Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (14) Dalam Tembok Derita

10 Desember 2020   06:06 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:48 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mulai bisa melihat, Soso menemukan anak-anak lain sudah dibariskan. Lengkap, teman-temannya dan juga gengnya si Sesa. Pak Dmitri juga sudah ada. Ia yang kemudian memimpin upacara pagi itu. Push up, sit up, scout jump, lari keliling lapangan tujuh puteran, hampir kayak atlit latihan sebelum tanding, cuma nggak ada acara angkat barbel atau lari treadmill aja. Habis itu, mereka diberi kesempatan sepuluh menit ke toilet dengan penjagaan pengawas. Soso sendiri nggak tau mau ngapain di WC itu. BAB nggak pengen, pipis udah semalem di pojokan. Mandi nggak mungkin. Ya sudah, cuci muka aja, sambil mengelap punggungnya yang perih disamber cemeti Pak Dmitri kemarin. Tapi tentu saja ia nggak keluar sebelum diberi aba-aba pengawas. Rugi lah, kan lumayan istirahat dikit.

Habis itu, mereka digiring ke ruang di sebelah perpustakaan. Mereka disidang satu-satu oleh Inspektur Germogen. Ditanyai ini itu soal kejadian kemarin. Soso sendiri menceritakannya dengan terus terang. Mau apa lagi, berbohong pun nggak ada gunanya. Barulah setelah semua diperiksa satu-persatu, Inspektur Germogen mengumumkan vonis untuk mereka, hasil dari diskusi dengan beberapa pengawas lain termasuk Pak Dmitri. Hasilnya? Si Sesa dan si Gego diberi bonus dua malam lagi. Sisanya, termasuk Soso, harus nginep semalam lagi. Satu-satunya yang divonis bebas adalah si Pepa, itu juga karena kepalanya masih mengeluarkan darah setelah terbentur tiang lampu. Ia dibawa pergi oleh seorang pengawas, sementara yang lain, dikembalikan ke ruang masing-masing.

Soso pun menghabiskan semalam lagi di tembok derita itu, mana mulai bau pesing lagi, karena semalem dia pipis di pojokan.

*****

Soso dan anak-anak lain –kecuali si Sesa dan si Gego-- dikeluarkan keesokan paginya. Mereka langsung disuruh kembali ke kamar dan bersiap mengikuti kegiatan hari itu, dimulai dari ibadah pagi dan juga sarapan.

Saat sarapan, karena merasa senasib, anak-anak itu berkumpul bersama; Soso, Peta, Seva, Jaba, dan si Kaka. Si Pepa masih tak nampak.

“Pepa gimana nasibnya?” tanya Seva.

Semua menggeleng karena memang nggak ada yang tau. Setelah itu mereka membisu sampai waktunya masuk ke kelas masing-masing. Dan di kelas pun, si Pepa juga nggak terlihat. Barulah malam harinya, ketika mereka kembali ke kamar, ada kabar soal si Pepa. Ia dibawa ke rumahsakit untuk menjahit luka di kepalanya. Malam itu, ia tak kembali ke kamar.

*****

Sehari kemudian, barulah mereka bisa berkumpul lengkap. Pepa sudah kembali dengan jahitan di kepalanya. Gego dan si Sesa sudah dibebaskan dan kembali ke kamar. Si Gego tak menunjukkan tanda-tanda stress, ia langsung terlihat ceria ketika bertemu dengan teman-teman barunya itu. Sementara si Sesa menyendiri di ranjangnya yang dekat pintu itu, tak bicara dengan siapapun.

“Mau kemana kita istirahat nanti?” tanya si Gego seolah nggak pernah terjadi apa-apa dengan jam istirahat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun