"Lima rubel sebulan Pak?" Soso langsung melotot.
"Kamu tuh.. kalo denger duit, langsung ijo..." kata Pak Chark.
Soso cengar-cengir.
"Saya sudah bicara dengan ibumu, ia nggak keberatan kalau kamu sekolah di Tiflis. Ia bahkan senang kalau kamu bener-bener bisa dapat beasiswa itu. Tinggal kamunya aja, bisa apa enggak, serius apa enggak..."
"Ya sudah, kalau begitu belajarlah yang sungguh-sungguh..."
"Siap Pak!" kata Soso dengan semangat.
*****
Soso pulang dari rumah Romo Charkviani dengan riang, pake bersiul-siul dan bernyanyi segala. Belum apa-apa ia sudah membayangkan dirinya bersekolah di Tiflis, kota yang ramai nggak kayak Gori kampungnya itu. Mungkin Tiflis tidak semewah St. Petersburg[4], tapi setidaknya jauh lebih menarik ketimbang Gori yang cuma perbukitan dan sungai. Lagian, kalau ia meninggalkan Gori, tentu saja ia tak harus lagi berurusan dengan Geng Sotoy itu. Belum lagi membayangkan uang saku yang akan didapatkannya, "Lima rubel coy...!" bathinnya.
 Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Bukan apa-apa, ada sebuah tangan yang mencengkram bagian belakang leher bajunya. Soso memalingkan wajahnya; Sergei... pentolan Geng Sotoy... di belakangnya berdiri dua anggotanya yang lain, Tikhicov dan Olovski. Sergei menyeringai, memperlihatkan deretan giginya yang kotak-kotak besar. "Apa kabar Bopeng, gimana pelajaran gulatmu?" tanyanya.
Soso megap-megap karena lehernya kecekik kerah bajunya sendiri. "Aku sudah belajar gedan barai..." jawab Soso sekenanya.
 "Lo belajar gulat apa karate sih?" tanya Sergei