Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (11) Kabar dari Kampung

7 Desember 2020   08:39 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:45 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (10) Solidaritas di Pabrik

*****

Setahun sudah Soso berada di Tiflis. Ia melewati hari-hari dan bulan-bulan yang terasa panjang dan membosankan. Hari-harinya nyaris hanya dihabiskan di pabrik. 

Setelah aksi demo yang diusulkannya, meski tidak disukai Sergei Kustov, ia 'naik pangkat' tidak lagi jadi buruh angkut di bagian penyamakan, tapi bergeser ke depan, menjadi pembantu penjahit. 

Tugasnya sedikit lebih ringan karena tak memerlukan lagi banyak tenaga. Upahnya juga sudah naik menjadi tiga kopeck sehari. Hanya saja, Soso merasakan kebosanan bekerja di bagian itu. ia tak lagi bisa bercengkrama dengan teman-temannya saat bekerja, harus sabar dan telaten. Mana ada bakat telaten sama dia.

Dia nggak nurunin bakat telaten dari Mak Keke yang kalau lagi menjahit atau benerin bajunya yang sobek, bisa berjam-jam duduk berteman jarum dan benang. Kalau soal sabar, satu-satunya keberhasilannya soal kesabaran ya kalau dia mancing. Itu juga nggak sabar-sabar amat. Toh kalau dia mancing, setelah melempatkan kailnya, biasanya dia mengikatkan tali pancingan ke ibu jarinya, lalu berbaring di hamparan pasir pinggir sungai, tidur. Barulah ia akan bangun jika ada ikan yang menarik kailnya dan terasa di jempol kakinya. Untung saja dia nggak mancing di laut, terus kailnya disamber hiu atau tuna besar.

Acara mendongengnya pun sudah ditinggalkan. Ia yang bosan bercerita. Bukan anak-anak yang bosan mendengarnya. Sekarang ia lebih senang menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca buku pinjaman dari Pak Yedid. Kadang ada anak yang bertanya soal buku yang dibacanya, tapi kalau Soso menjelaskannya, giliran anak itu yang nggak ngerti. "Kirain buku dongeng..." katanya. Kadang Soso sampai berpikir, apakah ia harus melanjutkan karirnya sebagai pendongeng? Mungkin juga sih, "Nantilah kapan-kapan aku nulis dongeng, cerpen, novel, atau apa aja..." bathinnya.

Hari Minggu itu, setelah pulang dari gereja, ia menyempatkan diri untuk mencukur rambutnya yang sudah mulai gondrong tak beraturan. Belum lagi kumis dan jenggotnya yang tumbuh tak beraturan. Ia sendiri bimbang, apa mau memelihara kumis atau jenggotnya itu. Soso memandang cermin yang ada di tukang cukur langganannya. Namanya Nunut Suyuncu. Jelas bukan imigran dari Garut atau Madura, tapi tukang cukur keturunan Laz.[1] Hari itu tak banyak yang potong rambut di tempatnya, jadi ia bisa ngobrol lebih santai. Kebetulan Kang Nunut ini lancar berbahasa Georgia logat Imereti.

"Mau dipotong model apa nih?" tanya Kang Nunut.

"Sekarang lagi model apaan yang ngetren, Kang?" tanya Soso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun