Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Noval] Pesona Mang Madun

17 November 2019   11:50 Diperbarui: 17 November 2019   14:34 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa terasa, telah sepekan lebih aku berada di kampung halaman Papah. Dan beragam peristiwa pun terjadi di sini. Mulai dari teror orang-orangan sawah--yang hingga detik ini belum menemukan titik terangnya, aksi heboh Mak Icih di atas skateboard milik cucunya sendiri-- yang berakhir dengan nyungsepnya sang nenek di semak-semak sebuah rumah warga, dan yang terakhir... ini dia yang hingga kini masih belum bisa kulupakan, yaitu bertemu dengan bidadari cantik pemilik kucing persia peaknose yang suka tidur di bawah payung berwarna ungu yang tak lain adalah warna favoritnya sang bidadari.

Sedangkan niat awalku berada di sini, apakah itu telah terlaksana dengan baik? Ups. Segera kubekap mulutku dan menggelengkan kepala. Bagaimana bisa aku melupakan niat awalku itu? Padahal itulah yang membawaku hingga kemari. Dan bagaimana pula kalau Papah tiba-tiba menelepon dan menanyakannya? Aduh. Tiba-tiba saja kepalaku pusing memikirkannya.

Bi Isah yang memperhatikanku sejak tadi mulai bertanya. "Aya naon, A? Kok Bibi perhatian dari tadi, A Noval tampak gusar kitu. Aya masalah kantor nya? Aa disuruh balik cepat nya?"

Eh, bukan. Buru-buru aku menggeleng dan melambai-lambaikan tangan. "Bukan, Bi. Sama sekali gak ada yang nyuruh saya balik ke Jakarta kok. Urusan kantor juga aman terkendali, kan ada sekretaris saya yang cekatan menanganinya. Urusan di kontrakan juga beres. Toh saya udah bayar di muka. Cuma satu masalahnya...," Kuhela napas sejenak. Hening menyergap. Bi Isah tampak menunggu kelanjutan omonganku. "Eh, Papah ada menelepon Bibi maupun Mang Subur gak?" tanyaku tiba-tiba. Membuat Bi Isah tampak terkejut, kemudian menggeleng.

"Henteu ah, A. Papahnya A Noval teu aya nelepon Mang Subur. Kalo nelepon Bibi mah gak mungkin atuh. Kan Bibi teu boga hape."

Oh, syukurlah. Berarti tugas negara ini bisa kukerjakan sesampainya aku di Jakarta saja. Toh, ini bukan proyek maha penting yang kudu segera diselesaikan. Lagian, aku sudah merekam dengan video setiap sudut ruangan yang ada di rumah ini. Termasuk kamar tidur, kamar mandi dan juga dapur. Jadi untuk sementara waktu, semua aman terkendali. Seketika aku pun nyengir. Membuat kening Bi Isah berkerut.

***

"Sayur.... Sayuuurrr.... Ibu-ibu, aya sayur segar-segar ieu teh. Ikan hayam, lauk emas, mujair, cumi asin, sagala rupi aya dah pokokna mah. Hayu, merapat ka Mang Madun."

Nah, apalagi ini? Tumben-tumbenan ada tukang sayur keliling di depan rumah Aki. Biasanya--selama sepekan aku di sini, tak pernah sekalipun ada tukang sayur yang lewat. Tapi hari ini? Hm, aku iseng saja mengintipnya dari dalam rumah Aki.

Bi Isah yang melihat kelakuanku hanya berkomentar, "Oh, itu mah Mang Madun. Dia emang punya jadwal khusus lewat sini. Karena emang cuma dia tukang sayur keliling yang ada di desa ini. Jadi, dusun-dusun yang ada di desa ini memiliki jadwal kunjungan Mang Madun masing-masing. Dan sepertinya, giliran dusun ini yang menjadi sasaran kunjungannya."

Eh? Aku sempat terkejut saat mendengar penjelasan Bi Isah barusan. Sungguh tak disangka, tukang sayur keliling pun memiliki strategi pemasaran yang jitu. Dia rela menjemput bola dengan berkeliling ke masing-masing dusun agar setiap dusun dapat merasakan dagangannya. Kebetulan juga dia tak memiliki saingan. Jadi, keuntungan dobel dapat diperolehnya.

Dan ketika Bi Isah keluar dari rumah, Mang Madun pun segera menyapa. "Pagi, Bi Isah. Tos aya rencana naon buat masak ayeuna? Mangga atuh, Bi, banyak sayuran seger di dieu."

Dalam sekejap, gerobak sayur Mang Madun pun telah dikerumuni oleh ibu-ibu yang tinggal tak jauh dari rumah Aki Dahlan. Dan aku pun iseng memperhatikan tingkah ibu-ibu saat berbelanja sayuran. Ada yang malah asyik ngerumpi sesamanya. Ada yang buru-buru mengambil apa yang dibutuhkannya dan segera membayarnya. Dan ada pula yang malah terlibat tawar-menawar dulu dengan Mang Madun. Di tengah keisenganku memperhatikan tingkah ibu-ibu itu, sesosok bidadari cantik pun melintas dengan sepedanya. Dia itu... Violet. Bidadari cantik yang sejak kemarin berhasil mencuri hati dan pikiranku.

"Neng Vio, kunaon cape-cape ka dieu atuh, Neng? Tunggu weh atuh di rumah, ntar juga Mang Madun lewat situ," sapa Mang Madun kepada sang bidadari yang rupanya hendak ikut serta berbelanja sayuran juga.

"Kelamaan atuh, Mang. Ntar sampe rumah yang ada cuma tinggal daun bawang dan ikan peda doang," Sang bidadari menjawab sambil tersenyum. Membuat perhatianku jadi terfokus padanya.

Dengan sigap, perempuan yang kutaksir berusia pertengahan tiga puluhan itu mencari, memilih dan memilah sayuran dan lauk yang akan diolahnya hari ini. Dan setelah semua belanjaannya rampung, sang bidadari alias Neng Vio itupun menyerahkan selembar uang biru kepada Mang Madun dan mendapatkan kembalikan.

"Hei, gak mo mampir dulu neh?" Aku pun berseru saat kulihat sang bidadari telah menaiki sepedanya lagi.

"Sori, A, gak sempat. Aku kudu masak dulu, trus berangkat ke kantor. Atau kalo A Noval gak sibuk, bisa datang nanti ke rumah Pak Idrus ba'da dzuhur. Kami akan mengadakan pertemuan pertanian di sana."

Dan tanpa ba-bi-bu lagi, dilajunya sepeda mininya itu kembali menuju ke rumahnya. Tinggallah aku yang melongo menatap kepergian gadis yang sudah sejak kemarin menarik perhatianku itu.

***

Setelah kepergian Mang Madun beserta gerobak sayurnya...

"Berarti setiap hari itu Mang Madun akan berkeliling ke tiap-tiap dusun seperti tadi itu ya, Bi?" tanyaku ikut mengekor Bi Isah ke dapur yang akan segera menyiangi ikan mas yang baru saja dibelinya dari Mang Madun.

Kuakui, kadang rasa bosan menyergapku. Apalagi siang-siang begini, rumah terasa sepi. Hanya ada aku dan Bi Isah. Karena Mang Subur sehari-harinya itu menjadi kuli bangunan dan baru balik jelang maghrib. Sedangkan untuk main ke rumah Kang Idrus? Ah, kadang dia pun pergi ke sawah. Sehingga hampir setiap siang hanya kuhabiskan dengan bengong di rumah Aki atau kadang bermain bersama Akbar, tetangga depan rumah Aki itu. Atau bila tidak, maka tidur sianglah yang menjadi aktifitas faviritku. Makanya untuk membunuh hal itu, kadang aku suka membantu Bi Isah memasak di dapur, seperti hari ini.

Hari ini menu makan siangnya adalah ikan mas goreng, perkedel jagung, sayur lodeh dan sambel terasi. Dan sambil masak, kami sibuk membahas soal Mang Madun.

"Nya, kitu atuh, A. Jadi, kalo gak mo jauh-jauh belanja sayur ke Pasar Dengklok, tinggal apalkeun wae jadwalnya Mang Madun."

"Peluang besar tuh, Bi, untuk jadi tukang sayur keliling di sini. Tapi kenapa gak ada yang tertarik ya?" Dari tadi aku memang sempat berpikiran begitu. Tapi Bi Isah hanya memandangiku sambil tersenyum.

"Modalnya kan lumayan besar itu, A. Yang punya warung aja suka ngeluh. Sudahlah beli sayurnya jauh kudu ke Pasar Dengklok, sampe sini sayurannya cepat layu sehingga gak laku."

Oh. Jadi itu alasan kenapa tak ada satu orang warga pun yang tertarik untuk berjualan sayuran keliling seperti Mang Madun. 

***

Pukul sebelas siang. Walaupun acara di rumah Kang Idrus itu baru berlangsung ba'da dzuhur, tapi rasa penasaran terhadap Violet, membuatku mendatangi rumah Kang Idrus lebih awal.

Berdasarkan informasi yang kudapat dari Bi Isah tadi, Violet itu ternyata seorang PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Tinggal di desa ini hanya berdua dengan Bi Eha, pembantu yang dibawanya langsung dari Lembang. Oya, keluarga besar Vio memang ada di Lembang. Orangtuanya memiliki peternakan sapi perah di sana. Dan Vio si pecinta alam, lebih memilih berkarir sebagai PPL daripada menghabiskan waktunya bekerja di belakang meja seperti umumnya perempuan zaman now.

Dan alangkah kagetnya aku, saat sampai di rumah Kang Idrus, kulihat bidadari eh Violet tengah asyik membantu Ceu Euis, istrinya Kang Idrus, masak.

"Hei, kamu bisa masak juga rupanya?" sapaku kepada gadis yang tengah asyik mengulek sambel goang.

"Diiih, Aa pikir di rumahku yang masak itu siapa?" jawabnya sambil dengay seriusnya mengulek sambel. Kuperhatikan keringat mulai berjatuhan di keningnya.

"Kan ada Bu Eha. Hehehe," kataku sambil nyengir. Membuat Violet sedikit ngambek. Kemudian dia meletakkan sambel goang hasil racikannya di dalam mangkok dan pergi ke watefel untuk mencuci tangannya.

Ah, Tuhan. Semakin aku mengenal gadis ini, kenapa rasa itu makin mendalam? Mungkinkah aku telah jatuh cinta padanya? Pada gadis pencinta alam dan penyanyang kucing dan juga jago masak ini?

Ya, semoga saja cintaku berbalas. Meskipun hingga detik aku belum berani mengutarakan perasaanku dan belum tahu pula bagaimana perasaannya kepadaku.

"Ehm, ehm. Si A Noval mah hobi banget melamun nya." Tiba-tiba saja Ceu Euis telah menggodaku.

"Lagi kangen ama kabogoh di Jakarta kali, Bu," sambut Violet sambil melirik padaku dan tertawa lepas.

Ah, Violet. Andai kamu tahu yang sesungguhnya...

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun