatangan Soso. Bukan saja karena sudah lumayan lama ia tak berkunjung, tapi juga karena seragam yang dipakai Soso.

“Jadi kau sekolah di situ, So?” tanya Pak Yedid dengan takjub.

Soso hanya mesam-mesem dan mengangguk. “Punya buku-bukunya Leo Tolstoy, Pak?” tanya Soso.

“Ada. Kok baru nyari sekarang?” Pak Yedid balik nanya. “Eh, di sekolahmu kan dilarang baca buku-bukunya Tolstoy…” kata Pak Yedid lagi.

Soso nyengir, “Justru itu, saya malah penasaran karena di sekolah dilarang..” jawab Soso.

“Terus kalau bukuku kau bawa ke sana dan disita gimana?” tanya Pak Yedid.

“Nggak lah Pak, saya baca di sini aja, pas istirahat kayak gini…” jawab Soso.

“Ya sudah, tuh ada di sana…” kata Pak Yedid sambil menunjuk pojok belakang toko bukunya.

Soso segera menuju ke sana. Di rak yang ditunjukkan Pak Yedid, dia menemukan beberapa karya Tolstoy, dua novel, Voyna i mir[1] dan Anna Karenina.[2] Ia juga menemukan beberapa buku Tolstoy lain yang bukan novel, Ispoved[3] dan Vo chto ya veryu,[4] dan beberapa karyanya yang lain. Soso tertarik dengan dua buku terakhir itu, dari judulnya, ia sudah bisa meraba kenapa dilarang dibaca di sekolahnya. Tapi ia berniat membacanya nanti. Kepalanya sudah diisi hal-hal yang berat di sekolah, belum lagi kejadian kemarin. Makanya ia memilih untuk membaca yang lebih ringan, dan akhirnya ia memilih Voyna i mir yang lebih dulu terbit ketimbang Anna Karenina.

*****

BERSAMBUNG: (15) Lado Ketskhoveli

Catatan:

[1] Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘War and Peace,’ terbit pertama kali tahun 1869

[2] Terbit tahun 1877

[3] Buku filosofi religi karya Tolstoy, terbit tahun 1882, ada yang menerjemahkannya menjadi ‘A Confession’ ada juga yang memakai judul ‘My Confession.’ Buku ini sempat menghilang karena dilarang oleh Gereja Orthodoks Rusia, tapi kemudian diterbitkan lagi di Jenewa Swiss dua tahun kemudian.

[4] Versi terjemahannya berjudul “What I Believe,” terbit pertama tahun 1884

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun