Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (14) Dalam Tembok Derita

10 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:48 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu-satunya yang bisa memberi petunjuk untuk Soso bahwa hari sudah malam adalah datangnya kiriman makan. Hanya suara langkah kaki pengawas dan suara seraknya saja yang memberi tanda kalau makanan itu datang, “Makan!”

Soso beringsut mendekati pintu dengan meraba-raba dinding bata. Tadi ada seberkas cahaya dari lampu yang dibawa pengawas saat mengantarkan makanan itu, jadi ia cukup tahu arah. Sejak dimasukkan ke dalam ruangan itu hampir lima jam yang lalu, tak ada yang dilakukannya, selain meraba-raba dinding untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan itu sangat kecil, hanya sekitar 2x3 meter. Selain pintu dan dinding tak berjendela, tak ada apa-apa lagi di situ. Dan seolah kedap suara, Soso juga tak mendengar suara apapun sejak tadi, sampai datangnya pengawas yang mengantarkan makanan barusan. Celakanya lagi, nggak ada WC di situ, lah kalau kebelet pipis atau BAB gimana?

Karena tadi paling duluan dimasukan ke dalam ruangan itu, Soso nggak tahu nasib anak-anak lain, baik teman-temannya maupun gengnya si Sesa. Mungkin mereka juga sudah kebagian kamar masing-masing. Tadi Soso sempat check sound, manggilin nama temen-temennya, tapi tak ada jawaban. Entah mereka tak ada di sekitar situ atau suara Soso yang tak sampai kemana-mana.

Soso menemukan paket delivery makan malamnya. Dengan meraba-raba, ia segera tahu isinya ; sepotong roti, secuil labio yang agak basi yang diletakkan dalam wadah kaleng pipih. Saking tipisnya, alas dan makanannya bisa disisipkan oleh pengantarnya lewat celah kecil di bagian bawah pintu layaknya selembar surat. Bahkan jatah minum pun disatukan dalam wadah itu. Tanpa pikir panjang lagi ia segera menghabiskannya. Ia tak tahu akan sampai kapan ia berada di dalam situ.

Soso mengingat lagi kejadian siang tadi. Kalau saja ia tak ikut campur, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi nggak tau juga sih, soalnya hukuman cambuk Pak Dmitri tadi aja samarata, nggak pilih-pilih, nggak membedakan mana yang salah dan mana yang cuma ikut-ikutan. Lha wong pertanyaannya selalu sama, “Jadi, siapa yang memulai?” tanpa ditanya alasannya. Si Pepa yang jelas-jelas punya niat baik dan jadi korban tanpa melawanpun, bernasib sama dengan si Sesa yang memulai, dan si Gego yang duluan berantem. Soso sendiri juga merasa layak masuk ke situ, meski nggak pake niat atau memulai, tapi dia nyadar kalau dia memang terlibat baku hantam.

Mendadak saja dia menjadi sentimentil, bayangan Mak Keke berkelebat. Duh, kalau saja emaknya tahu dia dihukum kayak gitu di sekolahannya, pasti Mak Keke sangat sedih, marah juga mungkin.

Sialnya lagi, Soso nggak bisa tidur. Ia sudah mencoba berbaring di lantai yang entah diberi plester semen atau masih berupa tanah, yang jelas keras dan tidak rata. Mana nggak ada bantal, guling, dan selimut lagi, apalagi pakaiannya sudah dilucuti, tinggal celana dan baju tipis. Abis itu, banyak nyamuk pula. Kayaknya nyamuk di situ sudah lama nggak sarapan darah, ganas-ganas banget. Soso udah nyerah nepokinnya. Nepokin nyamuk pas terang aja susah, apalagi gelap kayak gitu.

Ah, kalau saja dia bisa bawa buku terus ada lampu, mungkin malam itu tak akan semenderita ini. Karena boring luar biasa, mau ngamuk cuma ngabisin tenaga dan nggak ada gunanya. Mau tidur nggak bisa. Soso pun mulai berdendang, “Dalam tembok derita, aku menebus dosa. Dalam tembok derita, ku jadi narapidana…” Duh. Lagunya siapa ya?

*****

Soso terbangun dengan kaget. Bukan karena menyadari hari sudah pagi, atau karena lonceng ibadah pagi sudah terdengar. Tapi karena pintu ruangan itu terbuka. Meski berat mata karena semalaman susah tidur, pintu terbuka itu ibarat pintu pengampunan. “Keluar!” terdengar sebuah suara.

Tentu saja Soso nggak pake lelet, nggak pake acara ngulet-ngulet dulu seperti biasanya kalau bangun tidur. Ia langsung melompat dan menuju pintu. Ada seorang pengawas di luar pintu, bayangannya terlihat karena ada cahaya dari ujung lorong; hari sudah pagi atau siang. Pengawas itu menggiring Soso ke ujung lorong. Soso menyipitkan matanya, cahaya itu terlalu menyilaukan untuk matanya yang sudah cukup lama tak melihat cahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun