Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Serial Noval] Sumirah Gadis Semen

20 November 2019   11:36 Diperbarui: 20 November 2019   12:04 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: m.facebook.com/balichannelnews

Lewat tengah malam. Mataku baru saja bisa terpejam beberapa menit, setelah sebelumnya lelah berkutat di belakang kemudi Estilo putih yang terjebak macet parah di daerah kota. Tiba-tiba saja...

Ke Jakarta, aku kan kembali...
Walaupun apa yang kan terjadi...(*)

Bunyi suara gawai yang sayup-sayup terdengar, mau tak mau membuatku membuka mata. Meskipun dilanda kantuk berat, tetap juga kuangkat telepon tersebut.

"Hm.... Ya, hallo...," sapaku dengan mata terpejam. Hening. Tak ada jawaban apa-apa dari seberang sana. Kuulangi lagi sapaanku. Tetap hening. Dan ketika hendak kututup teleponnya, sebuah suara yang tak asing lagi di telingaku benar-benar berhasil membuatku melek sempurna.

"Di mana lu, Bro? Elu gak nyasar kan? Masih ingat jalan pulang ke kontrakan kan? Jangan bilang lu mo ena-ena dulu. Gue nungguin lu dari isya tadi nih, eh, elunya entah di mana sekarang."

Sabar, sabar. Tahan, tahan. Tarik napas dalam-dalam, kemudian...

"Semprul! Sembarangan banget lu fitnah gue kek itu. Hah?" Aku kesal sekali sama si penelepon. Bayangkan saja, sudahlah tidurku diganggu, eh si dodolipet satu ini enak saja main tuduh sembarangan.

"Astaghfirullah. Istighfar, Bro, istighfar. Lu teriak-teriak kek gitu entar para makhluk di Jeruk Purut pada bangkit semua lho, Bro."

"Bodo amat! Kalo lu nelepon cuma buat gue emosi jiwa, mending gue matiin aja nih telepon. Boros pulsa, tau!"

Hampir saja gawai kumatikan bila saja...

"Iya, iya. Sori dori mori stroberi. Plis, jangan dimatiin dulu teleponnya. Gue cuma mo nanya, elu ini ada di mana sekarang? Bukannya kemarin lu bilang mo balik sore ini dari Karawang. Kok sampe dini hari belum sampe kontrakan juga? Pan gue jadi cemas, Bro."

Kutarik napas sejenak. Ya, Tuhan. Memang salahku sih ini. Sama sekali tidak mengabari Hendra, sahabat sekaligus tetangga sebelah kontrakan yang pastinya sudah cemas banget karena aku tak nongol-nongol di kontrakan. Padahal sebelumnya aku kasih kabar ke dia kalau Minggu sore aku balik dari Karawang.

"Iya, maaf, Bro. Tadi gue kejebak macet di daerah kota. Parah pisan lah pokoknya. Akhirnya gue putusin aja buat nginep di kantor. Udah dulu ya, gue ngantuk berat nih. Besok udah mulai kerja lagi soalnya. Bye."

Klik.

Pembicaraan pun terputus.

***

Suasana Senin pagi di tempat kerjaku...

"Jadi Bapak sama sekali belum sampe kontrakan?" tanya Rahma, sekretaris pribadiku, setelah kuceritakan bagaimana aku bisa ada di ruangan kantor sepagi ini.

Aku hanya menggeleng. "Saya bahkan gak makan juga semalaman."

"Sekarang?" Rahma tampak panik. Matanya sampai melotot begitu.

Ya, walaupun aku ini tipikal bos yang suka emosional dan marah-marah tak karuan, Rahma sebagai sekretaris selalu baik dan penuh perhatian kepadaku. Sayang, dia sudah bersuami. Eh?

"Bapak, saya pesankan ok-food aja ya. Mau apa, Pak? Nasgor, mie goreng, buryam, ato..."

"Beef burger ekstra large aja deh. Saya lagi malas ngunyah yang macem-macem. Saya pengen burger aja. Tolong pesankan ya," ujarku seraya berjalan menuju dispenser di sudut ruangan, hendak minum air putih hangat. Kemudian, "Oya, pesankan juga moccalatte satu ya. Biar gak ribet, udah satukan aja pesannya di Robista. Ada kok di aplikasi ok-food."

Rahma bergeming sejenak. Kemudian agak takut-takut bertanya, "Robista udah buka jam segini, Pak?"

"Ya udahlah. Coba aja kamu buka aplikasi ok-food. Itu kedai kopi selalu buka lebih awal dan tutup lebih lama. Wong, waiters-nya aja robot kok."

Rahma pun mengangguk sambil tersenyum. Tanpa banyak pertanyaan lagi, dia pun mulai sibuk dengan gadget-nya untuk memesankan sarapan buatku.

***

Usai menyantap beef burger ekstra large dan segelas moccalatte sebagai menu sarapanku--ya ampun, ini sarapan orang normal atau kuli bangunan sih, Rahma mulai sibuk membacakan schedule-ku hari ini. Salah satunya peninjauan ke proyek pembangunan kawasan real estate di daerah Petamburan, Jakarta Barat.

"Lho, memangnya belum dibangun-bangun juga itu kawasan?" tanyaku, heran.  Karena seingatku, desain bangunannya sudah kelar dari enam bulan lalu. Ya, kan aku sendiri yang mendesainnya.

"Saya kurang tahu juga, Pak. Tapi kemarin Pak Suryadi selaku pengembang di sana berpesan agar Bapak bersedia meninjau ulang ke sana. Takutnya ada yang melesat dari desain awalnya. Lagian mereka masih dalam tahap pembangun rumah contohnya dulu kok, Pak."

Ya, itulah beda pengusaha bangsa kita dengan (maaf) yang bermata sipit. Aku ingat betul bagaimana seretnya dana mereka pada waktu pembuatan desain bangunannya. Sempat dicicil beberapa bulan, hingga akhirnya lunas juga. Pun pada saat peletakan batu pertama. Aku memang diundang hadir sebagai tamu kehormatan, sebagai bentuk rasa terima kasih mereka kepadaku.

Dan terus terang saja, aku bersedia bekerjasama dengan mereka dikarenakan mereka itu orang-orang yang jujur. Mereka tak pernah lari dari tanggung jawab, meskipun ya sempat telat juga dalam membayarku. Dan kini, setelah enam bulan berlalu--yang kupikir kawasan tersebut sudah mulai terbangun, aku malah diminta lagi untuk meninjau ulang pembangunan rumah contoh yang sekiranya hendak dijadikan kawasan real estate itu. Ckckck!

"Oke deh. Ada lagi schedule hari ini yang terlewat?" ujarku akhirnya. Kuperhatikan Rahma tampak mengecek ulang catatannya. Kemudian dia menggeleng.

"Semua sudah saya bacakan, Pak."

Kuberikan dua jempol kepada sekretaris pribadiku itu. Selain baik dan perhatian, kerjanya juga gesit dan cekatan. Aku benar-benar beruntung memiliki sekretaris seperti dia.

***

Sesampainya aku ke lokasi proyek di daerah Petamburan, Jakarta Barat.

"Selamat datang di proyek kami, Pak. Senang sekali akhirnya Bapak bisa datang kemari. Gimana liburannya? Semoga menyenangkan ya?" Pak Suryadi menyalamiku erat. Kemudian mengajakku berkeliling meninjau ke tempat pembangunan rumah contoh untuk kawasan real estate ini.

Di tengah-tengah peninjauan, mataku menangkap sesosok perempuan muda berusia sekitar belasan tahun sedang asyik mengaduk semen dan pasir dengan cangkul yang ada di sana. Sepertinya perempuan itu telah terbiasa melakukan hal yang lazim dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga saat melihatnya, timbullah rasa penasaran di hatiku.

"Itu siapa, Pak?" Tunjukku kepada sosok perempuan muda di sana. Pak Suryadi pun hanya tersenyum kecut.

"Maafkan saya, Pak. Sungguh, itu semata-mata bukan kemauan saya. Saya sudah berulang kali bilang ke Bang Rizal selaku mandor para pekerja di sini untuk tidak mempekerjakan anak di bawah umur, apalagi itu perempuan. Tapi kenyataannya...."

"Memang apa alasannya memperkerjakan anak di bawah umur?"

"Ya, Bang Rizal bilang dia terpaksa. Soalnya ayah si gadis berulang kali mencari anaknya."

"Ya, bagus dong. Sudah menjadi tanggung jawab seorang ayah untuk melindungi anaknya. Dan tugas sang ayah jualah untuk menghidupi keluarganya, istri dan anak-anaknya."

Sayangnya kulihat Pak Suryadi hanya menggeleng keras.

"Idealnya memang seperti itu ya, Pak. Tapi sayangnya ayah si gadis bukan tipikal bapak yang bertanggung jawab. Istrinya saja dia eksploitasi hingga kini akhirnya jatuh sakit. Anak gadisnya pun sempat dia jual untuk memenuhi nafsu bejat lelaki hidung belang. Beruntung, si gadis bisa meloloskan diri hingga akhirnya bertemu dengan Bang Rizal.

Dan sejak itu, ke manapun Bang Rizal pergi, gadis itu selalu ikut membututi. Tak peduli bila harus kerja keras sebagai kuli bangunan. Karena pernah sekali waktu, Sumirah--nama gadis itu--ditinggal seorang diri di rumah kontrakannya Bang Rizal dikarenakan dia dan istrinya kudu berangkat kerja. Dan Bapak tahu, apa yang terjadi pada gadis itu?"

"Memang apa yang terjadi pada Sumirah? Dia baik-baik saja kan?" cecarku yang mulai tertarik dengan kisah hidup gadis belia itu.

"Nah, itu dia, Pak. Ayah Sumirah datang ke kontrakan Bang Rizal, entah dapat info dari mana dan berusaha membawa kabur Sumirah lagi. Beruntung, masyarakat sekitar situ sudah mendengar kisah Sumirah langsung dari Bang Rizal dan istrinya. Sehingga penculikan tersebut pun berhasil digagalkan. Itulah kenapa Sumirah harus menjadi kuli bangunan. Karena dia tak mau lagi ditinggal sendirian di kontrakan Bang Rizal."

Ya, Tuhan. Jakarta punya cerita. Ah, ke mana saja aku selama ini? Betapa aku benar-benar telah menjelma menjadi orang yang tak pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Dan dengan setengah berlari, segera saja kutemui Sumirah yang masih saja sibuk mengaduk semen dan pasir.

"Sumirah. Kalo kamu saya jadikan anak angkat dan saya carikan sekolah asrama yang benar-benar aman dari jangkauan ayahmu, bersediakah kamu?"

Sumirah Gadis Semen itupun hanya melongo menatapku.

***

Keterangan: (*) lirik lagu "Kembali ke Jakarta" by Koes Plus.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun